NovelToon NovelToon
Sultan Setelah Koma

Sultan Setelah Koma

Status: sedang berlangsung
Genre:Duniahiburan / Mafia / Pengganti / Transmigrasi ke Dalam Novel / Kebangkitan pecundang / EXO
Popularitas:2.3k
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

JIWA ASEP DI TUBUH PEWARIS PRATAMA
​Aksa Pratama. Pewaris triliuner. Ganteng. Lemah. Dan... KOMA setelah disiksa ibu tiri sendiri.
​Semua orang menunggu Aksa mati agar harta Pratama Group bisa dijarah.
​Tapi yang bangun BUKAN Aksa. Melainkan ASEP SUNANDAR.
​Pemuda Sunda dari kampung, jago Silat Cimande (Paling Jago Se-Jawa Barat!), humoris kayak Kabayan, dan Savage-nya minta ampun!

simak kisahnya ada gaya action, romansa, komedi ada

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 6: MAKAN MALAM dari neraka

BAB 6: MAKAN MALAM DARI NERAKA

​Asep turun ke ruang makan dengan langkah pelan—perutnya masih agak sakit kalau jalan cepat. Tangannya mengelus pagar tangga marmer sambil matanya menyapu sekeliling. Semuanya masih terasa seperti mimpi yang terlalu nyata.

​Ini beneran rumah gue sekarang? Ini beneran hidup gue? Atau... ini cuma mimpi panjang sebelum gue beneran mati.

​Begitu sampai di ruang makan...

​"Gila... meja makan teh segede gini?" Asep melongo.

​Meja makan keluarga Pratama itu panjang banget, ukurannya seperti meja perjamuan kerajaan di film-film kolosal, sanggup menampung dua puluh orang. Di atasnya, makanan tersaji lengkap. Ada steak yang masih mengepul, pasta dengan saus krim, sayuran segar, sup lobster, bahkan lobster utuh mengkilap di tengah meja.

​Ini mah bukan makan malam... ini pesta.

​"Aa! Sini duduk sebelah aku!" Arkan, sudah duduk di salah satu kursi, memanggil Aksa sambil melambaikan tangan dengan excited.

​Asep duduk di sebelah Arkan, masih bengong melihat makanan. Sebanyak ini... hanya untuk beberapa orang?

​Di ujung meja, Mama Ratna tersenyum lembut. "Aksa sayang, Papa belum pulang, masih ada urusan mendadak. Jadi kita makan bertiga dulu ya, sama Arkan."

​"Oh... iya, Mama..." jawab Asep, jantungnya sedikit lega. Syukurlah, cuma bertiga.

​Tapi ada yang janggal. Di meja makan sebesar ini, kenapa hanya mereka bertiga? Ke mana kakak-kakak tirinya?

​Seperti bisa membaca pikiran Asep, Mama Ratna menambahkan, dengan nada yang langsung berubah dingin—sangat berbeda dari kelembutannya tadi. "Rendra, Gina, dan Brian sedang ada acara di luar. Mereka makan di luar."

​Nadanya datar. Penuh jarak. Bahkan mata Mama Ratna jadi agak gelap saat menyebut nama-nama itu.

​Siapa mereka? Kenapa nada Mama berubah gitu...

​"Ohh," Asep mengangguk. Dalam hati, dia lega. Tidak bertemu orang yang dia enggak kenal dulu.

​"Yuk makan!" Arkan langsung semangat memotong steak-nya.

​Asep melihat ke bawah. Garpu dan pisau di depannya ada tiga set! Sendok besar, sendok kecil, garpu besar, garpu kecil... dia bingung harus pakai yang mana.

​Di Bandung mah makan pakai tangan atau sendok doang. Ini teh pakai garpu pisau segala... gimana caranya...

​Asep mencuri pandang ke Mama Ratna dan Arkan. Mereka memegang garpu kiri, pisau kanan, memotong steak dengan elegan.

​Oh, gitu. Asep mencoba meniru. Tangannya kaku. Garpunya malah terlepas.

​KRINGG!

​Bunyi garpu jatuh ke piring keramik. Rasanya keras sekali di ruangan yang sunyi itu.

​"Aa kenapa?" tanya Arkan, berhenti makan.

​"Eh... enggak sengaja jatuh, hehe..." Asep cepat-cepat mengambil garpunya, wajahnya sedikit memerah malu.

​Mama Ratna menatap Aksa dengan khawatir. "Sayang... kamu enggak biasa makan pakai garpu pisau? Biasanya kamu paling rapi makannya... Selalu pakai etika makan yang benar."

​Anjir, ketahuan!

​"Ah... itu... tangan aku lagi lemas, Mama. Habis koma kan... Jadi agak kaku gitu..." Asep beralasan, memaksa senyum.

​"Ohh... Mama kira kenapa, sayang. Gapapa, pelan-pelan aja. Yang penting kamu mau makan," Mama Ratna tersenyum pengertian.

​Fuhhh, selamat.

​Asep mulai makan, pelan-pelan mencoba memotong steak. Steak-nya... ENAK BANGET. Empuk, bumbunya meresap, juicy.

​"Enak pisan..." gumam Asep pelan, suaranya sedikit tertahan karena kekaguman.

​Mama Ratna menatap Asep. Matanya berkaca-kaca. "Aksa sayang... Biasanya kamu makan sedikit sekali, sampai Mama khawatir kamu kurang gizi. Sekarang kok lahap banget makannya? Mama senang lihatnya..."

​"Iya, Mama! Enak banget! Abdi... eh, aku suka banget!" Asep bahkan nambah lagi—mengambil nasi, steak, pasta, sayuran, semua dicampur di piringnya.

​Arkan tertawa kecil. "Aa Aksa sekarang kayak Aa yang beda! Lebih seru! Dulu mah Aa jarang ngomong, sekarang cerewet, hehe."

​Mereka makan dalam suasana yang hangat. Mama Ratna bercerita tentang pekerjaannya dulu sebagai dokter spesialis anak. Ternyata Mama Ratna adalah dokter ternama, tapi berhenti praktik setelah menikah dengan Papa Arjuna karena Papa ingin dia fokus mengurus keluarga.

​"Mama pengen praktik lagi sebenarnya, sayang... Mama kangen pasien-pasien kecil yang lucu-lucu. Tapi Papa bilang enggak perlu, uang kita udah cukup. Mama cuma perlu jaga kalian..." kata Mama Ratna. Senyumnya tipis—tapi ada gurat kesedihan di matanya, seperti mimpi yang terkubur.

​Asep menangkap itu. Mama Ratna... tidak sepenuhnya bahagia. Dia punya mimpi tapi tidak bisa dijalani.

​Tiba-tiba...

​BRAAKKK!

​Pintu ruang makan terbuka kasar, bunyi bantingan yang mengejutkan semua orang. Masuklah tiga orang—dua cowok, satu cewek. Aura mereka gelap. Dingin. Penuh kebencian.

​Asep merasakan bulu kuduknya merinding. Ini... mereka.

​Rendra—cowok ganteng, tinggi, atletis, memakai jaket kulit mahal—menatap Aksa sambil menyeringai sinis. Matanya penuh meremehkan. "Wih... si culun bangun? Gue kira lo bakal tidur selamanya sih. Sayang banget ya, enggak mati sekalian."

​Gina—cewek cantik tapi matanya tajam seperti elang—tertawa kecil, menatap Aksa dari ujung kaki sampai ujung rambut dengan tatapan jijik. "Masih hidup ternyata. Yah, padahal udah senang duluan..."

​Brian—cowok agak culun tapi matanya licik—hanya tersenyum-senyum tidak jelas, langsung duduk di salah satu kursi, dan mengambil makanan tanpa izin.

​Mama Ratna langsung berdiri. Kursinya bergeser ke belakang dengan bunyi keras. "Rendra! Jaga omongan kamu! Aksa itu adik kamu!"

​"Adik TIRI Tante Ratna," Rendra mengoreksi, nadanya sinis penuh penekanan. "Jangan samain gue sama dia. Dia anak kandung Tante hasil pernikahan kedua Paman. Gue? Gue anak dari pernikahan pertama Paman yang gagal. Beda jauh."

​Asep merasakan darahnya mendidih—amarah yang bahkan tidak pernah ia rasakan saat melawan Ujang. Bangsat iyeu teh... Biadab pisan... Nggak sopan.

​Tapi Asep menahan diri. Badannya masih lemah, enggak bisa langsung berantem.

​"Kak Rendra! Kak Gina! Kak Brian! Jangan gitu sama Aa Aksa! Aa Aksa baik!" Arkan berdiri. Berani membela abangnya, walau badannya gemetar.

​"Ih, bocah kecil berisik. Diem lo. Ini urusan orang dewasa," bentak Gina, menatap Arkan dengan tatapan penuh contempt.

​"Kalian itu—" Mama Ratna mulai emosi, suaranya bergetar.

​Asep menaruh tangannya di pundak Mama Ratna, memberi kode agar tenang. Tangannya sendiri gemetar menahan amarah.

​"Mama... gapapa..." kata Asep pelan, tapi tegas.

​Mama Ratna menatap Aksa dengan terkejut. Biasanya, Aksa yang dulu akan langsung menangis atau lari ke kamar. Sekarang... tenang?

​Asep berdiri perlahan dari kursinya, meskipun kakinya masih gemetaran. Dia menatap ketiga kakak tirinya, satu per satu, dengan tatapan yang... berbeda. Bukan tatapan takut. Tapi tatapan yang menantang.

​"Kak Rendra... Kak Gina... Kak Brian..." Asep menyunggingkan senyum tipis—senyum yang entah mengapa terlihat agak seram. "Terima kasih, yah, udah... 'peduli' sama aku. Tapi aku teh... udah enggak kayak dulu lagi."

​"Hah? Lo ngomong apaan sih, culun? Kok jadi aneh gitu ngomongnya?" Rendra mengernyit bingung.

​"Aku sekarang... beda," kata Asep dengan nada yang luar biasa tenang—tapi ada ancaman tersirat di sana. "Jadi... kalau kalian mau nge-bully aku lagi... silakan aja coba. Tapi jangan harap aku bakal diam kayak dulu." Matanya tidak berkedip menatap mereka.

​Gina tertawa mengejek. "Ih, sok jago. Lo kira lo siapa? Udah kurus kering gitu masih mau berantem? Lo mati lagi nanti."

​"Mati?" Asep tersenyum lebih lebar—senyum yang membuat Gina mundur satu langkah kecil. "Aku udah pernah mati sekali. Dan aku balik. Jadi... aku udah enggak takut mati lagi. Tapi kalian... kalian udah siap belum... kalau aku BALAS?"

​Kata terakhir itu dia tekan dengan nada rendah yang membuat suasana langsung mencekam.

​Hening.

​Rendra, Gina, dan Brian saling pandang. Ada yang aneh dari Aksa. Matanya beda. Dulu matanya selalu menunduk, takut, dan lemah. Sekarang... ada nyala api di sana. Api yang bisa membakar mereka.

​BERSAMBUNG

1
Dewiendahsetiowati
mantab Asep
Dri Andri: makasih ya kak
total 2 replies
Dewiendahsetiowati
hadir thor
Dri Andri: terimakasih kak dewi
total 1 replies
Tình nhạt phai
Keren banget, semoga ceritanya terus berkualitas author!
Dri Andri: Oke simak lebih dalam yahh
total 1 replies
DreamHaunter
Pengen lebih banyak!
Dri Andri: Oke selanjutnya saya bikin bayak kata yaa
simak terus yah
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!