Untuk membalaskan dendam keluarganya, Swan Xin menanggalkan pedangnya dan mengenakan jubah sutra. Menjadi selir di Istana Naga yang mematikan, misinya jelas: hancurkan mereka yang telah membantai klannya. Namun, di antara tiga pangeran yang berebut takhta, Pangeran Bungsu yang dingin, San Long, terus menghalangi jalannya. Ketika konspirasi kuno meledak menjadi kudeta berdarah, Swan Xin, putri Jendral Xin, yang tewas karena fitnah keji, harus memilih antara amarah masa lalu atau masa depan kekaisaran. Ia menyadari musuh terbesarnya mungkin adalah satu-satunya sekutu yang bisa menyelamatkan mereka semua.
Langkah mana yang akan Swan Xin pilih?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black _Pen2024, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6 Gerbang Merah yang Dingin.
Tatapan kasihan itu membekas di benaknya, lebih tajam dari hawa dingin yang merayap masuk ke dalam gua. Korban atau musuh, dan ada dimana serta bagaimana nasib mereka? Pertanyaan itu menggantung di udara beku, tanpa jawaban, saat Prajurit Bayangan itu mengantarnya pergi melalui jalan yang berbeda, jalan yang akan membawanya kembali ke dunia yang telah merenggut segalanya. Kini, beberapa hari kemudian, pertanyaan itu terkubur jauh di bawah lapisan sutra merah dan topeng keanggunan yang telah ia kenakan.
Gerbong mewah itu berguncang pelan di atas jalanan batu Ibukota Kekaisaran. Melalui jendela berukir yang ditutupi tirai tipis, Swan Xin bisa melihat kerumunan rakyat jelata yang menepi, mata mereka dipenuhi rasa ingin tahu dan kekaguman. Udara di luar terasa berat dan lengket, penuh dengan aroma dupa dari kuil-kuil terdekat, bau masakan dari kedai pinggir jalan, dan aroma samar dari selokan yang sesekali tertiup angin. Kontras yang aneh dengan udara gunung yang bersih dan tajam tempat ia menghabiskan delapan tahun terakhir. Di balik lapisan sutra merah delima yang mewah, baju zirah rantai yang tipis terasa dingin di kulitnya, sebuah pengingat konstan akan misi sejatinya.
“Kita sudah hampir sampai, Nona,” bisik seorang pelayan muda yang duduk di seberangnya, wajahnya pucat karena gugup.
Swan tidak menjawab. Ia hanya terus menatap keluar. Matanya tidak melihat wajah-wajah penasaran di kerumunan. Ia memetakan jalan, mengidentifikasi atap-atap yang bisa dijadikan titik pengawasan, mencatat posisi para penjaga kota yang berjaga di setiap persimpangan. Ibukota ini adalah medan perang barunya.
Gerbong melambat lalu berhenti total. Terdengar teriakan keras dari seorang kasim di luar.
“Atas titah Kaisar, beri jalan untuk Selir Xin!”
Pintu gerbong dibuka oleh seorang pengawal istana. Untuk sesaat, Swan hanya duduk diam, membiarkan semua mata tertuju padanya. Ia menarik napas dalam-dalam, menghembuskan Swan Xin sang pejuang, dan menghirup Mei Lin sang selir. Ketika ia akhirnya melangkah keluar, gerakannya penuh dengan keanggunan yang telah dilatihnya dengan susah payah. Matahari sore menyinari jubahnya, membuatnya tampak berkilauan seperti api cair.
Di hadapannya, menjulang Gerbang Naga Merah yang megah, pintu masuk menuju Istana Terlarang. Puluhan pelayan istana dan kasim telah berbaris rapi menyambutnya. Hening seketika. Bisikan-bisikan terdengar di antara para pelayan yang lebih tua, mereka yang telah mengabdi cukup lama untuk mengingat masa lalu.
“Lihat caranya berdiri,” bisik seorang pelayan tua pada temannya. “Punggungnya lurus sekali. Mirip seperti…”
“Ssst!” potong yang lain cepat, matanya melirik ngeri ke arah pengawas mereka. “Jangan sebut-sebut nama itu lagi.”
Seorang kasim kepala berperawakan tambun dengan senyum yang dipaksakan melangkah maju dan membungkuk dalam-dalam. “Selamat datang di Istana Naga, Selir Xin. Hamba, Kasim Agung Li, ditugaskan untuk mengantar Anda ke Paviliun Bunga Peoni.”
“Terima kasih atas sambutan Anda, Kasim Li,” jawab Swan, suaranya dibuat lembut namun menjaga jarak. Ia sengaja memancarkan aura arogansi yang dingin, sebuah perisai yang ia tahu sangat diperlukan.
Saat mereka mulai berjalan melintasi halaman marmer yang luas, Kasim Li berbicara lagi dengan nada yang lebih rendah. “Kabar kedatangan Anda telah menjadi buah bibir di seluruh istana, Nona. Terutama karena Anda datang atas rekomendasi langsung dari Guru Besar Wen.”
“Oh, ya?” sahut Swan acuh tak acuh, seolah itu bukan hal yang penting. “Kakekku memang punya banyak koneksi.”
Penyebutan ‘Kakek’ itu disengaja, sebuah kebohongan yang dirancang untuk memberinya lapisan perlindungan. Para pangeran mungkin tidak akan berani menyentuh cucu dari guru Ayah mereka sendiri secara terang-terangan. Namun, itu juga membuatnya menjadi target yang jauh lebih menarik.
“Tentu saja, Nona. Tentu saja,” Kasim Li tertawa kecil, menyeka keringat di dahinya yang botak. “Permaisuri Utama dan Selir Agung juga sudah menantikan kehadiran Anda. Mereka mengirimkan salam hangat.”
“Betapa baiknya mereka,” balas Swan, senyum tipis tersungging di bibirnya. Senyum itu tidak mencapai matanya. Ia tahu persis apa arti ‘salam hangat’ di tempat ini. Itu adalah cara lain untuk mengatakan, ‘Kami mengawasimu.’
Permaisuri Utama, ibu dari Pangeran Kedua yang cerdas tapi licik. Selir Agung, ibu dari Pangeran Sulung yang ambisius, arogan, tapi selalu bersikap ramah dipaksakan. Dua ratu ular yang menguasai harem. Swan tahu permainannya telah dimulai bahkan sebelum ia menginjakkan kaki di kamarnya.
Mereka melewati taman-taman yang terawat indah dan koridor-koridor panjang yang dihiasi lukisan sutra. Swan terus memindai sekelilingnya, menyerap setiap detail. Struktur bangunan, jumlah penjaga di setiap pos, bahkan arah angin. Semuanya adalah informasi. Semuanya adalah senjata.
“Paviliun Anda ada di depan, melewati tikungan itu, Nona,” kata Kasim Li, menunjuk ke sebuah jalur yang lebih sepi yang diapit oleh dinding tinggi dan rumpun bambu yang lebat. “Tempatnya sedikit terpencil, tapi sangat damai.”
“Kedamaian adalah kemewahan,” gumam Swan pelan.
Saat itulah ia merasakan sesuatu. Sebuah tatapan. Ia melambatkan langkahnya sedikit, indranya yang terlatih waspada. Tidak ada siapa-siapa. Koridor itu tampak sepi. Mungkin hanya perasaannya saja. Ia kembali berjalan, pikirannya kembali fokus pada peta istana yang telah dihafalnya. Letak paviliunnya relatif dekat dengan perpustakaan kekaisaran, tetapi jauh dari kediaman utama. Bagus. Itu akan memberinya ruang untuk bergerak di malam hari.
Ia begitu tenggelam dalam analisis strategisnya sehingga ia tidak melihat sosok gelap yang melangkah cepat dari balik sudut di depannya.
*Brukk!*
Sesuatu yang keras dan tak bergerak menghantam bahunya. Swan terhuyung mundur, kehilangan keseimbangan sesaat. Sebelum ia sempat jatuh, sebuah tangan mencengkeram lengannya. Jari-jari yang dingin dan kuat mencengkeram begitu erat, nyaris menyakitkan, menahannya tetap berdiri tegak.
“Maafkan hamba, Yang…” Kasim Li mulai tergagap ngeri, wajahnya memucat seketika.
Swan tidak mendengarnya. Ia mendongak, matanya bertemu langsung dengan pemilik tangan itu. Seorang pria muda berpakaian jubah sutra hitam polos yang mahal namun tanpa hiasan apa pun. Wajahnya tampan dengan cara yang keras dan tajam. Rahangnya tegas, dan bibirnya membentuk garis lurus yang dingin. Tapi yang paling menohok adalah matanya. Matanya sedingin es di puncak gunung tempat ia berlatih, kosong dari emosi apa pun. Namun, di balik kekosongan itu, Swan bisa merasakan sesuatu yang lain. Sesuatu yang tersembunyi.
Dia adalah Pangeran Bungsu. San Long.
Pria itu tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya menatap Swan, tatapannya menusuk tajam seolah mencoba menguliti jiwa Swan lapis demi lapis. Cengkeraman di lengannya tidak mengendur. Di dalam tatapan dingin itu, Swan tidak menemukan jejak seorang korban. Yang ia lihat hanyalah peringatan tanpa suara. Aura bengis dan mengancam yang membekukan darah di pembuluhnya....
trmkash thor good job👍❤