"Satu detik di sini adalah satu tahun di dunia nyata. Beranikah kamu pulang saat semua orang sudah melupakan namamu?"
Bram tidak pernah menyangka bahwa tugas penyelamatan di koordinat terlarang akan menjadi penjara abadi baginya. Di Alas Mayit, kompas tidak lagi menunjuk utara, melainkan menunjuk pada dosa-dosa yang disembunyikan setiap manusia.
Setiap langkah adalah pertaruhan nyawa, dan setiap napas adalah sesajen bagi penghuni hutan yang lapar. Bram harus memilih: membusuk menjadi bagian dari tanah terkutuk ini, atau menukar ingatan masa kecilnya demi satu jalan keluar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mr. Awph, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6: Kunyahan di balik dinding daging
Baskara melihat Arini terjebak di dalam dinding daging yang kini perlahan mulai mengunyah tubuh wanita itu dengan suara kunyahan yang sangat renyah. Tulang belulang terdengar patah berkeping-keping disertai dengan muncratan cairan merah yang membasahi seluruh permukaan lubang yang mulai menutup tersebut secara terus-menerus.
Baskara meraung sambil memukuli dinding daging itu dengan tangan kirinya yang gemetar hebat karena rasa ngeri yang luar biasa. Ia melihat wajah Arini yang terjahit kini perlahan mulai melesap masuk ke dalam otot-otot hutan yang merah membara dan berdenyut kencang.
Lendir hangat dan kental merembes keluar dari pori-pori dinding tersebut hingga mengenai luka di telapak tangan Baskara yang baru saja dijahit. Rasa panas yang sangat menyiksa kembali menjalar hingga ke seluruh pundaknya seolah ada logam cair yang dituangkan ke dalam aliran darahnya.
"Arini! Bertahanlah! Aku tidak akan membiarkan hutan ini menelanmu bulat-bulat!" teriak Baskara dengan air mata yang bercampur darah.
Suara tawa pelan muncul dari balik dinding yang sedang mengunyah itu namun nadanya sama sekali tidak menyerupai suara manusia hidup. Suara itu terdengar seperti gesekan antara dua bilah pedang yang sudah berkarat dan penuh dengan noda darah kering.
"Pergilah, Baskara, jangan pedulikan raga yang sudah tidak memiliki nyawa ini lagi," bisik Arini dari balik lapisan otot yang tebal.
Baskara tertegun mendengar ucapan itu karena ia melihat bibir Arini yang terjahit sama sekali tidak bergerak saat suara itu muncul. Ia menyadari bahwa mahluk yang sedang berbicara kepadanya adalah entitas yang sejak tadi meminjam tubuh rekan medisnya tersebut.
Ia mencoba mencari cara untuk membuka kembali lubang daging itu namun tangannya justru menyentuh sesuatu yang sangat tajam di balik tumpukan daun kering. Sebuah kompas tua dengan kaca yang sudah pecah tergeletak tepat di bawah kakinya dengan jarum yang berputar-putar secara berulang-ulang.
"Kenapa jarum kompas ini berputar ke arah yang berlawanan dengan arah jarum jam?" tanya Baskara sambil memegangi kepalanya yang terasa sangat pening.
Cahaya keemasan dari telapak tangan Baskara tiba-tiba berpijar sangat terang saat ia menyentuh permukaan kompas tua yang sudah berkarat itu. Secara tiba-tiba, waktu di sekelilingnya seolah berhenti bergerak dan suara kunyahan renyah dari dinding daging mendadak menghilang sepenuhnya.
Baskara melihat Arini muncul kembali dari balik dinding daging namun dalam kondisi tubuh yang masih utuh seperti saat mereka pertama kali masuk ke hutan. Arini menatap Baskara dengan penuh ketakutan sambil memegang kotak medis yang sangat ia kenali sebagai milik aslinya.
"Baskara, tolong aku! Mahluk-mahluk itu terus memanggil namaku dari balik pepohonan sejak tadi!" teriak Arini sambil berlari ke pelukan Baskara.
Baskara merasa sangat bingung dan ragu untuk menyentuh Arini karena ia baru saja melihat wanita itu hancur dikunyah oleh dinding daging hutan. Ia melihat ke arah telapak tangannya sendiri yang ternyata masih utuh dan tidak memiliki bekas jahitan apa pun seperti sebelumnya.
"Arini? Apakah ini benar-benar kamu yang asli dan bukan mahluk peniru yang jahat?" tanya Baskara sambil menjaga jarak dengan waspada.
Arini menangis tersedu-sedu dan menunjukkan bekas luka kecil di lengan kirinya yang didapat saat mereka melewati pagar kawat di perbatasan desa. Baskara mulai merasakan harapan kembali muncul di hatinya namun ia menyadari bahwa kompas di tangannya masih berputar ke arah kiri secara terus-menerus.
"Kita harus segera keluar dari tempat ini sebelum jam tangan kita berhenti berdetak untuk selamanya," ucap Arini sambil menarik tangan Baskara agar segera berlari.
Baru saja mereka melangkah beberapa meter, pepohonan di sekeliling mereka mulai berubah menjadi wajah-wajah manusia yang sedang menangis sedih. Pohon-pohon tersebut membisikkan dosa-dosa masa lalu Baskara tentang bagaimana ia gagal menyelamatkan ayahnya dalam misi pencarian puluhan tahun yang lalu.
Baskara menutup telinganya dengan sangat kencang karena suara bisikan itu terasa seperti pisau tajam yang sedang mengiris-iris kesadarannya secara berulang-ulang. Ia melihat Arini mulai berubah menjadi tumpukan ulat putih yang sangat banyak saat wanita itu mencoba memegang bahunya kembali.
"Jangan dengarkan suara mereka, Baskara! Mereka hanya ingin kita terjebak di dalam paradoks waktu yang mematikan ini!" teriak suara lain yang terdengar dari atas pohon jati.
Baskara mendongak dan melihat dirinya sendiri yang sedang menggantung di sebuah dahan pohon dengan leher yang terlilit oleh akar gantung yang sangat kuat. Sosok dirinya yang tergantung itu memiliki mata yang bersinar hijau dan menunjuk ke arah jarum kompas yang sedang ia pegang.
"Pecahkan kaca kompas itu dengan darah dari telapak tanganmu jika kamu ingin kembali ke kenyataan yang sesungguhnya!" seru sosok Baskara yang sedang tergantung itu.
Baskara tidak memiliki pilihan lain selain menghantamkan telapak tangannya ke arah kaca kompas yang tajam hingga darah segar mulai mengucur deras. Seketika itu juga, dunia di sekelilingnya hancur berkeping-keping seperti sebuah cermin yang dipukul oleh godam yang sangat besar dan berat.
Ia kembali terbangun di depan dinding daging yang tadi sedang mengunyah Arini dengan suara yang sangat mengerikan dan memuakkan lubang telinga. Namun kali ini, dinding itu tidak lagi berisi Arini melainkan berisi mayat-mayat anggota tim SAR yang telah hilang selama puluhan tahun.
"Jadi, semua yang aku alami tadi hanyalah ilusi dari hutan yang sedang mencoba memakan jiwaku?" tanya Baskara sambil terengah-engah menahan rasa lelah.
Arini yang asli benar-benar telah hilang dan yang tersisa di depan mata Baskara kini hanyalah sepotong jubah putih yang sudah robek-robek dan berlumuran darah. Baskara mengambil jubah itu dan menemukan sebuah surat kecil yang ditulis menggunakan tinta darah yang masih sangat basah dan hangat.
Surat itu berisi sebuah peringatan tentang adanya pengkhianat di dalam tim pusat yang sengaja mengirim mereka ke titik koordinat kematian ini. Baskara merasa amarahnya mulai memuncak saat ia menyadari bahwa misi penyelamatan ini hanyalah sebuah kedok untuk dijadikan tumbal pesugihan.
"Aku akan menemukan siapa pun yang bertanggung jawab atas semua kematian rekan-rekanku ini," sumpah Baskara sambil mengepalkan tangannya dengan sangat kuat.
Ia mulai berjalan mengikuti cahaya merah yang muncul dari kejauhan melewati barisan mayat yang tergantung di dahan-dahan pohon yang mulai membusuk. Setiap mayat yang ia lewati tampak sedang menunjuk ke arah yang sama yaitu menuju ke sebuah kamp pengungsian tua yang sangat gelap.
Di depan kamp pengungsian tersebut, Baskara melihat sosok pria berpakaian tentara jaman perang yang sedang duduk diam sambil mengasah sebilah pedang panjang. Pria itu menoleh ke arah Baskara dan memperlihatkan wajah yang sama sekali tidak memiliki kulit sehingga otot-otot merahnya terlihat sangat jelas.
"Selamat datang di tempat di mana waktu berhenti berdetak dan penderitaan baru saja dimulai bagi jiwa yang gelisah," ucap tentara itu dengan suara parau.
Baskara tidak merasa takut lagi karena rasa sakit fisik dan batinnya telah mencapai batas tertinggi yang bisa ditanggung oleh seorang manusia biasa. Ia melangkah masuk ke dalam kamp pengungsian itu dan melihat ribuan orang sedang duduk membisu dengan tatapan mata yang sudah tidak memiliki cahaya kehidupan.
Tentara tanpa kulit itu berdiri dan menusukkan pedangnya ke arah bayangan Baskara yang terpantul di atas permukaan genangan air.