NovelToon NovelToon
DEWA PERANG NAGA TERLARANG: Menantu Sampah Yang Mengguncang Langit

DEWA PERANG NAGA TERLARANG: Menantu Sampah Yang Mengguncang Langit

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Balas Dendam / Robot AI / Anak Yang Berpenyakit / Kultivasi Modern
Popularitas:2.3k
Nilai: 5
Nama Author: Zen Feng

Baskara—menantu sampah dengan Sukma hancur—dibuang ke Jurang Larangan untuk mati. Namun darahnya membangunkan Sistem Naga Penelan, warisan terlarang yang membuatnya bisa menyerap kekuatan setiap musuh yang ia bunuh. Kini ia kembali sebagai predator yang menyamar menjadi domba, siap menagih hutang darah dan membuat seluruh kahyangan berlutut. Dari sampah terhina menjadi Dewa Perang—inilah perjalanan balas dendam yang akan mengguncang sembilan langit!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zen Feng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 16: PERBURUAN HANTU

PAGI HARI - AULA UTAMA RESIDENCE KELUARGA CAKRAWALA

Wibawa tidak bisa tidur semalaman.

Matanya merah, bengkak, dengan lingkaran hitam di bawah kelopaknya yang menunjukkan kelelahan mental yang parah. Tangannya gemetar sedikit saat mengangkat cangkir teh—teh yang sudah dingin karena dia hanya menatapnya selama satu jam terakhir tanpa meminumnya.

"Tuan Muda," seorang pelayan menyapa dengan hati-hati, "Anda harus makan sesuatu—"

"PERGI!"

Bentakan Wibawa terdengar parau dan histeris. "TINGGALKAN AKU SENDIRI!"

Pelayan itu membungkuk ketakutan dan berlari keluar.

Wibawa menjambak rambutnya sendiri, napasnya memburu.

‘Karto menghilang. Jejak darah di koridor. Tidak ada mayat. Tidak ada saksi.’

Laporan pelayan tadi pagi terus terngiang. Jejak darah itu banyak—sangat banyak—seperti seseorang diseret paksa. Tapi anehnya, tidak ada tanda-tanda perlawanan. Tidak ada goresan pedang di dinding, tidak ada vas bunga yang pecah.

Seolah-olah Karto lenyap ditelan hantu.

"Mustahil," gumam Wibawa, menggeleng keras. "Pasti ada penjelasan logis. Mungkin dia kabur membawa uang muka. Atau... atau dia diserang musuh bisnis paman."

Tapi kenapa tidak ada yang mendengar teriakan? Kenapa insting-nya mengatakan ada sesuatu yang salah?

TOK TOK TOK.

Ketukan di pintu membuat Wibawa terlonjak dari kursinya.

"M-masuk," suaranya bergetar.

Seorang pria bertubuh besar dengan bekas luka melintang di wajah melangkah masuk. Suryo—wakil ketua kelompok pembunuh bayaran Gagak Hitam. Ranah Pengumpulan Prana Bintang 6. Veteran yang sudah sepuluh tahun meminum darah.

"Tuan Muda Wibawa," sapa Suryo datar. "Saya dengar Karto menghilang."

"Ya," jawab Wibawa cepat. "Aku butuh bantuanmu. Aku ingin kau dan kelompokmu melipatgandakan penjagaan. Terutama di malam hari. Ada sesuatu yang... tidak beres."

Suryo mengerutkan kening. "Anda pikir ada penyusup?"

"Aku tidak tahu," Wibawa mondar-mandir gelisah. "Ketua kalian, Aditya, juga menghilang bersama pelayanku, Jarwo. Sudah sepuluh hari tanpa kabar. Firasatku buruk."

"Aditya menghilang?" Wajah Suryo berubah serius. Aditya adalah Bintang 7. Jika dia hilang, musuhnya bukan orang sembarangan.

"Sial! Sial! Sial!" Wibawa menggebrak meja. "Kirim tiga orang terbaikmu untuk patroli malam ini. Pastikan mereka bergerak dalam kelompok. Jangan pernah sendirian!"

"Baik, Tuan Muda. Tapi..." Suryo menggosok jari telunjuk dan jempolnya, "risiko naik, harga naik."

"Lima ratus Batu Roh Rendah per orang per malam," potong Wibawa. "Aku bayar dobel jika kalian membawa kepala penyusup itu ke hadapanku."

Mata Suryo berbinar tamak. "Sepakat. Kami akan mulai berburu malam ini."

Setelah Suryo keluar, Wibawa kembali menatap jendela. Bayangan pohon di luar terlihat seperti cakar monster yang siap menerkam.

‘Kenapa dadaku sesak? Kenapa aku merasa... seperti ada mata yang mengawasi dari setiap sudut gelap?’

MALAM PERTAMA - TENGAH MALAM

Tiga pembunuh bayaran ranah Pengumpul Prana berpatroli di taman belakang kediaman.

Joko (Bintang 5, Ahli Pedang).

Budi (Bintang 5, Ahli Tombak).

Hadi (Bintang 6, Ahli Racun).

Mereka bergerak dalam formasi segitiga—punggung saling menjaga, mata mengawasi setiap pergerakan daun.

"Ini berlebihan," gerutu Joko. "Karto itu pemabuk. Paling dia sedang tidur di selokan."

"Suryo bilang bayarannya dobel," sahut Budi. "Jadi tutup mulutmu dan buka matamu."

Hadi diam saja. Insting veterannya berdenyut tidak nyaman.

Udaranya terlalu dingin. Terlalu sunyi. Bahkan jangkrik pun tidak berani bersuara malam ini.

"Hadi," bisik Budi. "Kau merasakannya?"

"Ya," jawab Hadi, tangannya meraba kantong racun di pinggang. "Ada yang mengawasi kita."

Mereka berhenti. Hening.

Detik-detik berlalu menyiksa.

"Mungkin cuma kucing—" Joko mencoba mencairkan suasana.

SYUUT!

Sebuah bayangan melesat.

Benang baja tipis namun kuat melilit leher Joko dengan kecepatan tak kasat mata.

SRET!

Joko ditarik paksa ke atas pohon sebelum sempat berteriak. Hanya bunyi krak tulang patah yang terdengar, lalu hening.

"JOKO!" Budi berteriak, tombaknya teracung ke atas.

Tapi benang lain melesat dari semak-semak, melilit pergelangan kakinya.

TARIK!

Budi tersungkur keras mencium tanah, lalu diseret dengan kecepatan tinggi masuk ke dalam kegelapan semak belukar.

"AAARGH—" Suaranya terputus tiba-tiba.

Hadi bereaksi cepat. Ia melempar tiga belati beracun ke arah semak tempat Budi menghilang.

TANG! TANG! TANG!

Ketiga belati itu ditepis jatuh oleh sesuatu yang keras.

Bukan pedang. Bukan perisai.

Melainkan sebuah Cakar.

Cakar hitam bersisik dengan aura merah samar yang menyala dalam gelap.

Hadi mundur selangkah. "Apa itu?!"

Sesosok tubuh berjubah hitam melompat turun dari dahan pohon, mendarat tanpa suara di depannya. Wajahnya tertutup tudung, tapi sepasang mata merah menyala di baliknya.

"Tiga orang," suara sosok itu tenang, sedingin kematian. "Sedikit lebih menantang daripada Karto yang sendirian."

Hadi menelan ludah. "K-kau yang membunuh Karto?!"

Sosok itu mengangkat tangan kanannya. Cakar hitam itu memanjang, meneteskan darah segar—darah Joko.

"Aku?" Sosok itu memiringkan kepala. "Aku adalah hantu yang kalian cari."

WUSH!

Sosok itu menerjang.

Hadi panik. Ia menyemprotkan kabut racun pelumpuh saraf dari tabung di tangannya.

"MATI KAU!"

Kabut hijau menyelimuti sosok itu. Hadi menyeringai. Racun itu bisa melumpuhkan gajah dalam sedetik.

Tapi sosok itu... menghirupnya.

Ia menarik napas dalam-dalam, seolah menghirup aroma bunga.

Lalu tersenyum mengerikan di balik tudung.

"Racun?" suaranya terdengar geli. "[Kekebalan Seribu Racun]. Racunmu rasanya hambar."

Mata Hadi terbelalak. "Mustahil..."

Sebelum ia sempat lari, cakar hitam itu sudah mencengkeram wajahnya.

"Tidur yang nyenyak."

KRAK!

Tengkorak Hadi remuk dalam satu remasan.

Di semak-semak, Budi yang kakinya patah berusaha merangkak pergi. Ia melihat Joko tergantung di pohon dengan leher patah. Ia melihat Hadi hancur kepalanya.

Dan sekarang, iblis itu berjalan ke arahnya.

"Tolong..." Budi menangis, air mata bercampur tanah di wajahnya. "Aku punya istri... anak... kumohon..."

Sosok itu berhenti.

"Istri? Anak?" nadanya datar. "Kenapa alasan kalian selalu sama. Tidak ada yang peduli pada istri dan anak kalian."

Budi membeku.

"Apa kau pikir," lanjut sosok itu, auranya menekan Budi hingga sesak napas, "kalian semua peduli saat aku disiksa setiap hari selama tiga tahun?"

‘Tiga tahun... Disiksa...’

Otak Budi berputar cepat.

"Ba-Baskara?!" teriaknya ngeri. "Tapi kau mati! Wibawa bilang kau mati!"

Baskara membuka tudung kepalanya. Wajahnya tajam, dingin, tanpa belas kasihan.

"Wibawa salah."

Ia berjongkok di depan Budi.

"Sampaikan pesanku pada Wibawa di neraka," bisiknya. "Aku datang untuk kalian semua. Satu per satu."

"Tunggu—"

SRET!

Benang baja di tangan Baskara menari. Kepala Budi terpisah dari badannya.

Baskara berdiri di tengah tiga mayat itu.

"Serap."

WUUUSH!

Prana dari tiga kultivator tersedot habis. Tubuh mereka mengering menjadi mumi.

[Kultivasi +1200]

[Teknik Diperoleh: Racun Lumpuh, Tusukan Tombak Kilat.]

Baskara mengangkut mayat-mayat kering itu dengan mudah, lalu menghilang ke dalam hutan.

Saat ia kembali ke gang belakang, Ki Gareng sudah menunggu dengan wajah pucat. Ia melihat jubah Baskara yang basah oleh darah.

"Tuan..." bisiknya gemetar. "Tiga orang?"

Baskara menatapnya datar.

"Mereka memilih pekerjaan yang salah. Besok, akan ada lebih banyak lagi."

Keesokan harinya, pagi yang cerah diwarnai teriakan frustasi penghuni kediaman mewah itu.

PRANG!

Wibawa melempar vas bunga ke dinding.

"BAGAIMANA BISA?!" teriaknya, urat lehernya menonjol. "TIGA ORANG?! PROFESIONAL?! HILANG DALAM SATU MALAM?!"

Suryo menunduk dalam-dalam. "Hanya ada jejak darah, Tuan Muda. Tidak ada mayat. Tidak ada saksi. Ini... seperti mereka dimakan bumi."

"HANTU!" Wibawa menunjuk-nunjuk udara kosong. "INI PASTI HANTU DARI JURANG ITU!"

Suryo tidak membantah. Ia mulai merasakannya juga. Ketakutan purba terhadap sesuatu yang tak terlihat.

"Tuan Muda, sebaiknya kita lapor Patriark—"

"TIDAK!" potong Wibawa cepat. "Paman tidak boleh tahu! Jika dia tahu aku gagal membereskan masalah ini, posisiku tamat!"

Wibawa napasnya memburu.

"Kirim lagi! Malam ini kirim tiga orang lagi! Beri mereka Suar Darurat! Begitu melihat sesuatu, nyalakan suar itu! Kita akan keroyok dia!"

"Tapi bayarannya..."

"SERIBU BATU ROH PER KEPALA! LAKUKAN SAJA!"

MALAM KEDUA - JEBAKAN YANG GAGAL

Tiga pembunuh bayaran baru berpatroli. Tono, Agus, dan Slamet. Mereka lebih kuat (Pengumpul Prana Bintang 6) dan lebih waspada.

Mereka membawa Suar Darurat di pinggang.

"Tetap rapat," perintah Slamet, sang pendeteksi aura. "Aku akan pindai terus."

Tiba-tiba, Slamet merasakan gelombang energi yang mengerikan.

"KIRI!"

Terlambat.

Bola api hitam-merah melesat dari kegelapan.

BOOM!

Ledakan itu melempar Agus hingga menabrak tembok, tubuhnya hangus terbakar.

"AGUS!" Tono berteriak.

Di atas atap residence, sosok berjubah hitam berdiri tegak di bawah bulan purnama. Jubahnya berkibar dramatis.

"Kalian belajar," suara Baskara menggema berat. "Formasi lebih rapi. Alat lebih canggih. Bagus."

Tono gemetar. "K-kau yang membunuh mereka?!"

"Ya. Dan sekarang giliran kalian."

Slamet tidak buang waktu. Ia menarik tali Suar Darurat.

WHOOSH!

Cahaya merah terang melesat ke langit, meledak menjadi kembang api sinyal bahaya.

"BANTUAN DATANG!" teriak Slamet. "KAU TAMAT!"

Baskara menatap cahaya di langit itu dengan bosan.

"Bantuan?" Ia melompat turun. "Kau pikir mereka sempat menyelamatkanmu?"

Tono menyerang dengan pedang ganda. "MATI KAU!"

TRANG! TRANG!

Baskara menangkis sabetan pedang itu dengan tangan kosong yang terbungkus [Cakar Naga].

"Lemah."

KRAK!

Baskara meremas kedua pedang baja itu hingga hancur berkeping-keping, lalu menusukkan cakarnya ke dada Tono.

JLEB!

Tono tewas seketika.

Slamet, melihat dua temannya tewas dalam hitungan detik, berbalik lari.

"Lari..."

Tapi benang baja melilit kakinya.

BRUK!

Baskara menyeretnya kembali.

"TIDAK! AMPUN!" Slamet menangis.

Baskara menatapnya dingin. "Kau tahu apa yang lucu? Dulu aku juga memohon ampun. Dan kalian tertawa."

"AKU TIDAK PERNAH—"

"Kau diam saja saat melihat ketidakadilan. Itu dosamu."

KRAK!

Leher Slamet patah.

Baskara menyerap energi mereka dengan cepat.

[Kultivasi +1300]

[LEVEL UP! PENGUMPULAN PRANA BINTANG8 -> BINTANG 9!]

Suara langkah kaki penjaga terdengar mendekat. Bantuan datang.

Baskara tersenyum tipis, lalu menghilang ke dalam bayangan, membawa serta mayat-mayat kering itu.

Saat penjaga tiba, yang tersisa hanyalah genangan darah dan bau kematian.

MALAM KETIGA - PENGKHIANATAN

Dapur Belakang.

Gito, pelayan senior yang sadis, sedang makan malam sendirian. Dia tersenyum mengingat bagaimana dulu ia sering meludahi makanan Baskara.

"Si sampah itu akhirnya mampus," kekehnya.

Tiba-tiba, lampu padam.

"Siapa?!" Gito menyambar pisau daging.

"Gito..." suara berbisik tepat di telinganya. "Apa kau ingat aku?"

Gito berbalik. Dalam keremangan, ia melihat sepasang mata merah menyala.

"Ba-Baskara?!"

"Bingo."

Gito mencoba menusuk, tapi tangannya dipatahkan dengan mudah.

KREK!

"ARGHH!"

Baskara mencekik lehernya, mengangkat tubuh gemuk itu ke udara.

"Setiap pagi kau mencambukku. Setiap siang kau menginjak makananku. Setiap malam kau mengunciku di gudang dingin."

Baskara tersenyum mengerikan.

"Malam ini, aku akan membalas semua 'kebaikanmu' itu."

Pagi berikutnya, terror hantu itu semakin menjadi.

Jeritan histeris pelayan wanita memecah keheningan pagi.

Semua orang berlarian ke halaman belakang.

Di sana, tergantung di pohon besar...

Mayat Gito.

Tubuhnya penuh luka cambukan. Wajahnya biru kehabisan napas. Lidahnya menjulur.

Dan di tanah di bawahnya, tertulis dengan darah segar:

"KALIAN SEMUA AKAN MENYUSUL."

Wibawa yang melihat pemandangan itu jatuh berlutut. Kakinya tidak kuat menopang tubuhnya.

"Hantu..." bisiknya ngeri. "Dia benar-benar hantu dari neraka..."

Sementara itu, di kamar yang gelap, sempit dan berdebu.

Baskara bermeditasi. Dua butir Batu Roh tersisa ia serap. Aura di sekelilingnya meledak pelan.

[PENGUMPULAN PRANA BINTANG 8 -> BINTANG 9! KONSOLIDASI DAN HARMONI: SEIMBANGKAN PRANA DALAM TUBUH]

Puncak Ranah Pengumpulan Prana. Selangkah lagi menuju Inti Emas.

"Semakin kuat," gumamnya.

[Tuan, hati-hati. Auramu sekarang terlalu kuat untuk disembunyikan. Tetua Satriya (Inti Emas Bintang 7) mungkin akan mendeteksinya.]

Baskara membuka mata. "Kalau begitu, aku harus membunuhnya sebelum dia menemukanku."

Sementara itu, di Sayap Utara...

Tetua Satriya membuka matanya tiba-tiba.

"Ada aura asing..." desisnya. "Kuat. Dan haus darah. Di sayap timur?"

Ia mengambil pedangnya.

Perburuan akan segera naik level.

[BERSAMBUNG KE BAB 17]

1
Meliana Azalia
Hahahaha 🤣
Ronny
Alamak ngerinyoo, lanjut thor🔥
Heavenly Demon
anjayy manteb manteb keren ni Baskara
Zen Feng
Feel free untuk kritik dan saran dari kalian gais 🙏
Jangan lupa like dan subscribe apabila kalian menikmati novelku 😁😁
Ren
mantab saya suke saya suke /Drool/
Ren
kedelai tidak jatuh di lubang yang sama dua kali👍
Ren
nasib orang lemah dimana mana selalu diremehin 😭
apang
toorrrrr si wibawa harus dimatiin ya
Ronny
Nekat si mc nekat banget
Heavenly Demon
suka banget pembalasan dendamnya, mntabss
Heavenly Demon
pembalasan dendam yang satisfying
Heavenly Demon
mantab dari cupu jadi suhu
Abdul Aziz
anjay seru banget figtnya ga cuma ngandelin otot tapi otak juga, brutal parah 😭 jangan sampe berhenti di tengah jalan thor, harus sampe tamat ya!!!
oya untuk tingat ranah bisa kamu jelasin lebih detail thor di komen agak bingung soalnya hehe
Abdul Aziz
gila gila bener bener brutal! mantab👍
Abdul Aziz
hoho balas dendam pertama
Abdul Aziz
lanjut lanjut thor gila fightnya brutal banget keren👍👍👍
Abdul Aziz
anjai modyar kan lo hampir aja
Abdul Aziz
kena batunya lo bas, keras kepala si lo
Abdul Aziz
huahahaa🤣 otaknya uda sengklek
Abdul Aziz
blak blakan banget ini mesin 🤣🤣🤣🤣
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!