NovelToon NovelToon
Faded Lust

Faded Lust

Status: sedang berlangsung
Genre:Slice of Life / Penyesalan Suami / Selingkuh / Cintapertama / Tamat
Popularitas:3.1k
Nilai: 5
Nama Author: Mga_haothe8

Lunara Angelita selalu percaya bahwa pernikahannya dengan Halden Nathaniel—pelukis jenius yang menjadi kebanggaan kota kecil mereka—adalah rumah paling aman yang pernah dimilikinya. Lima tahun bersama, lima tahun bahagia… atau setidaknya begitu yang ia yakini.

Hingga pada malam hujan yang sunyi, saat listrik padam, Luna tanpa sengaja menemukan sebuah kanvas tersembunyi di gudang. Dan di balik kain putihnya terpampang wajah perempuan yang seharusnya telah lama hilang dari hidup mereka—Karina, mantan kekasih Halden. Dilukis dengan detail yang hanya diberikan oleh seorang pria pada seseorang yang masih memenuhi hatinya.

Lukisan itu baru. Sangat baru.

Saat Luna menuntut kebenaran, Halden tidak berbohong—tetapi jawabannya jauh lebih menyakitkan dari pengkhianatan.

Melukis, katanya, bukan tentang siapa yang menemani hari-harinya.
Melainkan tentang siapa yang tak pernah benar-benar pergi dari hatinya.

Seketika dunia Luna runtuh.
Apakah selama ini ia hanya menjadi istri di ata

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mga_haothe8, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

"Mulai curiga"

Pagi datang tanpa benar-benar membawa terang.

Halden terbangun lebih dulu, seperti biasa. Cahaya matahari menyelinap lewat celah gorden, jatuh di wajah Luna yang masih terlelap di sisinya. Wajah itu terlihat damai, terlalu damai untuk seseorang yang semalam menangis karena dirinya.

Ia memandangi Luna lama. Ada kebiasaan lama yang dulu selalu ia lakukan—mengusap rambut Luna, mencium keningnya, membisikkan selamat pagi. Tapi pagi ini, tangannya terasa berat. Seolah setiap sentuhan adalah pengingat dari semua yang ia sembunyikan.

Luna bergerak sedikit, lalu membuka mata.

“Kamu udah bangun?” suaranya masih serak, tapi lembut.

“Iya,” jawab Halden singkat. “Aku mau siap-siap kerja.”

Luna mengangguk pelan. Tidak ada senyum, tidak ada pelukan pagi. Hanya tatapan singkat yang terlalu cepat dialihkan.

Jarak itu—yang tipis namun terasa—membuat dada Halden mengencang.

Di kamar mandi, Halden menatap bayangannya di cermin. Wajah yang sama, mata yang sama, tapi ada sesuatu yang berubah. Ia tampak… lelah. Bukan lelah fisik, melainkan lelah karena harus terus membagi diri.

Ia menyiram wajahnya dengan air dingin, berharap rasa bersalah itu ikut hanyut. Tapi tidak.

Saat ia keluar, Luna sudah duduk di tepi ranjang, memeluk lututnya.

“Den,” panggilnya pelan.

Halden berhenti. “Kenapa?”

“Apa kita bisa ngobrol nanti malam?” Luna tidak menatapnya. “Beneran ngobrol.”

Kalimat itu sederhana, tapi mengandung ancaman yang tidak terucap.

Halden menelan ludah. “Nanti aja ya, Na. Hari ini aku—”

“Kerja lagi?” potong Luna, akhirnya menatapnya. Matanya tidak marah, hanya… kecewa.

“Iya,” jawab Halden cepat. Terlalu cepat. “Aku usahain pulang lebih awal.”

Luna tersenyum kecil, senyum yang tidak sampai ke matanya. “Oke.”

Dan entah kenapa, jawaban itu terasa lebih berat daripada pertengkaran.

 

Hari itu di kantor, Halden nyaris tidak fokus. Layar laptop terbuka, email berdatangan, tapi pikirannya melayang. Setiap getaran ponsel membuatnya refleks menoleh.

Bukan dari Luna.

Nama Karina muncul di layar menjelang siang.

*“Kopi nanti?”*

Halden menatap pesan itu lama. Jari-jarinya menggantung di atas layar. Ia tahu ia seharusnya menolak. Setidaknya hari ini. Tapi penolakan selalu membutuhkan energi—dan ia kehabisan itu.

*“Jam berapa?”* balasnya akhirnya.

Beberapa menit kemudian, mereka duduk berhadapan di kafe kecil dekat kantor. Karina tampak santai seperti biasa, rambutnya diikat asal, kacamata hitam masih bertengger di kepala.

“Kamu kelihatan nggak tidur,” komentarnya sambil menyeruput kopi.

Halden terkekeh hambar. “Mungkin.”

Karina menatapnya, lebih lama dari biasanya. “Ada apa?”

Pertanyaan itu jarang keluar dari mulut Karina. Biasanya ia tidak peduli pada hal-hal yang rumit.

“Rumah lagi ribet,” jawab Halden samar.

Karina mengangguk pelan. “Dia curiga?”

Satu kata itu membuat Halden menegang. “Nggak. Maksudku… aku nggak tahu.”

Karina tidak mendesak. Ia hanya menyandarkan punggung, menatap Halden dengan ekspresi yang sulit dibaca. “Kalau kamu mau berhenti, bilang aja.”

Halden terdiam.

“Aku nggak akan bikin drama,” lanjut Karina. “Aku tahu posisiku.”

Itulah masalahnya.

Karina selalu tahu posisinya. Tidak menuntut, tidak meminta kepastian, tidak berharap lebih dari yang Halden beri. Dan justru karena itu, Halden tidak pernah benar-benar merasa terpojok.

“Aku nggak bilang mau berhenti,” ujar Halden akhirnya.

Karina tersenyum kecil. “Aku tahu.”

 

Malam itu, Halden pulang lebih awal dari biasanya. Janji yang jarang ia tepati.

Luna sedang di dapur saat ia masuk. Aroma masakan memenuhi rumah, aroma yang dulu selalu membuatnya merasa pulang.

“Kamu pulang cepat,” kata Luna, terkejut.

“Kita mau ngobrol, kan?” jawab Halden, mencoba terdengar normal.

Mereka makan dalam keheningan yang canggung. Tidak ada obrolan ringan, tidak ada tawa kecil. Sendok dan piring menjadi satu-satunya suara.

Setelah itu, mereka duduk di ruang tamu. Lampu tidak terlalu terang. Luna menarik napas panjang.

“Aku capek, Den,” ucapnya pelan. “Capek ngerasa sendirian padahal kamu ada.”

Halden menyandarkan siku di lututnya. “Aku kan kerja buat kita juga—”

“Aku nggak butuh alasan,” potong Luna. Suaranya tidak tinggi, tapi tegas. “Aku butuh kamu. Yang hadir. Yang dengar.”

Halden terdiam. Setiap kata Luna terasa seperti membuka satu lapisan kebohongan yang ia bangun rapi.

“Kamu tahu nggak,” lanjut Luna, matanya berkaca-kaca, “akhir-akhir ini aku sering mikir… apa kamu masih cinta sama aku?”

Pertanyaan itu menghantam lebih keras dari yang ia bayangkan.

“Tentu aja,” jawab Halden cepat. “Aku kan—”

“Tapi?” Luna menyela, menatapnya tajam.

Halden kehabisan kata-kata.

Keheningan menggantung di antara mereka, berat dan menyakitkan.

“Aku nggak minta banyak,” ujar Luna akhirnya. “Aku cuma mau kejujuran.”

Jantung Halden berdegup kencang. Inilah momen yang selalu ia hindari.

“Kamu kenapa diam?” tanya Luna. “Ada sesuatu yang kamu sembunyikan, ya?”

Halden membuka mulut, lalu menutupnya lagi. Dalam kepalanya, dua wajah muncul bergantian—Luna dengan matanya yang penuh harap, dan Karina dengan senyumnya yang tidak menuntut.

“Aku…” suaranya serak. “Aku lagi bingung.”

“Bingung tentang apa?”

Tentang segalanya, ingin ia jawab. Tentang siapa dirinya sebenarnya. Tentang kenapa ia tidak bisa berhenti menyakiti orang yang ia cintai.

Tapi yang keluar hanya, “Tentang aku sendiri.”

Luna menatapnya lama. Lalu, dengan suara hampir berbisik, ia berkata, “Kalau suatu hari aku tahu kamu bohong sama aku… aku nggak tahu apa aku bisa bertahan.”

Kalimat itu bukan ancaman. Itu pengakuan.

Dan untuk pertama kalinya, Halden merasa takut—bukan kehilangan kenyamanan, bukan kehilangan rutinitas—tapi kehilangan Luna sepenuhnya.

 

Malam itu, mereka tidur di ranjang yang sama, tapi dengan jarak yang nyata. Luna membelakangi Halden. Tidak ada pelukan. Tidak ada sentuhan.

Halden menatap punggung Luna, jarak beberapa senti itu terasa seperti jurang.

Ponselnya bergetar pelan di meja samping ranjang.

Satu pesan.

*Karina:* *“Kamu oke?”*

Halden menutup mata. Ia tidak langsung membalas.

Di dadanya, dua perasaan bertabrakan—takut dan rindu. Dan ia sadar, cepat atau lambat, salah satunya harus ia korbankan.

Tapi malam itu, seperti malam-malam sebelumnya, ia memilih diam.

Dan diam, dalam kisah ini, selalu berarti menunda kehancuran—bukan menghindarinya.

 

Di kegelapan kamar, Luna membuka mata. Ia tidak tidur sejak tadi.

Dan entah kenapa, untuk pertama kalinya, ia merasa sangat yakin:

ada sesuatu yang sudah tidak lagi ia miliki—meski belum tahu persis apa.

Dan keyakinan itu, perlahan, mengeras menjadi luka.

~•-----------------------------------------------•~

Pagi berikutnya terasa lebih dingin dari biasanya, meski matahari bersinar terang. Luna bangun dengan kepala berat dan dada sesak, perasaan yang tidak bisa ia beri nama. Ia menoleh ke sisi ranjang—Halden sudah tidak ada.

Ia mendengar suara air dari kamar mandi. Luna menarik selimut lebih erat, menatap langit-langit. Ada masa ketika suara itu membuatnya merasa aman. Kini, justru sebaliknya.

Saat Halden keluar, rambutnya masih basah, kemeja kerja sudah rapi. Ia terlihat seperti pria yang siap menghadapi dunia—bukan pria yang semalam hampir kehilangan rumahnya sendiri.

“Kamu mau sarapan?” tanya Luna datar.

“Nanti aja di kantor,” jawab Halden. Ia meraih jam tangannya. “Aku telat.”

Selalu begitu, pikir Luna. Selalu ada sesuatu yang lebih penting.

“Den,” panggilnya sebelum Halden sempat keluar kamar.

Halden berhenti. “Ya?”

“Kamu masih sayang aku nggak?” Pertanyaan itu keluar begitu saja, tanpa persiapan, tanpa perisai.

Halden membeku sesaat. Lalu ia mendekat, duduk di tepi ranjang. Tangannya menggenggam tangan Luna—hangat, familiar, dan menyakitkan.

“Kenapa sih kamu nanya begitu terus?” ucapnya lembut. Terlalu lembut. “Tentu aja aku sayang kamu.”

Luna menatap matanya, mencoba menemukan sesuatu yang dulu selalu ada. Ia ingin percaya. Ia butuh percaya.

“Kalau aku minta satu hal aja?” tanya Luna pelan.

“Apa?”

“Jangan bohong.”

Halden tersenyum kecil. “Aku nggak pernah bohong sama kamu.”

Kalimat itu jatuh seperti pisau tipis. Luna tidak membalas. Ia hanya mengangguk.

Dan Halden pergi.

Begitu pintu tertutup, Luna akhirnya membiarkan air matanya jatuh.

 

Di kantor, Halden berusaha tenggelam dalam pekerjaan. Ia menolak makan siang bersama rekan-rekannya, menolak ajakan bercanda. Semua terasa bising di kepalanya.

Pesan dari Karina belum ia balas sejak semalam.

Menjelang sore, ponselnya kembali bergetar.

*Karina:* *“Aku ke apartemen. Kalau kamu mau datang.”*

Kalimat sederhana itu membuat dadanya terasa ringan—dan sekaligus semakin sesak. Ia menutup mata, menarik napas panjang.

Ia membalas.

*“Aku ke sana.”*

 

Apartemen Karina menyambutnya dengan keheningan yang akrab. Karina membuka pintu tanpa senyum kali ini. Wajahnya terlihat lebih serius dari biasanya.

“Kamu kelihatan kacau,” katanya.

“Rumah lagi nggak baik,” jawab Halden jujur, setengah.

Karina mempersilakan Halden masuk. Mereka duduk berhadapan, jarak yang tidak biasa.

“Aku ngerasa kamu makin sering datang ke sini bukan karena aku,” ujar Karina akhirnya.

Halden menatapnya. “Maksud kamu?”

“Kamu datang karena kamu pengin lari,” lanjut Karina. “Dan aku tempat paling gampang.”

Kata-kata itu menohok. Halden tidak menyangkal.

“Aku nggak keberatan,” tambah Karina pelan. “Tapi jangan pura-pura ini cuma soal nyaman.”

Halden menghela napas. “Aku nggak tahu harus gimana.”

“Kalau gitu, berhenti nyakitin dia,” kata Karina tegas. “Atau berhenti ke sini.”

Keheningan kembali turun. Untuk pertama kalinya, Karina menarik garis.

“Aku nggak minta kamu pilih aku,” lanjutnya. “Aku cuma nggak mau jadi alasan kamu jadi pengecut.”

Halden menunduk. Kata itu—pengecut—menggema di kepalanya.

Ia berdiri. “Aku harus pulang.”

Karina tidak menahannya. “Hati-hati di jalan.”

 

Di rumah, Luna duduk di ruang tamu dengan ponsel di tangan. Layarnya menyala, menampilkan foto lama—dirinya dan Halden, tersenyum di sebuah pantai, sebelum segalanya berubah.

Ia membuka galeri, menggulir pelan. Ada satu folder yang sudah lama ia abaikan: *Halden*.

Tangannya gemetar saat ia membuka aplikasi pesan. Ia tidak tahu kenapa, tapi sebuah dorongan kuat membuatnya membuka riwayat percakapan Halden—bukan dengan dirinya.

Ia tidak menemukan apa-apa. Tidak ada bukti. Tidak ada pesan mencurigakan.

Justru itu yang membuatnya semakin gelisah.

Saat pintu terbuka, Luna mendongak. Halden masuk, wajahnya lelah.

“Kita perlu ngomong,” kata Luna.

Halden menutup pintu perlahan. “Sekarang?”

“Iya. Sekarang.”

Mereka duduk berhadapan. Tidak ada pengantar.

“Aku ngerasa kamu jauh,” ujar Luna. “Dan aku nggak mau hidup sama orang yang terus pergi tapi badannya ada di sini.”

Halden menatapnya lama. Ada sesuatu di matanya—ketakutan, mungkin.

“Aku pengin tahu,” lanjut Luna, suaranya bergetar tapi tegas, “apa ada orang lain?”

Pertanyaan itu akhirnya keluar.

Halden merasa napasnya tertahan. Detik-detik berlalu seperti jam.

“Kenapa kamu nanya itu?” balasnya.

“Jawab aja,” pinta Luna. “Aku butuh tahu.”

Mulut Halden kering. Ia tahu, sekali ia berbohong lagi, tidak akan ada jalan kembali.

“Aku…” suaranya hampir tidak terdengar.

Luna menahan napas.

Dan di antara dua pilihan yang sama-sama menyakitkan—kejujuran atau kebohongan—Halden kembali melakukan hal yang selama ini paling ia kuasai.

“Tidak,” katanya. “Nggak ada siapa-siapa.”

Ada sesuatu di wajah Luna yang runtuh. Bukan karena ia yakin Halden berbohong—tapi karena ia berharap jawaban itu terasa berbeda.

“Oke,” ucapnya singkat.

Ia berdiri, berjalan ke kamar, dan menutup pintu tanpa suara.

Halden duduk sendirian di ruang tamu, jantungnya berdebar tak karuan. Ia baru saja menyelamatkan sesuatu—atau menghancurkannya sepenuhnya.

Di balik pintu kamar, Luna menempelkan punggungnya ke dinding, menutup mata.

Bukan karena ia tahu kebenarannya.

Tapi karena ia sadar, ia sudah tidak percaya lagi.

Dan kehilangan kepercayaan itu terasa seperti kehilangan cinta—perlahan, senyap, dan tak bisa diperbaiki.

"Aku harus gimana?...". Luna menagis dalam diam perlahan merosot ke bawah bersandar pada pintu, rasanya seakan tidak akan ruang untuk mengadu.

*"bagaimana jika Halden benar-benar selingkuh? Bagaimana jika Halden benar-benar sudah tak mencintai nya lagi? Apakah aku masih bisa memaafkan nya? Apa ku masih bisa bertahan dengan nya?"*. Pertanyaan itu yang terus berputar dikepala Luna.

~•------------------------•~

Sedangkan Halden diruang tamu, mengusap wajahnya dengan kedua tangannya. Jika terus seperti ini ruang tangga mereka akan hancur. Tapi Halden tak bisa memilih diantara dua wanita itu, Dia mencintai kedua nya terdengar egois namun itu kenyataannya.

Halden menghela nafas berat. "Na..maafin aku, tolong beri aku waktu sebentar lagi untuk menyelesaikan ini". Guamnya.

Dunia mereka benar-benar hampir diujung tanduk, jika salah satu tak bisa mengendalikan diri semua akan hancur.

Malam itu menjadi malam yang begitu dingin, Luna tetap berada dikamarnya, meringkuk sendirian dan Halden berbaring disofa ruang tamu. Mereka sama-sama tak bisa tidur karena memikirkan hal ini.

Luna hanya bisa menatap ke pintu, ia berharap Halden akan masuk dan memeluknya untuk menenangkan atau hanya sekedar hadir, namun nyatanya pintu itu tetap tertutup rapat.

Halden hanya diam, pikiran nya kacau. Semua menjadi begitu rumit tapi ini semua terjadi karena ulahnya.

1
Telurgulung
lanjut atau end disini aja?
Yunie
akhirnya bisa bahagia... lanjut thor
Yunie
sedihnya jadi Luna
Yunie
alurnya menarik
Yunie
makin menarik
Siti M Akil
lanjut Thor
ayu cantik
bagus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!