Sepenggal kisah nyata yang dibumbui agar semakin menarik.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ummushaffiyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 15 — Pertemuan Pertama yang Mengubah Arah
Kontrakan kecil itu sore ini terasa berbeda—lebih hangat, lebih hidup.
Zahwa mempersilakan Daniel masuk, dan pria itu menundukkan kepala sopan sebelum melepas sepatu dan melangkah ke dalam.
Dalam cahaya senja yang masuk dari jendela, Zahwa terlihat lebih muda dari usianya.
Garis lembut wajahnya, kulitnya yang terawat, dan tatapannya yang tenang membuat Daniel sempat terdiam sejenak.
“Silakan duduk, Mas Daniel. Maaf tempatnya sederhana,” ucap Zahwa sambil menyiapkan piring kecil untuk penyajian.
Daniel tersenyum, tulus.
“Justru ini yang saya suka. Tempat kecil tapi rapi… dan wangi masakan. Ini jauh lebih nyaman daripada restoran mahal.”
Zahwa tersipu kecil.
Ia tidak biasa dipuji, apalagi dengan nada selembut itu.
Mencicipi Masakan
Ia menyajikan empat lauk dan satu dessert kecil.
Daniel duduk di kursi kecil dekat meja, sementara Zahwa di seberangnya.
“Boleh saya mulai?” tanya Daniel sopan.
“Tentu. Silakan.”
Daniel mengambil suapan pertama rendang.
Begitu daging empuk itu menyentuh lidahnya, ekspresinya langsung berubah.
“Ya ampun…” gumamnya pelan.
“Ini… ini benar-benar rasa rendang yang ibu saya suka.”
Zahwa menunduk, tersenyum lembut.
“Alhamdulillah kalau cocok.”
Daniel mencoba ayam ungkep, lalu sambal, lalu lodeh.
Reaksi yang sama muncul—matanya berbinar, senyumnya muncul tanpa ditahan.
“Mbak Zahwa… ini bukan masakan biasa. Ini comfort food. Ini masakan rumah, masakan yang bikin orang rindu pulang,” ujarnya.
Zahwa terharu, hatinya hangat.
Sudah lama tidak ada yang menghargai masakannya seperti ini.
Obrolan Ringan
Sambil mencicipi, Daniel bertanya hati-hati,
“Mbak Zahwa asli mana? Umur berapa kalau boleh tahu?”
Zahwa tersenyum ramah.
“Asli Lampung, Mas. Umur saya 28.”
Daniel mengangkat alis sedikit, kaget.
“Dua puluh delapan? Serius? Saya pikir Mbak masih… dua puluh?”
Zahwa tertawa kecil untuk pertama kalinya hari itu.
Ia jarang tertawa sejak lama.
“Mungkin karena saya jarang keluar rumah, Mas,” jawabnya sambil menyiapkan gelas air.
Daniel ikut tertawa.
“Wah, saya 35 tapi rasanya yang kelihatan tua malah saya.”
Obrolan mengalir begitu natural—tentang kuliner, tentang bagaimana Daniel tinggal lama di luar negeri, tentang ibunya yang sedang rindu masakan Indonesia.
Namun Daniel tidak menyinggung soal keluarga Zahwa karena ia tidak tahu bahwa Zahwa sudah menikah.
Zahwa pun tidak menjelaskan apa pun.
Bukan karena berniat menyembunyikan—tapi ia masih bingung dengan keadaan rumah tangganya sendiri.
“Saya punya prinsip,” kata Daniel akhirnya.
“Orang yang bisa memasak seenak ini… pasti hatinya lembut.”
Zahwa menunduk.
“Terima kasih, Mas. Saya hanya mencoba memberi yang terbaik.”
Awal Kerja Sama
Setelah selesai mencicipi, Daniel menghela napas puas.
“Mbak Zahwa, bagaimana kalau kita kerjasama? Ibu saya punya komunitas orang Indonesia di luar negeri. Banyak yang merindukan makanan begini.”
Zahwa mengangkat wajah, terkejut.
“Kerja sama… seperti apa, Mas?”
“Sederhana. Mbak buat menu frozen khusus, saya bantu pasarkan ke komunitas itu. Saya juga ingin menjadikan menu Mbak sebagai hampers bulanan. Tapi tentu saja… kita mulai pelan-pelan.”
Zahwa merasakan dadanya berdebar.
Bukan karena Daniel, tapi karena untuk pertama kalinya, masa depan terasa punya cahaya baru.
“Insya Allah saya sanggup,” ujarnya mantap.
Daniel tersenyum lega.
“Bagus! Kalau begitu, saya minta sampel kedua ya. Kita buat untuk skala kecil dulu. Nanti Mbak antar ke kantor saya saja, biar saya bisa tes soal packaging, penyimpanan, dan logistik.”
Zahwa mengangguk.
“Baik, Mas Daniel. Saya siapkan menunya.”
“Kalau bisa konsepnya sedikit beda dari yang pertama. Yang ini kan masakan rumah. Yang kedua mungkin menu rumahan premium? Atau street food khas Indonesia? Bebas Mbak Zahwa saja.”
Zahwa membuka buku catatannya.
Ia mencoret beberapa ide.
“Bagaimana kalau saya buat:
– Sate ayam bumbu kacang frozen
– Rawon daging version premium
– Tahu isi sayur pedas
– Bubur sumsum siap saji
– Dan satu dessert khas kampung?”
Daniel kagum.
“Gila… baru saya sebut minta konsep, Mbak langsung punya empat! Saya suka cara kerja Mbak.”
Zahwa tersipu.
“Sudah sering mikir menu, Mas. Cuma tidak pernah terealisasi.”
“Sekarang waktunya terealisasi, Mbak.”
Ketika Daniel pamit, ia berkata sambil menatap sekeliling kontrakan kecil Zahwa:
“Tempat kecil ini akan jadi awal besar. Saya bisa merasakannya.”
Zahwa hanya tersenyum, menahan haru.
Daniel melanjutkan dengan nada bercanda,
“Nanti kalau bisnisnya berhasil, boleh saya pesan tanda tangan Mbak Zahwa ya? Untuk bukti bahwa saya kenal chef terkenal sebelum ia terkenal.”
Zahwa tertawa tipis.
“Mas ini ada-ada saja.”
“Serius lho.”
Daniel memakai helm, lalu berkata,
“Sampel kedua ditunggu ya, Mbak. Saya senang sekali bisa kerja sama dengan orang seprofesional ini.”
Ketika motor Daniel menjauh, Zahwa berdiri di depan pintu, memeluk buku catatannya.
Baru kali ini sejak lama… dunia terlihat cerah kembali.
Malam itu, Zahwa bekerja sampai larut menuliskan konsep menu kedua dan menyiapkan properti foto.
Ia memotret, menyusun menu, dan mengirim beberapa referensi kemasan ke Daniel.
Daniel membalas cepat:
> “Perfect. Saya percaya Mbak. Lanjutkan, ya.”
Zahwa tersenyum, bahunya terasa ringan.
Ada perjalanan panjang yang menanti.
Tapi untuk pertama kalinya…
Ia merasa siap.