NovelToon NovelToon
Ayah Anakku, Ceo Amnesia

Ayah Anakku, Ceo Amnesia

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO Amnesia / Bertani / Romansa pedesaan
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: indah yuni rahayu

Lia, gadis desa Tanjung Sari, menemukan seorang pria pingsan di pematang sawah tanpa ingatan dan tanpa identitas. Ia menamainya Wijaya, dan memberi lelaki itu tempat pulang ketika dunia seolah menolaknya.

Tekanan desa memaksa mereka menikah. Dari pernikahan sederhana itu, tumbuh rasa yang tak pernah direncanakan—hingga Lia mengandung anak mereka.

Namun Wijaya bukan lelaki biasa.

Di kota, keluarga Kusuma masih mencari Krisna, pewaris perusahaan besar yang menghilang dalam kecelakaan misterius. Tanpa mereka sadari, pria yang dianggap telah mati kini hidup sebagai suami Lia—dan ayah dari anak yang belum lahir.

Saat ingatan perlahan mengancam kembali, Lia harus memilih: mempertahankan kebahagiaan yang ia bangun, atau merelakan suaminya kembali pada masa lalu yang bisa merenggut segalanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon indah yuni rahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Jarak Yang Terlalu Dekat

Siang itu panas turun tanpa ampun.

Langit Desa Tanjung Sari tampak pucat, seolah matahari menggantung terlalu rendah. Di sawah, Wijaya memaksakan tubuhnya bergerak mengikuti ayunan cangkul. Napasnya berat. Pandangannya sesekali mengabur, tapi ia tidak berhenti.

Ia sudah terlalu sering berhenti.

“Kamu tidak apa-apa?” tanya Pak Wiryo dari pematang.

Wijaya mengangguk, meski kepalanya berdenyut seperti dipukul dari dalam. Telapak tangannya perih, tubuhnya basah oleh keringat, dan dadanya terasa sesak oleh sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan. Bukan hanya lelah.

Ada suara lain di kepalanya. Suara yang bukan miliknya.

Cepat. Ambil jalur kiri. Jangan berhenti di sini !

Wijaya terhuyung. Cangkul terlepas dari genggamannya.

“Wijaya!” seru Pak Wiryo.

Tubuh itu jatuh ke lumpur dengan suara berat. Kepalanya membentur tanah keras di bawah lapisan basah sawah.

Sunyi sejenak. Lalu panik.

“Dia pingsan!”

“Ambil air!”

“Panggil Lia!”

Saat Lia tiba di sawah, lututnya hampir runtuh.

Wijaya terbaring dengan wajah pucat, napasnya tersengal. Ada garis merah tipis di pelipisnya, bercampur lumpur.

“Wijaya… Wijaya!” Lia berlutut, menggenggam tangannya.

Tidak ada respons.

“Bawa ke rumah,” kata Pak Wiryo tegas.

Mereka mengangkat tubuh Wijaya bersama-sama. Beberapa petani membantu, sebagian lain hanya menonton, diam, menilai.

Di antara kerumunan itu, sepasang mata asing memperhatikan dari kejauhan.

Natan berhenti di pinggir jalan desa ketika keributan itu terjadi.

Ia baru saja turun dari mobil, berniat bertanya pada seorang pria tua di bawah pohon, ketika suara gaduh menarik perhatiannya. Orang-orang berlarian ke arah sawah.

Ada yang berteriak menyebut nama.

“Wijaya!”

Nama itu membuat alis Natan berkerut.

Ia melangkah lebih dekat, tapi berhenti ketika melihat tubuh seorang pria diangkat beramai-ramai. Wajahnya tidak terlihat jelas, tertutup lumpur dan kain basah, namun posturnya....Terkenal.

Dada Natan mengencang.

Ia melangkah satu langkah lagi.

Lalu berhenti. Naluri bertahun-tahun menahannya.

Jangan ceroboh.

Kalau itu dia, satu langkah salah bisa membunuhnya.

Natan memilih mundur.

Ia melihat seorang gadis berlari di sisi rombongan, wajahnya pucat, matanya penuh cemas. Gadis desa. Bukan orang kota.

Di rumah Lia, suasana tegang.

Ibu Surti mengompres dahi Wijaya. Pak Wiryo mondar-mandir di ruang depan. Lia duduk di sisi dipan, menggenggam tangan Wijaya erat-erat.

“Kenapa dia pingsan, Bu?” suara Lia bergetar.

“Badan terlalu dipaksa,” jawab ibunya pelan. “Dan kepalanya belum sembuh betul.”

Lia menunduk. Rasa bersalah merayap. Ia menyentuh wajah Wijaya. “Maaf… aku tidak tahu desa ini sekeras ini.”

Jari Wijaya bergerak. Pelan.

Lia menahan napas. “ Mas Wijaya?”

Kelopak mata itu terbuka sedikit. Tatapannya kosong, lalu bergetar. “Aku…” suaranya parau. “Aku ingat…”

Lia menegang. “Apa?”

Wajah Wijaya mengeras. Napasnya memburu.

“Nama itu… bukan Wijaya.”

Kalimat itu seperti petir di ruang sempit.

“Lalu siapa?” tanya Lia hampir berbisik.

Wijaya menutup mata kuat-kuat. Kepalanya kembali berdenyut. Potongan gambar menyerbu: gedung tinggi, meja rapat, suara pria memanggil namanya dengan nada hormat

Krisna. Ia membuka mata dengan panik.

“Jangan bilang siapa pun,” katanya mendesak. “Tolong."

Air mata Lia jatuh tanpa suara.

“Aku di sini,” ucapnya. “Aku tidak ke mana-mana.”

Sore itu, dari warung kecil di ujung desa, Natan duduk sambil meminum kopi pahit. Ia mendengar potongan cerita dari warga—tentang pria asing yang pingsan di sawah, tentang gadis desa yang membawanya pulang.

Setiap detail menguatkan satu kesimpulan.

Ia mengeluarkan ponsel, menatap foto Krisna di layar.

“Bos,” gumamnya pelan, “aku sudah dekat.”

.

Malam itu hujan turun pelan, tidak deras, hanya cukup untuk membuat udara desa menjadi dingin dan lembap. Di dalam rumah, lampu menyala redup. Lia duduk di sisi dipan, memperhatikan wajah Wijaya yang terlelap. Napasnya lebih teratur sekarang.

Sejak sore, Lia tidak beranjak jauh. Ia mengganti kompres di dahi Wijaya setiap beberapa waktu, memastikan kainnya tetap dingin. Tangannya bergerak pelan, hati-hati—seolah takut sentuhan yang terlalu keras bisa membuat pria itu menghilang.

“Kepalamu masih sakit?” tanya Lia lirih, meski Wijaya belum sepenuhnya sadar.

Kelopak mata Wijaya bergerak. Ia membuka mata perlahan, menatap langit-langit rumah yang asing baginya, lalu wajah Lia yang sedikit buram oleh cahaya lampu.

“Kamu… belum tidur?” suaranya serak.

Lia menggeleng. “Aku temani kamu dulu.”

Wijaya mencoba bangun, tapi Lia refleks menahan bahunya. “Jangan. Ibu bilang kamu harus istirahat.”

Wijaya menurut. Tatapannya turun ke tangan Lia yang masih bertahan di bahunya. Ada kehangatan yang aneh, bukan sekadar sentuhan, tapi rasa aman yang belum pernah ia rasakan sejak kehilangan ingatan.

“Maaf,” katanya pelan. “Aku selalu merepotkan.”

Lia tersenyum kecil. “Kamu tidak merepotkan. Kamu cuma… sedang tidak punya siapa-siapa.”

Kalimat itu membuat dada Wijaya sesak. Ia memalingkan wajah sebentar, lalu kembali menatap Lia.

“Kenapa kamu baik sekali?” tanyanya jujur. “Kalau kamu tidak menolongku waktu itu… aku tidak tahu apa yang akan terjadi.”

Lia terdiam. Tangannya turun, merapikan selimut di dada Wijaya. “Aku juga tidak tahu,” katanya. “Aku hanya merasa… aku tidak boleh pergi.”

Hening menyelimuti mereka. Di luar, suara hujan menjadi irama pelan. Lia mengambil mangkuk kecil berisi bubur hangat. “Kamu belum makan banyak. Coba sedikit.”

Ia menyuapkan perlahan. Wijaya menurut, meski gerakannya masih lemah.

Sesekali bubur menetes di sudut bibirnya, dan Lia mengusapnya refleks dengan ujung jarinya. Sentuhan itu singkat. Tapi cukup untuk membuat Wijaya menegang.

Ia menatap Lia, wajah sederhana, rambut yang diikat asal, mata yang lelah tapi penuh perhatian. Untuk sesaat, ia merasa ada sesuatu yang hilang dalam hidupnya… dan mungkin, sesuatu yang baru tumbuh di hadapannya.

“Kamu cantik,” ucapnya tiba-tiba, tanpa berpikir.

Lia terdiam. Wajahnya memanas. “Kamu jangan bercanda.”

“Aku tidak bercanda,” jawab Wijaya pelan. “Aku mungkin tidak ingat apa-apa, tapi aku tahu perasaanku sendiri.”

Lia menunduk, jantungnya berdetak lebih cepat dari seharusnya. Ia berdiri, hendak merapikan mangkuk, tapi tangan Wijaya meraih ujung kain bajunya.

“Jangan pergi dulu,” katanya lirih. “Aku… takut sendirian.”

Lia kembali duduk. Kali ini lebih dekat. Ia ragu sejenak, lalu membiarkan bahu Wijaya bersandar pelan ke lengannya.

“Tidur,” bisiknya. “Aku di sini.”

Wijaya memejamkan mata. Tubuhnya perlahan rileks. Dalam kesadaran yang setengah tenggelam, ia menangkap satu perasaan yang jelas hangat, tenang, dan menenangkan.

Sementara Lia menatap wajah pria yang tak ia kenal masa lalunya, tapi kini ia rawat sepenuh hati.

Dan tanpa mereka sadari, di ruang sempit itu, di bawah cahaya lampu yang redup, sesuatu mulai tumbuh, pelan, rapuh, tapi nyata.

Sesuatu yang kelak akan membuat mereka berani mengambil keputusan besar,

bahkan ketika dunia tidak berpihak.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!