Kisah dewasa (mohon berhati-hati dalam membaca)
Areta dipaksa menjadi budak nafsu oleh mafia kejam dan dingin bernama Vincent untuk melunasi utang ayahnya yang menumpuk. Setelah sempat melarikan diri, Areta kembali tertangkap oleh Vincent, yang kemudian memaksanya menikah. Kehidupan pernikahan Areta jauh dari kata bahagia; ia harus menghadapi berbagai hinaan dan perlakuan buruk dari ibu serta adik Vincent.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
Mobil yang dikemudikan Jonas akhirnya tiba di rumah sakit terdekat.
Jonas membopong tubuh Vincent yang berlumuran darah keluar dari mobil, menimbulkan kepanikan di lobi gawat darurat.
"Korban tembak! Segera!" teriak Jonas.
Beberapa perawat dan dokter segera bergerak cepat.
Vincent diletakkan di atas ranjang dorong, dan dalam hitungan detik, ia didorong menuju ruang operasi.
Areta berlari mengikuti mereka dengan gaun dan sweater-nya berlumuran darah Vincent.
Ia hanya bisa melihat punggung dokter yang menghilang di balik pintu baja Ruang Operasi.
Seorang perawat menghampiri Areta dan mencoba menenangkannya.
"Nyonya, Anda tidak bisa masuk. Mari ikut saya untuk membersihkan diri anda."
Areta menggelengkan kepalanya, tetapi perawat menarik tangan Areta menuju ke ruang tunggu yang sepi.
Bau antiseptik dan ketegangan memenuhi udara rumah sakit.
Areta duduk di kursi tunggu, tubuhnya gemetar tak terkendali.
Meskipun ia membenci Vincent, ia tidak ingin pria itu mati. Tidak setelah Vincent mempertaruhkan nyawanya untuk melindunginya.
Jonas menghampiri Areta, wajahnya masih tegang, tetapi ia berusaha bersikap tenang.
"Nyonya Areta, mari saya antar Anda mencuci tangan. Anda harus tenang," bujuk Jonas.
Areta menatap Jonas dengan matanya yang berkaca-kaca.
"Aku takut, Nas," ucap Areta, suaranya tercekat dan sangat lirih, memanggil Jonas dengan panggilan akrab yang tidak sengaja terucap.
Ketakutannya begitu besar hingga ia lupa menjaga jarak.
Jonas tidak terkejut dengan panggilan itu. Dan ia hanya mengangguk, lalu berlutut di depan Areta.
"Tuan Vincent akan baik-baik saja, Nyonya. Dia lebih kuat dari siapa pun yang pernah saya kenal. Peluru itu hanya mengenai bagian lunak, bukan organ vital," Jonas meyakinkan, meskipun ia sendiri tidak seratus persen yakin.
"Tuan Vincent tidak akan meninggalkan Anda. Dia tidak akan pernah melepaskan miliknya."
Jonas membantu Areta berdiri dan membawanya ke wastafel.
Air mengalir deras, membersihkan noda darah dari tangannya.
"Tuan Vincent terluka parah untuk melindungi Anda, Nyonya," lanjut Jonas, suaranya pelan.
"Itu membuktikan, meskipun dia mafia, meskipun dia posesif, dia tidak akan membiarkan Anda tersentuh oleh musuhnya."
Areta menatap pantulan dirinya di cermin, air mata kembali mengalir.
Dia menyadari ironi mengerikan dimana Vincent, monster yang mengikatnya, adalah satu-satunya yang mau berdiri di depan peluru untuknya.
"Siapa yang melakukannya, Jonas? Siapa musuhnya?" tanya Areta.
Jonas menggelengkan kepalanya sambil mengeringkan tangan Areta.
"Saya tidak tahu, Nyonya. Tapi saya akan mencari tahu."
Mereka kembali ke ruang tunggu di depan ruang operasi .
Jam terus berdetak, terasa sangat lambat. Setiap detik adalah siksaan.
Areta duduk, menatap lurus ke pintu ruang operasi, berdoa untuk pria yang ia benci, tetapi yang kini adalah satu-satunya jaminan hidupnya.
Waktu terasa berhenti bagi Areta. Berjam-jam telah berlalu sejak Vincent dibawa ke ruang operasi.
Aroma kopi, bau rumah sakit, dan suara langkah kaki yang tergesa-gesa menjadi latar belakang mimpi buruknya.
Areta duduk mematung di kursi tunggu, masih mengenakan pakaian yang lusuh dan ternoda darah.
Jonas yang sejak tadi mondar-mandir dan sibuk mengatur komunikasi dengan anak buahnya, kembali dengan kantong kertas.
"Nyonya, Anda belum makan apa-apa. Ini bubur ayam hangat dan teh manis. Anda harus makan," ujar Jonas lembut, menyodorkan makanan itu.
Areta menggelengkan kepala, tetapi Jonas bersikeras.
"Tuan Vincent tidak akan suka jika Anda sakit saat dia bangun. Kumohon, Nyonya."
Areta menatap wajah Jonas dan dengan tangan gemetar, mengambil mangkuk bubur itu.
Ia memaksakan diri makan beberapa suap. Energi kembali, tetapi ketegangan di hatinya tidak hilang.
Hingga akhirnya pintu ruang operasi terbuka dan seorang dokter bedah keluar, wajahnya lelah tetapi terlihat lega.
"Dokter! Bagaimana suami saya?" tanya Areta, suaranya tercekat.
"Operasi berhasil. Peluru berhasil diangkat. Untungnya, tembakan itu tidak mengenai organ vital utama, meskipun cederanya parah. Tuan Vincent sudah melewati masa kritis. Dia adalah pria yang sangat kuat."
Areta merasakan air mata lega mengalir. Jonas menghela napas panjang, bersyukur.
"Kami akan memindahkannya ke ruang pemulihan VIP. Dia mungkin akan sadar dalam beberapa jam ke depan, tapi dia butuh istirahat total," tambah dokter itu.
Tak lama kemudian, Vincent dipindahkan ke ruang perawatan yang mewah dan sepi. Areta segera duduk di samping tempat tidur suaminya.
Vincent terbaring diam, wajahnya pucat, ditutupi selang dan sensor medis.
Sebuah perban tebal menutupi luka tembak di dadanya.
Alat monitor jantung berbunyi pelan dan ritmis, sebuah pengingat akan hidupnya yang tergantung.
Jonas berdiri di sudut ruangan dan mengawasi mereka.
Areta meraih tangan Vincent yang bebas infus, tangan yang selama ini menyiksanya kini terasa dingin dan tak berdaya.
Ia menatap Vincent, rasa benci dan rasa berutang budi bercampur aduk.
"Kenapa kamu melindungiku?" gumam Areta, suaranya sangat lirih, tidak bermaksud didengar oleh Jonas.
Ia tidak mengerti. Jika Vincent membencinya, jika ia hanya jaminan, mengapa Vincent mempertaruhkan nyawanya sendiri? Monster yang ia kenal seharusnya membiarkannya mati di pemakaman agar tidak perlu lagi repot-repot mencari dan menghukumnya.
Air mata Areta kembali menetes di pipinya, ia langsung menyeka air mata itu dengan cepat, tidak ingin terlihat lemah.
Ia adalah tawanan, dan Vincent adalah pemiliknya.
Tindakan Vincent di pemakaman hanya menegaskan satu hal kalau dia adalah milik Vincent dan tidak ada orang lain, termasuk musuh-musuh Vincent, yang boleh menyentuhnya.
Tengah malam di keheningan di ruang perawatan VIP dipecahkan hanya oleh suara lembut alat monitor.
Lampu remang-remang menyinari ruangan pemulihan.
Areta masih duduk di kursi samping ranjang dengan wajah yang kelelahan, tetapi tidak berani tidur.
Ia menatap wajah Vincent, air mata mengalir pelan saat ia memikirkan betapa rumit dan mengerikannya nasibnya.
Tiba-tiba, mata Vincent terbuka dan pandangannya yang tajam langsung tertuju pada Areta.
"Kenapa kamu menangis?" tanya Vincent, suaranya serak dan sangat lemah, tetapi otoritasnya masih terasa.
Areta terkejut ketika mendengar perkataan dari suaminya yang baru sadar.
Ia segera menghapus air matanya dengan punggung tangan, malu tertangkap basah.
Vincent menyeringai tipis, senyum yang sama dinginnya dengan sebelum tertembak.
"Bukankah kamu seharusnya bisa kabur saat aku operasi? Ini kesempatanmu yang paling sempurna."
Areta menggigit bibir, marah karena Vincent meremehkan ketakutannya.
Dengan gerakan cepat yang didorong oleh emosi campur aduk, Areta langsung mencubit keras lengan Vincent yang bebas infus.
"Aww!" Vincent terkejut, namun tawanya segera pecah.
Ia tertawa kecil dengan suara seraknya terdengar lucu.
"Berani sekali kau, Nyonya Areta."
Areta segera menarik tangannya, wajahnya memerah.
Vincent bergeser sedikit dan meminta istrinya mendekat, tangannya meraih tangan Areta dan menaruhnya di pipinya.
"Jadi, apakah kamu sudah mencintaiku?" tanya Vincent sambil menatap wajah istrinya.
"Apakah perbuatan bodohku di pemakaman itu cukup untuk membuatmu mencintaiku?"
Areta menatap matanya yang terluka. Ia tahu, rasa berutang budi dan rasa terkejutnya telah mengacaukan perasaannya, tetapi ia tidak akan membiarkan Vincent menang.
"Tidak." jawab Areta sambil menggelengkan kepalanya.
Vincent tertawa lagi, tawa yang kali ini lebih keras, meskipun ia harus menahan sakit.
"Ayolah, jangan membohongi dirimu sendiri, Areta. Aku melihat air matamu. Kamu tidak ingin aku mati. Aku sudah membuktikan padamu. Aku mungkin monster, tapi aku monstermu. Dan aku akan melindungi apa yang menjadi milikku, bahkan dengan nyawaku sendiri."
Ia menahan tangan Areta lebih erat, memaksanya tetap di pipinya.
"Cinta adalah keterikatan, Areta. Dan sekarang, kau terikat padaku."
lanjut Thor💪😘