Lanjutan Beginning And End Season 2.
Setelah mengalahkan Tenka Mutan, Catalina Rombert berdiri sendirian di reruntuhan Tokyo—saksi terakhir dunia yang hancur, penuh kesedihan dan kelelahan. Saat dia terbenam dalam keputusasaan, bayangan anak kecil yang mirip dirinya muncul dan memberinya kesempatan: kembali ke masa lalu.
Tanpa sadar, Catalina terlempar ke masa dia berusia lima tahun—semua memori masa depan hilang, tapi dia tahu dia ada untuk menyelamatkan keluarga dan umat manusia. Setiap malam, mimpi membawakan potongan-potongan memori dan petunjuk misinya. Tanpa gambaran penuh, dia harus menyusun potongan-potongan itu untuk mencegah tragedi dan membangun dunia yang diimpikan.
Apakah potongan-potongan memori dari mimpi cukup untuk membuat Catalina mengubah takdir yang sudah ditentukan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon raffa zahran dio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13 : Tk Kyoko.
Pagi itu cerah—“kring… kring…” suara lonceng jam yang masih jauh terdengar lembut, melengkapi langit biru lembut yang tidak ada sehelai awan pun. Matahari masih rendah di ufuk timur, menebarkan cahaya keemasan yang memantul di kaca-kaca gedung kota, membuatnya tampak seperti padang mutiara yang menyala di pagi hari. Jalanan belum terlalu ramai—hanya beberapa sepeda dan mobil yang melintas dengan lambat, membuat suasana terasa tenang dan damai. Limosin hitam panjang meluncur mulus melewati pertigaan besar—“swish… swish…—ban nya menyentuh aspal dengan suara yang hampir tidak terdengar, seolah melayang di udara.
Andras duduk di kursi depan, tubuhnya tegak tapi rileks, rambut panjang ungu gelapnya memantulkan kilau violet yang indah di bawah cahaya pagi. Matanya—campuran biru yang jernih dan merah yang membara—menatap anak-anak di belakang melalui spion kaca depan dengan senyum kecil yang tulus. Meskipun begitu, aura kuatnya sebagai “Ratu Iblis Es” masih terasa jelas di sekitarnya—seolah udara di dalam mobil menjadi sedikit dingin tapi penuh perlindungan. Dia memegang cangkir teh hangat di tangan kanannya, jari-jari nya melingkari cangkir dengan lembut.
Di kursi kemudi, Leon mengendarai mobil dengan santai, jari-jari nya menekan pedal gas dengan tepat. Rambut panjang putih-pinknya tergerai sedikit karena angin yang masuk dari jendela sedikit terbuka, dan mata pink cerahnya sesekali melirik spion samping, memastikan jalan aman. Dia tersenyum senyum yang ceria, membuat wajahnya terlihat lebih muda dan ramah.
“Baiklah, anak-anak…” suara Andras lembut, tapi tetap berwibawa—suaranya terdengar seolah musik yang indah tapi memiliki kekuatan tersembunyi. Dia memutar kepala sedikit ke belakang, menatap Yoru, Matsu, Kasemi, dan Catalina yang duduk berdampingan di kursi belakang. “Sebentar lagi sekolah TK kalian sudah dekat. Ingat, tetap sopan sama teman dan gurunya, ya? Jangan buat kerusuhan.”
Leon menambahkan, mengangkat suaranya sedikit dan pura-pura galak—tapi mata nya tetap cerah dan penuh kasih. “Dan kalian semua harus rajin belajar! Jangan malas baca buku! Bikin bangga orang tua kalian! Okeee?!” Dia memutar kepala sedikit ke belakang, memberikan tatapan yang menantang tapi penuh cinta.
“Baik, Paman Leon!!” Yoru, Matsu, dan Kasemi menjawab kompak sambil duduk tegak—badan mereka lurus seperti tentara, tangan mereka diletakkan di pangkuan. Yoru memelototkan mata kiri kuning dan mata kanan biru tua nya dengan semangat, Matsu menyegarkan bando putih di atas kepala nya yang memiliki highlight pink gelap, dan Kasemi tersenyum lembut dengan mata ungu gelap nya.
Catalina mengangkat tangan kecilnya dengan cepat, jari-jari nya terbuka lebar. “Okay, papi! Aku pasti rajin dan sopan!” katanya dengan suara yang ceria dan penuh semangat—suaranya terdengar seolah burung yang berkicau pagi hari.
Leon langsung memutar kepala sedikit lebih jauh, tertawa terbahak-bahak—“hahaha…” suaranya terasa hangat dan penuh kebahagiaan. “Nah begitu dong! Anak papi paling manis dan rajin! Makanya papi suka banget sama kamu!” Dia membilang jempol ke arah Catalina, yang langsung tersenyum lebih lebar sampai menimbulkan kerut di sudut mata.
Andras cuma geleng-geleng kepala dengan senyum tipis yang menggemaskan, seperti berkata “tuh kan… kamu selalu suka memanjakan dia”. Dia membelai rambut Catalina melalui kursi belakang dengan jari-jari nya, membuat Catalina merasa lebih tenang dan aman.
Begitu limosin berhenti mulus di depan gerbang TK Kyoko—“krek…” rem nya terdengar lembut—gedung sekolah itu terlihat mewah tapi tidak membahayakan: temboknya berwarna pastel pink dan biru, atapnya berbentuk lonceng dengan langit-langit kaca yang memantulkan cahaya matahari. Halaman luas di depannya dihiasi taman kecil dengan bunga mawar, melati, dan matahari—warna-warni seperti pelangi—dan patung-patung hewan berwarna pastel: kelinci, kucing, dan burung yang lucu, membuat anak-anak ingin langsung bermain di situ. Suara burung berkicau terdengar jelas—“cit-cit… cir-cir…—menyusun lagu pagi yang indah.
“Sudah sampai, putri kecil Mama.” kata Andras dengan suara lembut, meletakkan cangkir teh di meja samping. Dia memutar tubuhnya dan membuka sabuk pengaman Catalina dengan gerakan perlahan, jari-jari nya tidak mau menyakitkan anaknya yang kecil.
Catalina turun duluan, kaki kecilnya menyentuh tanah dengan suara “thap…—dia mengenakan baju seragam TK berwarna putih dengan rok pink muda, dan sepatu kaca yang mengkilap. Dia segera berdiri tegak, menatap halaman sekolah dengan mata yang bersinar. Disusulnya Yoru, Matsu, dan Kasemi—mereka juga mengenakan seragam yang sama, terlihat rapi dan siap untuk hari baru.
Limosin berjalan pergi perlahan—“wooshhh…—meninggalkan deburan angin kecil yang meniup rambut anak-anak. Catalina menarik napas dalam-dalam—“huuff…—udara pagi yang segar dan berbau bunga masuk ke paru-parunya, membuatnya merasa segar dan penuh semangat.
“Baiklah adik-adik ku, ikutin kakak ya! Jangan nyasar!” katanya dengan suara yang tegas tapi lembut, mengangkat tangan sebagai tanda untuk mengikuti. Mereka serentak menjawab, “Baik, kak Catalina!!” dengan semangat, mengikuti langkah-langkah Catalina yang kecil ke dalam halaman. Angin pagi meniup lembut rambut Catalina yang putih-pink gradasinya, membuatnya melambai-lambai seperti awan muda.
Catalina dalam hati bergumam, matanya sedikit menyipit—ekspresi wajahnya berubah dari ceria menjadi sedikit sedih dan takut. “Di masa depan yang dulu… Kurumi mati sebelum sempat masuk TK. Dia tidak pernah bisa merasakan kebahagiaan bermain di sekolah dengan teman-teman. Tapi sekarang… syukurlah dia selamat. Walau mata kirinya… sudah berbeda.” Ia menggigit bibir tipis, menahan rasa takut akan bayangan masa depan yang dulu, jari-jari nya menggenggam roknya dengan kuat sampai kulitnya sedikit memerah.
Di sisi lapangan yang berlumut hijau, Remi dan Haken sedang berkumpul dengan Mayuri, yang seperti biasa… wajahnya merah merona, sikap tsundere-nya maksimal. Remi berdiri dengan rambut ungu pucat yang diikat kuda, mata hijau muda nya terlihat cemas melihat Mayuri yang marah. Haken berdiri di sampingnya, rambut ikal ungu gradasi merah nya tergeletak rapi, mata kuning nya terlihat penasaran dengan tingkah Mayuri.
“APASIH!! KENAPA KALIAN MAKSA AKU MAIN SAMA KAS… KAS… DIA SANA?!” Mayuri berteriak dengan suara yang kencang—“dekel… dekel…—suaranya bergema sedikit di lapangan. Dia memalingkan wajah dengan cepat, rambut panjang putih yang dikuncir dua nya melayang di udara. “K-kalau begitu… ya… yaudah… kita temenan… apalagi orang tua kita temenan… tapi jangan harap aku suka banget!!”
Catalina yang sedang mendekat menghela napas panjang—“fuuuhh…—ekspresi wajahnya berubah menjadi lelah tapi lucu. “Ya Tuhan… Mayuri bener-bener kebalikan total dari mamanya yang ceria dan ramah… capek liat tingkahnya sumpah… tapi juga lucu sih.” Dia berjalan lebih cepat, menyusun anak-anak di belakangnya.
Kasemi yang melihat Mayuri langsung melambaikan tangan dengan semangat, senyumnya lebar dan tulus. “Hai Mayuri! Kita ketemu lagi! Kamu sudah siap main hari ini?” katanya dengan suara yang lembut dan penuh kasih, mata ungu gelap nya menatap Mayuri dengan harapan.
Wajah Mayuri yang sudah merah merona langsung menjadi lebih merah—seperti buah ceri yang matang. “Ih… kenapa kamu ada di sini sih… nggak ada urusan mu kan?!” dia berteriak lagi, tapi suaranya sudah lebih lembut dan penuh malu. Dia memalingkan wajah lebih jauh, tidak berani melihat Kasemi.
Catalina, Yoru, Matsu, Remi, dan Haken kompak mundur satu langkah—“tap…—langkah mereka serentak. Hampir semuanya berpikir yang sama: “duh, drama lagi… ini pasti akan lama.” Yoru menggeleng-geleng kepala dengan ekspresi bingung, Matsu menutupi mulutnya dengan tangan untuk menahan tawa, dan Haken sudah mulai tertawa diam-diam.
Kasemi tersenyum lembut meskipun wajahnya sedikit menunduk. “Kita bisa main layang-layang bareng lagi! Aku bawa layang-layang berbentuk burung yang kamu suka kemarin.” katanya dengan suara lirih, seolah takut menyakitkan perasaan Mayuri.
“GA MAU!!” seru Mayuri sambil menoleh tajam ke arah Kasemi, tapi matanya tidak berani menatap mata nya. “Layang-layang itu jelek!!”
Kasemi menunduk lebih rendah, suaranya semakin lirih. “Baiklah… maaf… aku tidak tahu kamu tidak suka…” dia berkata, matanya mulai sedikit merah dan terasa seperti mau nangis.
Mayuri menggigit bibir bawahnya dengan kuat, matanya memalingkan lagi tapi dia bisa melihat kasihan di wajah teman-teman. Lalu tiba-tiba—“cekrek…—dia menarik tali tas Kasemi yang tergeletak di lantai dengan lembut. Dia mengangkat kepala sedikit, wajahnya masih merah merona tapi matanya terlihat jujur. “…Baiklah. Cuma sekarang ya… besok belum tentu!!” katanya dengan suara pelan, malu, tapi jelas.
Catalina memejamkan mata sebentar, menghela napas lagi—“astaga… sumpah ini couple bocah bikin mual tapi juga lucu banget… kapan ya mereka mau jujur satu sama lain?” pikirnya, tapi dia tersenyum di dalam hati. Dia melihat Kasemi yang langsung tersenyum lebih lebar, matanya menyala dengan kegembiraan, dan Mayuri yang memalingkan wajah tapi dengan senyum kecil yang tersembunyi.
Dari sisi kiri lapangan, lima anak muncul serempak—langkah mereka teratur dan penuh semangat. “tap-tap-tap…” suara kaki mereka menyentuh lumut dengan jelas. Yang paling depan adalah Shinn—rambut silver gelap gradasi merah tua nya tergantung di wajahnya, mata merah tajam nya menatap ke arah Catalina dengan ekspresi yang tenang tapi hangat. Dia mengenakan seragam yang sama, tapi roknya sedikit lebih pendek sehingga memudahkan dia berjalan. Di sampingnya adalah Kurumi—rambut abu abu panjang lembut nya melayang di angin, dia terus memegang mata kirinya dengan jari-jari mungilnya, seolah takut orang melihat. Di sebelah mereka lagi adalah Rintaro—rambut landak kuning-biru nya terlihat rapi, mata biru cerahnya menyala dengan semangat. Di belakangnya adalah Asuna—rambut pendek pink emas nya terlihat lucu, dia berdiri sedikit di belakang teman-teman, tubuhnya sedikit gemetar karena pemalu. Dan yang paling belakang adalah Dheon—rambut hijau jade mengkilap nya terlihat cantik, mata hijau jade nya yang paling kalem terlihat sedang memikirkan sesuatu.
Rintaro mengangkat tangan tinggi-tinggi, jari-jari nya terbuka lebar. “Hei!! Kalian semua yang di pesta ulang tahun Yoru dan Matsu, kan?! Akhirnya ketemu lagi!! Senang banget deh!!” serunya dengan suara yang ceria dan berisik—“dekel…—suaranya terdengar jelas di seluruh lapangan.
Haken langsung tertawa meledak-ledak—“hahaha… HAHAHA…—suaranya terasa penuh kebahagiaan. “HAHAH! Jadi rame banget!! ASIK!! Akhirnya ada yang bisa main lari-lari sama aku!!” dia berteriak, melompat-lompat sedikit di tempatnya.
Matsu cepat-cepat menutup telinganya dengan kedua tangan, matanya menyipit karena suara Haken yang terlalu kencang. “Haken! berisik banget!! Telinga aku pusing!!” katanya dengan suara yang sedikit marah tapi lucu, menatap Haken dengan ekspresi kesal.
Remi mendekati Yoru dengan langkah kecil, tangan nya memegang ujung rok seragamnya dengan lembut. Dia terlihat sedikit malu, mata hijau muda nya menatap Yoru dengan harapan. “Yoru… aku bisa main piano dan seruling! Mau dengar nggak nanti sore? A-aku bawa serulingnya di tas…” katanya dengan suara pelan, pipinya sedikit memerah.
Yoru tersenyum kecil, matanya kiri kuning dan kanan biru tua nya terlihat lembut. “Oke, Remi! Sepulang sekolah ya! Aku pasti dengar sampai selesai!” jawabnya dengan suara yang tenang tapi penuh keyakinan, membuat Remi tersenyum lebih lebar.
Asuna mendekati Catalina dengan langkah pendek gemetar—“tap… tap…—dia berdiri sedikit jauh, tubuhnya sedikit membungkuk. “A-aku… maaf… kemarin di pesta aku nggak banyak bicara… aku cuma pemalu…” katanya dengan suara yang sangat pelan, hampir tidak terdengar. Dia memalingkan wajah, tidak berani melihat Catalina.
Catalina mendekati Asuna dengan langkah pelan, menempatkan tangan kecilnya di bahu Asuna yang lembut. “Nggak apa-apa, kak Asuna. Kamu pemalu itu oke kok! Sekarang kita punya banyak waktu buat main dan ngobrol. Aku akan ajak kamu main bola nanti ya, biar kamu lebih percaya diri!” katanya dengan suara yang lembut dan penuh kasih, membuat Asuna merasa lebih tenang.
Asuna mengangkat kepala sedikit, mata aqua nya menatap Catalina dengan senyum malu-malu. “T-terima kasih, Catalina… aku mau main bola sama kamu…”
Saat Kurumi mendekat ke kelompok, dia masih memegang mata kirinya dengan kuat—tubuhnya sedikit gemetar, seolah takut teman-teman akan benci atau takut padanya. Dia berdiri sedikit di belakang Shinn, yang langsung menaruh tangan di pundak Kurumi untuk menenangkannya. “Jangan takut, Kurumi. Mereka semua baik-baik saja.” bisik Shinn dengan suara lembut.
Kurumi mengangguk sedikit, tapi masih tidak mau melepaskan tangan dari mata nya. Tapi tiba-tiba, angin pagi meniup dengan sedikit lebih kuat—“swooosh…—menarik tangan Kurumi yang memegang mata nya dengan lembut. Tanpa sengaja, mata kirinya terbuka sepenuhnya—membentuk diamond hijau yang sempurna, memancarkan aura lembut tapi sedikit gelap yang unik.
Semua anak-anak berhenti berbicara, mata mereka langsung tertuju ke mata Kurumi. Haken spontan teriak dengan suara yang kencang dan penuh kagum—“WAAAH!! MATA KURUMI KEREN BANGET!! SEPERTI INTAN HIJAU YANG HIDUP!!” dia melompat-lompat dengan semangat, mata kuning nya menyala dengan kagum.
Matsu juga bersinar matanya—mata pink keunguan nya memancarkan kegembiraan. “Indah banget! Cantik banget!! Lebih cantik dari bunga mawar di taman!!” katanya dengan suara ceria, mengangkat tangan untuk menunjuk ke mata Kurumi.
Anak-anak lain mengangguk kagum. Rintaro mengangkat jempol, “KEREN ABIS!! Aku pengen punya mata kayak gitu!!” Remi tersenyum lebar, “Cantik banget, Kurumi! Kamu jadi lebih cantik deh!!” Yoru dan Dheon juga mengangguk, terlihat kagum.
Kurumi terkejut—bibirnya terbuka lebar, mata kanan hijau muda nya membelalak. Dia refleks menunduk, tangan nya ingin kembali menutupi mata kirinya tapi terlalu terkejut. Tubuhnya gemetar lebih kuat, pipinya merah merona ...dan air mata mulai berkumpul di sudut mata kanan nya yang normal. “Aku… aku takut mereka akan takut…” bisiknya dengan suara yang sangat pelan, hampir hancur. Dia menggemaskan wajah ke dalam lengan Shinn yang berdiri di sampingnya, tubuhnya masih gemetar seperti terkena angin dingin.
Shinn menepuk punggung Kurumi dengan lembut—“thap… thap…—gerakannya perlahan dan penuh kasih. “Jangan menangis, Kurumi. Lihatlah… mereka tidak takut, malah suka.” katanya dengan suara tenang yang bisa menenangkan. Dia menatap ke arah kelompok anak-anak dengan mata merah tajam nya yang penuh perlindungan, seolah memberitahu mereka untuk berhati-hati dengan kata-kata.
Catalina mendekati Kurumi dengan langkah pelan, tangan kecilnya menutupi mulutnya sebentar seolah ingin menahan rasa sedih yang muncul. Dia melihat Kurumi yang menangis dan merasa sakit di hati—dia ingat bayangan masa depan yang dulu, di mana Kurumi tidak pernah bisa merasakan kebahagiaan ini. Dia berhenti tepat di depan Kurumi, mengangkat tangan untuk menyentuh bahunya yang lembut.
“Kurumi… nggak apa-apa kan? Mereka suka matamu. Lihat?” dia berkata dengan suara yang lembut dan penuh kasih, menunjuk ke arah anak-anak yang masih terkejut dan kagum. “Haken bilang keren, Matsu bilang cantik… semua orang suka loh! Matamu itu unik dan indah—tidak ada yang punya mata kayak kamu di dunia ini!”
Kurumi mengangkat kepala sedikit, wajahnya masih basah karena air mata. Dia melihat Catalina dengan mata kanan yang merah dan mata kiri yang diamond hijau masih menyala. Dia melihat senyum tulus di wajah Catalina, dan melihat anak-anak lain yang juga tersenyum ke arahnya. Haken masih melompat-lompat, Matsu tersenyum lebar, dan Rintaro masih mengangkat jempol.
“I-iya?” bisik Kurumi dengan suara yang bergetar. Dia mengusap air mata dengan ujung lengan seragamnya, pipinya masih merah merona. Dia melihat mata kiri nya di cermin yang terletak di sudut lapangan—diamond hijau yang sempurna, memantulkan cahaya matahari. Dia pernah berpikir mata itu jelek dan menyakitkan, tapi sekarang… dia melihat keindahannya yang tersembunyi.
“Ya dong! Kamu jadi kayak pangeran atau putri dari cerita dongeng yang punya mata indah!” kata Haken dengan suara ceria, mendekati Kurumi dan menepuk bahunya dengan lembut. “Nanti kita main bareng ya! Aku ajak kamu main lari-lari ke taman belakang sekolah!”
“Bisa juga kita buat kalung bunga seperti yang kita janjikan kemarin!” tambah Catalina dengan senyum, memegang tangan Kurumi. Kurumi mengangguk dengan cepat, air mata sudah berhenti tapi senyumnya mulai muncul di wajah. “I-iya… aku mau buat kalung bunga sama kamu semua… terutama sama Catalina.”
Mata Mayuri yang tadinya sibuk dengan Kasemi juga tertuju ke Kurumi. Dia berdiri sedikit jauh, tapi wajahnya tidak terlihat takut—malah terlihat kagum sedikit. “M-mata mu… memang keren sih… tapi jangan sombong ya!” katanya dengan suara yang sedikit kencang tapi tidak marah, pipinya sedikit memerah. Semua anak-anak tertawa—“hahaha…—suara tawa mereka memenuhi lapangan, membuat suasana semakin hangat dan meriah.
Tiba-tiba, suara lonceng sekolah berbunyi—“kring-kring-kring…—suaranya keras dan jelas, memberitahu bahwa jam masuk sudah tiba. Semua anak-anak berhenti bermain dan berbicara, menoleh ke arah gerbang kelas. Guru TK, Bu Siti, yang mengenakan baju warna biru muda dan rok hitam, berdiri di depan pintu kelas dengan senyum ramah.
“Yuk, anak-anak! Masuk kelas ya! Hari ini kita akan belajar menggambar hewan kesukaan kita!” panggil Bu Siti dengan suara ceria. Anak-anak langsung berjalan ke arah kelas, langkah mereka cepat dan penuh semangat.
Kurumi masih berdiri sedikit lambat, tangan nya masih memegang tangan Catalina. Dia melihat mata kiri nya sekali lagi di cermin, lalu melihat Catalina yang tersenyum padanya. “Catalina… terima kasih… karena kamu ada di sini.” bisiknya dengan suara tulus.
Catalina memelototkan mata, senyumnya semakin lebar. “Sama-sama, Kurumi! Kita temen kan? Selalu bersama!” katanya, menarik tangan Kurumi untuk mengikuti teman-teman yang sudah masuk kelas.
Shinn menyusul di belakang mereka, mata merah tajam nya menatap kedua anak kecil itu dengan senyum kecil. Dia melihat ke langit biru yang cerah, dan merasa lega—Kurumi akhirnya bisa merasakan kebahagiaan yang dia pantas dapatkan. Di baliknya, Kasemi masih berdampingan dengan Mayuri yang masih malu-malu, dan Remi sedang berbicara dengan Yoru yang tenang.
Semua anak-anak memasuki kelas dengan senyum dan semangat. Cahaya matahari masuk melalui jendela besar, menyinari ruangan yang cerah dan penuh mainan. Suara anak-anak berbicara dan tertawa memenuhi ruangan, menandai awal hari baru yang penuh harapan dan kebahagiaan.
Catalina duduk di sebelah Kurumi, memegang tangannya dengan lembut. Dia melihat ke luar jendela, melihat langit biru yang cerah dan awan-awan yang sedikit mulai muncul. Dia mengingat bayangan masa depan yang dulu, tapi sekarang… dia tahu bahwa masa depan sudah berubah. Kurumi selamat, mereka semua bersama-sama, dan ada banyak kebahagiaan yang menanti di depan.
“Hari ini adalah hari yang baru… dan masa depan akan lebih baik.” pikir Catalina dengan senyum, melihat Kurumi yang sedang menyanyi sambil menyiapkan kertas dan pensil untuk menggambar. Dia merasa bahagia dan lega—semua yang dia lakukan kemarin malam tidak sia-sia. Dia akan selalu melindungi teman-temannya, terutama Kurumi, dari semua bahaya yang mengintai.