Di pinggiran hutan Jawa yang pekat, terdapat sebuah desa yang tidak pernah muncul dalam peta digital mana pun. Desa Sukomati adalah tempat di mana kematian menjadi industri, tempat di mana setiap helai kain putih dijahit dengan rambut manusia dan tetesan darah sebagai pengikat sukma.
Aris, seorang pemuda kota yang skeptis, pulang hanya untuk mengubur ibunya dengan layak. Namun, ia justru menemukan kenyataan bahwa sang ibu meninggal dalam keadaan bibir terjahit rapat oleh benang hitam yang masih berdenyut.
Kini, Aris terjebak dalam sebuah kompetisi berdarah untuk menjadi Penjahit Agung berikutnya atau kulitnya sendiri akan dijadikan bahan kain kafan. Setiap tusukan jarum di desa ini adalah nyawa, dan setiap motif yang terbentuk adalah kutukan yang tidak bisa dibatalkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrs. Fmz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6: Jejak Keturunan Terlarang
Saat Aris mendekat, pintu itu mendadak mengeluarkan cahaya merah redup dan mulai terbuka dengan suara derit yang sangat memilukan hati. Udara dingin yang membawa bau tanah kuburan menyembur keluar dari balik celah besi, membuat nyala korek api di tangan Aris Mardian menari-nari liar sebelum akhirnya padam. Di tengah kegelapan total, Aris merasakan garis hitam di tangannya berdenyut sangat kencang, seolah-olah pembuluh darahnya sedang ditarik oleh ribuan jarum tak terlihat.
"Jangan lepaskan peganganmu, Aris, atau kamu akan tersesat di dalam ingatan yang bukan milikmu!" seru Sekar Wangi sambil mencengkeram bahu pria itu dengan kuat.
Aris tidak bisa menjawab karena lidahnya mendadak kaku dan tenggorokannya terasa tersumbat oleh gulungan rambut yang sangat halus. Ia melihat sebuah bayangan besar muncul dari balik pintu, bukan berupa sosok manusia, melainkan gumpalan benang merah yang membentuk wajah ibunya. Wajah itu tampak menangis, namun air mata yang mengalir adalah lelehan lilin panas yang membakar setiap tulang yang ada di bawah kaki mereka.
"Siapa sebenarnya leluhurku, Sekar? Kenapa mereka meninggalkan warisan sekeji ini di dalam darahku?" tanya Aris dengan suara yang parau dan tersengat rasa sakit.
"Keluargamu adalah para pemetik nyawa yang berkhianat pada takdir kain putih, Aris," jawab Sekar sambil menyalakan sebuah dupa melati.
Sekar menjelaskan bahwa garis hitam itu adalah tanda kutukan bagi mereka yang pernah menjahit nyawa manusia ke dalam serat kain kafan abadi. Sebagai seorang bidan, Sekar sering mendengar bisikan dari para arwah bayi yang lahir prematur karena ibunya dijadikan tumbal oleh kakek buyut Aris. Aris terhuyung, kenyataan pahit ini jauh lebih menyakitkan daripada tusukan jarum emas yang hampir merobek jantungnya tadi.
"Aku bukan bagian dari mereka, aku hanyalah seorang arsitek yang ingin hidup dengan tenang!" bentak Aris sambil memukul dinding besi di depannya.
"Darah tidak pernah berbohong, Aris, dan sekarang pintu ini meminta bukti bahwa kamu adalah pewaris sah dari takhta penjahit," balas Sekar dengan nada yang sangat serius.
Pintu besi itu tiba-tiba menjulurkan ratusan jarum perak kecil yang bergerak seperti ombak laut menuju ke arah telapak tangan Aris yang membawa tanda hitam. Aris mencoba menarik tangannya, namun sebuah kekuatan penarik yang sangat besar mengunci tubuhnya hingga ia tidak bisa bergeming sedikit pun. Jarum-jarum itu mulai menusuk pori-pori kulitnya secara serentak, namun anehnya Aris tidak merasakan sakit, melainkan aliran keterangan yang membanjiri otaknya.
Ia melihat bayangan masa lalu di mana desa ini dulunya adalah tempat yang sangat makmur sebelum keserakahan mulai merusak hati para penenun kain. Aris menyaksikan kakek buyutnya sedang duduk di atas tumpukan mayat sambil menjahit sebuah kafan agung yang bisa memberikan keabadian bagi pemakainya. Setiap tusukan jarum ke daging mayat itu diiringi oleh jeritan mengerikan yang kini menggema di dalam gendang telinga Aris hingga ia ingin berteriak sekuat tenaga.
"Hentikan semua penglihatan ini! Aku tidak mau melihat kejahatan mereka lagi!" jerit Aris sambil memejamkan matanya rapat-rapat.
"Hanya dengan melihatnya kamu bisa memutus benang itu, Aris! Jangan menyerah pada kegelapan yang sedang mencoba membungkus hatimu!" teriak Sekar yang kini sedang berjuang menahan pintu agar tidak menjepit tubuh Aris.
Sekar menggunakan seluruh kekuatan batinnya untuk merapal doa keselamatan, sementara tangannya yang terluka terus mengalirkan darah ke arah lambang lingkaran di pintu. Darah bidan yang suci itu bereaksi dengan karat besi, menciptakan asap putih yang mulai mengikis kekuatan jahat dari jarum-jarum perak tersebut. Aris merasakan tarikan pada tangannya mulai mengendur, namun garis hitam itu kini telah menjalar naik hingga mencapai siku dan terus merayap menuju bahunya.
Tiba-tiba, suara tawa yang sangat dalam dan menggelegar terdengar dari arah belakang pintu besi yang kini sudah terbuka lebar sepenuhnya. Sosok lelaki tua dengan pakaian serba hitam dan mata yang dijahit menggunakan benang emas muncul di hadapan mereka dengan perlahan. Lelaki itu membawa sebuah gunting raksasa yang bagian bilahnya terbuat dari tulang manusia yang masih segar dan berlumuran minyak mistis.
"Selamat datang kembali di rumah sejatimu, cucuku yang sudah lama tersesat di dunia luar," ucap lelaki tua itu dengan suara yang menggetarkan fondasi tanah.
Aris mengenali sosok itu dari foto tua yang pernah disembunyikan ibunya di bawah lipatan bantal semasa ia masih kecil dahulu. Itu adalah sang kakek buyut, sang penjahit pertama yang seharusnya sudah mati dan membusuk di dalam tanah ratusan tahun yang lalu. Lelaki tua itu mengangkat gunting tulangnya, mengarahkannya tepat ke arah garis hitam di lengan Aris dengan tatapan mata yang sangat lapar.
"Kembalikan benang yang kamu curi dari rahim ibumu sekarang juga!" perintah lelaki tua itu sambil melangkah maju dengan gerakan yang sangat cepat.
Aris merasakan tekanan udara di sekitarnya mendadak hilang, membuatnya sulit untuk bernapas dan jantungnya mulai berdetak secara tidak beraturan. Sekar segera melemparkan tas medisnya ke arah lelaki tua itu sebagai pengalih perhatian, namun gunting tulang itu dengan mudah membelah tas tersebut menjadi serpihan kecil. Aris melihat garis hitam di bawah kulitnya mulai bergerak-gerak seperti ada parasit hidup yang sedang mencoba keluar dari dagingnya sendiri.
Aris melihat garis hitam di bawah kulitnya mulai bergerak-gerak seperti ada parasit hidup yang sedang mencoba keluar dari dagingnya sendiri.