sambungan season 1,
Bintang kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan kuliahnya, tiba-tiba omanya berubah. ia menentang hubungannya dengan Bio
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sabana01, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
malam tanpa pesan
Malam turun pelan di kedai kopi kecil milik Bio.
Lampu-lampu kuning menggantung rendah, memantulkan cahaya hangat ke meja kayu yang sudah mulai berbekas goresan halus. Mesin kopi di sudut ruangan mengeluarkan suara mendesis pelan—satu-satunya bunyi yang memecah sunyi selain detak jam di dinding.
Bio berdiri di balik bar, menatap layar ponselnya untuk entah keberapa kali.
Tidak ada pesan baru.
Biasanya, jam segini Bintang sudah mengirim satu chat singkat.
Sudah sampai kantor.
atau
Aku pulang agak telat ya.
Kadang hanya emoji kecil, tapi cukup untuk membuat Bio merasa ada.
Tapi malam ini, layar itu tetap dingin.
Bio menghela napas, lalu menyandarkan siku di meja bar. Ia mengusap wajahnya pelan, berusaha menepis rasa gelisah yang semakin menguat. Ia tahu Bintang sibuk. Ia tahu pekerjaan di perusahaan Oma sedang padat. Ia tahu dirinya tidak boleh berlebihan.
Tapi tetap saja—sunyi ini terasa berbeda.
Ia menuang air panas ke gelas, lalu berhenti di tengah gerakan. Tangannya gemetar sedikit.
“Fokus, Bio,” gumamnya pelan.
Kedai sudah tutup sejak setengah jam lalu. Kursi-kursi tersusun rapi, lantai bersih, dan papan Closed tergantung di pintu. Biasanya, setelah menutup kedai, Bio langsung pulang atau menjemput Bintang. Malam ini, ia memilih bertahan, seolah menunggu sesuatu yang tak kunjung datang.
Ia akhirnya duduk di salah satu kursi dekat jendela, ponsel di tangan.
Mengetik.
Menghapus.
Mengetik lagi.
Aku sudah selesai di kedai. Kamu sudah pulang?
Jarinya berhenti tepat di atas tombol kirim.
Ia menurunkannya kembali.
Bio menatap pantulan dirinya di kaca jendela—wajah lelah, mata yang terlalu banyak berpikir.
Jangan menekan, katanya pada diri sendiri. Jangan jadi orang yang menuntut.
Waktu berjalan pelan.
Satu jam.
Dua jam.
Tidak ada getaran.
Tidak ada panggilan tak terjawab.
Bio akhirnya berdiri, mengambil jaketnya. Di luar, udara malam terasa lebih dingin dari biasanya. Ia mengunci pintu kedai, lalu bersandar sejenak di sana, menatap langit kota yang kelabu.
Pikirannya melayang pada Bintang.
Pada caranya tersenyum pagi tadi.
Pada tangan Satya yang terlalu dekat dengan dunia Bintang.
Dadanya kembali terasa sempit.
“Cuma rekan kerja,” bisiknya, mencoba menenangkan diri.
Di rumah, Bio menyalakan lampu ruang tamu lalu menjatuhkan tubuhnya ke sofa. Ponsel diletakkan di atas meja, layar menghadap ke atas, seperti benda yang menuntut perhatian.
Ia menyalakan televisi, tapi tidak benar-benar menonton. Suara-suara itu hanya jadi latar kosong.
Jam menunjukkan hampir tengah malam saat akhirnya ponselnya bergetar.
Bio langsung duduk tegak.
Tapi bukan dari Bintang.
Pesan dari Ibnu:
Bro, lo kenapa akhir-akhir ini kelihatan kepikiran banget?
Bio mengetik balasan singkat.
Nggak apa-apa.
Ia mematikan layar, lalu menghela napas panjang.
Rasa lelah tiba-tiba menghantam, bukan di tubuh—tapi di hati.
Bio bangkit, menuju kamar. Ia berbaring telentang, menatap langit-langit, ponsel masih digenggam.
“Aku cuma pengen dengar suara kamu,” gumamnya pelan.
Akhirnya, ia menyerah.
Bio mengetik satu pesan terakhir.
Kamu baik-baik saja? Aku nunggu kabar kamu.
Ia menekan kirim, lalu mematikan ponsel dan meletakkannya di samping bantal—seolah berharap dengan begitu, rasa gelisahnya ikut tertutup.
Di rumah Oma, di sisi lain kota, Bintang duduk di tepi ranjang dengan laptop masih terbuka dan tumpukan berkas di sampingnya.
Ponselnya tergeletak tak jauh—layarnya gelap.
Ia mengusap lehernya yang pegal, lalu memejamkan mata sebentar.
“Aku balas nanti,” bisiknya pada diri sendiri.
Tapi rasa lelah lebih dulu menang.
Dan malam itu pun berlalu—
tanpa pesan,
tanpa kabar,
meninggalkan Bio terjaga dengan perasaan yang tak terucap.
...****************...