Ini cerita sederhana seorang pemuda di pedesaan. Tentang masalah pertumbuhan dan ketertarikan terlarang. Punya kakak ipar yang cantik dan seksi, itulah yang di alami Rangga. Cowok berusia 17 tahun itu sedang berada di masa puber dan tak bisa menahan diri untuk tak jatuh cinta pada sang kakak ipar. Terlebih mereka tinggal serumah.
Semuanya kacau saat ibunya Rangga meninggal. Karena semenjak itu, dia semakin sering berduaan di rumah dengan Dita. Tak jarang Rangga menyaksikan Dita berpakaian minim dan membuat jiwa kejantanannya goyah. Rangga berusaha menahan diri, sampai suatu hari Dita menghampirinya.
"Aku tahu kau tertarik padaku, Dek. Aku bisa melihatnya dari tatapanmu?" ucapnya sembari tersenyum manis. Membuat jantung Rangga berdentum keras.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desau, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 6 - Berduka
Hari pemakaman Yuli dilakukan pada hari itu juga, tepat sebelum hari benar-benar menjelang malam. Langit masih menggantungkan awan kelabu, seolah enggan sepenuhnya terang maupun gelap. Gerimis tipis turun perlahan, membasahi tanah pemakaman yang sudah lembek. Tak ada yang mengeluh. Tak seorang pun mempermasalahkan hujan yang turun. Justru hujan itu terasa seperti bagian dari duka, seakan alam ikut bersedih atas kepergian seorang ibu yang dikenal baik oleh banyak orang.
Rangga berdiri kaku di dekat liang lahat. Matanya menatap kosong ke arah kain kafan yang perlahan diturunkan ke dalam tanah. Tubuhnya terasa berat, seolah seluruh dunia menekan bahunya dari segala arah. Suara doa terdengar samar di telinganya, seperti datang dari tempat yang sangat jauh. Ia tahu orang-orang sedang mendoakan ibunya, tapi pikirannya tak mampu menangkap satu kata pun dengan utuh.
Saat tanah mulai ditimbunkan, dada Rangga terasa sesak. Nafasnya pendek-pendek. Inilah akhir. Dia benar-benar harus menerima kenyataan bahwa sosok yang selama ini selalu menyambutnya pulang, yang memarahinya dengan penuh kasih, yang menjadi satu-satunya sandaran hidupnya, kini telah pergi untuk selamanya. Tidak ada lagi esok bersama ibunya.
Usai pemakaman, Rangga pulang ke rumah dengan langkah gontai. Begitu sampai, ia langsung masuk ke kamar tanpa menoleh ke siapa pun. Pintu kamar ditutupnya rapat. Ia menjatuhkan tubuh ke atas ranjang, lalu kembali meratap. Tangisnya pecah lagi, lebih keras, lebih dalam. Suara isakannya tertahan oleh bantal yang ia peluk erat. Ia benar-benar tak menyangka ibunya akan pergi secepat ini, tanpa pamit, tanpa kesempatan terakhir untuk berbicara atau sekadar memeluk.
Hari itu berakhir dengan Rangga yang tertidur dalam kelelahan emosional, meski tidurnya tak pernah benar-benar nyenyak. Bayangan wajah ibunya terus muncul setiap kali ia memejamkan mata.
Satu hari berlalu.
Hari kembali tampak normal bagi dunia. Cahaya matahari pagi menyinari cakrawala dengan terang, menembus celah-celah jendela rumah. Udara terasa segar setelah hujan semalam. Burung-burung berkicau seperti biasa. Seolah alam ingin berkata bahwa hidup harus terus berjalan, apa pun yang terjadi.
Namun semua itu tak berarti apa-apa bagi Rangga.
Ia masih terbaring di ranjangnya sejak semalam. Tubuhnya terasa lemas. Kepalanya pening. Perutnya kosong, tapi tak ada selera makan. Ia bahkan tak tahu apakah ia benar-benar tertidur atau hanya terpejam sepanjang malam. Yang jelas, ia belum makan apa pun sejak kemarin. Alhasil, tubuhnya menyerah. Demam mulai menyerang, membuat badannya panas dan menggigil bergantian.
Pintu kamar terbuka. Firza muncul dari balik pintu. Kakaknya itu sudah mengenakan seragam polisi lengkap, tampak rapi dan tegas seperti biasa. Namun di wajahnya, ada gurat kelelahan dan emosi yang tertahan.
“Rangga! Kau nggak sekolah?” suara Firza terdengar agak keras. Ia melangkah masuk sedikit. “Ayolah! Kau nggak bisa begini terus,” lanjutnya, berusaha terdengar tegas meski hatinya sendiri sebenarnya masih diliputi duka.
Rangga tak bergerak. Ia tetap memunggungi pintu, tubuhnya meringkuk di atas ranjang.
“Rangga! Aku ngomong sama kamu! Kau dengar atau tidak? Jangan lebay kau!” geram Firza, emosinya mulai naik. Ia tak pandai mengekspresikan kesedihan, dan kemarahan sering kali menjadi pelarian.
Rangga akhirnya bergerak sedikit. Dengan suara lemah namun jelas, ia menyahut, “Bang… Aku ini adikmu. Bukan tahanan.”
Firza terdiam sejenak. Rahangnya mengeras. “Kau—” katanya hendak melanjutkan, namun terpotong.
“Sudahlah, Mas. Biarkan saja,” suara Dita terdengar dari ambang pintu. Ia berdiri di sana dengan raut lebih lembut. “Lagian nggak masalah libur sekolah sehari. Orang di sekolah pasti maklum. Kan Rangga baru ditinggal ibunya.”
Firza menghela napas kasar. “Ya sudah. Aku serahkan dia sama kamu. Kalau betingkah, beritahu aku. Biar nanti aku hajar aja,” katanya setengah bercanda, setengah serius.
“Mas…” Dita menegur pelan, tak setuju dengan ucapan itu. Namun Firza sudah keburu berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan rumah untuk berangkat kerja.
Setelah Firza pergi, suasana rumah kembali sunyi. Dita tak langsung masuk ke kamar Rangga. Dia membiarkan lelaki itu tetap sendiri untuk sementara. Ia menuju dapur dan mulai menyiapkan sarapan. Pikirannya tertuju pada Rangga yang sejak kemarin hampir tidak makan apa pun. Makanan terakhir yang masuk ke perut Rangga hanyalah pisang goreng buatannya.
Tak lama kemudian, Dita membawa sepiring nasi, telur dadar, dan tumis kangkung ke kamar Rangga. Ia mengetuk pintu pelan sebelum masuk.
“Rangga… Kau harus makan,” ujarnya lembut.
Rangga masih tengkurap. “Aku nggak lapar, Kak…” sahutnya lirih.
“Kau nggak boleh begini,” kata Dita sambil mendekat. “Kalau kau terus begini, mama pasti sedih lihatnya. Kau tahu kan kalau arwah orang meninggal itu katanya masih ada di rumah selama tujuh hari?”
Ucapan itu membuat Rangga terdiam. Perlahan, ia mengubah posisinya menjadi duduk. Wajahnya kini terlihat jelas, pucat, mata sembab, bibirnya kering.
“Astaga… Kau pucat sekali,” ujar Dita kaget. Ia reflek menempelkan tangannya ke dahi Rangga. Saat itu juga, jantung Rangga berdegup kencang. Sentuhan itu sederhana, namun cukup membuat suasana berubah menjadi canggung.
“Aku baik-baik—” Rangga hendak membantah.
“Badanmu panas! Kau harus minum obat,” potong Dita sambil berdiri cepat. Ia berlari keluar kamar untuk mengambil obat. Namun tepat di depan pintu, ia berhenti dan menoleh. “Kau sebaiknya makan dulu ya!”
Rangga mengangguk pelan.
Sendirian di kamar, Rangga menatap piring makanan di hadapannya. Entah kenapa, kehadiran Dita membuat dadanya terasa sedikit lebih ringan. Perlahan, ia mulai menyuap nasi, telur dadar, dan tumis kangkung itu. Rasanya sederhana, tapi hangat. Untuk pertama kalinya sejak kemarin, perutnya terisi.
Tak lama kemudian, Dita kembali sambil membawa obat dan segelas air. “Minumlah setelah kau makan,” ucapnya dengan senyum tipis.
Rangga mengangguk patuh. Namun pikirannya masih terngiang ucapan Dita sebelumnya. Ia pun bertanya, “Mengenai arwah yang masih di rumah selama tujuh hari… Apa itu benar?”
“Iya,” jawab Dita pelan. “Begitulah yang aku tahu. Makanya jangan sampai kamu melakukan hal yang akan membuat mamamu sedih.”
Rangga menunduk. “Tapi tetap saja, Kak… Aku nggak bisa lihat mama lagi. Selamanya loh…” suaranya bergetar. Matanya kembali berkaca-kaca, dan air mata akhirnya jatuh.
Dita menatap Rangga dengan penuh empati. “Manusia itu pasti menghadapi kematian, Ga… Kita harus siap dengan itu. Baik dengan kematian kita sendiri atau orang terdekat. Aku tahu rasanya nggak semudah itu,” katanya lembut namun tegas. “Tapi waktu terus berjalan bagi yang hidup. Dan itu adalah berkah.”
Dia lalu menghapus air mata di wajah Rangga dengan jempolnya, perlahan dan hati-hati. Setelah itu, Dita memeluk Rangga, membiarkan lelaki itu kembali menangis di bahunya. Rangga membalas pelukan itu, seolah menemukan sedikit kehangatan di tengah kehampaan yang ia rasakan.
Rangga lebih mengerti dita sebaliknya juga begitu rasanya mereka cocok
mangats thor sllu ditunggu up nya setiap hari