Maya yang kecewa dengan penghinaan mantan suaminya, Reno, mencoba mencari peruntungan di kota metropolitan.. Ia ingin membuktikan kalau dirinya bukanlah orang bodoh, udik, dan pembawa sial seperti yang ditujukan Reno padanya. "Lihatlah Reno, akan aku buktikan padamu kalau aku bisa sukses dan berbanding terbalik dengan tuduhanmu, meskipun dengan cara yang tidak wajar akan aku raih semua impianku!" tekad Maya pada dirinya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sagitarius-74, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MAKIN HANGAT
Keesokan harinya, setelah malam pengantin yang romantis dan hangat, Pram membangunkan Maya dengan pelan . "Sayang, bersiaplah, kita akan bulan madu." bisiknya di telinga Maya.
Maya terkejut, ia menggeliat. Untuk sesaat ia terdiam memandang wajah Pram yang berada tepat diatas wajahnya.
"Ya ampun Mas, pantesan semalaman nafasku terasa sesak, ternyata kamu semalaman diatas aku terus ya?" mata Maya terbelalak kaget.
" habis aku malas turun, punyaku gelisah terus," balas Pram. Ekspresi wajahnya tak merasa bersalah, padahal korban sudah tersengal, sesak nafas.
" Ya udah, sekarang kamu turun Mas! aku sesak," jawab Maya. Kedua tangannya berusaha mendorong tubuh atletis yang ada diatasnya agar terguling.
Tapi tenaga Maya kalah kuat dibanding Pram. Lelaki itu menahan dengan kedua sikutnya ditekan keatas kasur." Hehehe, ayo kalau kamu bisa!" Pram malah tertawa, ia kembali mencium bibir Maya dengan agresif.
Pagi itu jam sudah menunjuk ke angka 4. udara dingin menusuk kulit karena saat itu hujan mulai turun. Keadaan seperti itu menambah gairah untuk bercinta makin memuncak, itu yang Pram rasakan saat itu.
"Yang, lagi ya? Kita kan pengantin baru. Aku lama puasa semenjak istriku meninggal. Sekarang aku udah buka puasa. Jadinya lapar terus. Gak apa ya?" Pinta Pram memasang wajah memelas.
"Mas, berhenti dulu ya! Ini udah adzan subuh, sebaiknya kita mandi. Aku dulu, baru kamu! Untuk buka puasanya bisa lain waktu. Okey?" Maya mendorong tubuh atletis itu ke sampingnya.
"Iya deh Bu ustadzah.. aku nurut."
Kini Pram tak bisa menolak, karena tahu gak baik ketika adzan berkumandang tapi masih main kuda-kudaan.
"Setelah mandi kita sholat subuh berjamaah ya! terus kita sarapan. Setelah itu kita langsung ke rumah jemput Riko. Semalam aku udah telepon bi Inem agar ia harus sudah beres mandiin dan kasih Riko susu ASI kamu yang disimpan di kulkas tepat jam 6 pagi." kata Pram.
" Iya Mas.. makasih ya, kamu suami yang sangat pengertian." Maya tersenyum dan mengecup pipi Pram.
"Kamu cantik, aku harap nanti kalau kita punya anak perempuan, wajahnya mirip kamu."
Tanpa menjawab, Maya terus berjalan menuju kamar mandi dengan penampakan tubuhnya yang tanpa sehelai benangpun.
Pram memandangi terus dengan takjub hingga tubuh molek itu menghilang, masuk ke dalam kamar mandi.
Setelah masuk kamar mandi, Maya merasa sesak, ia terduduk di sudut kamar mandi, terngiang kata-kata Pram kalau ia menginginkan Riko cepat punya adik. Pram mengharapkan Maya cepat hamil bahkan berharap anak perempuan mereka kelak berwajah mirip dengannya, wajah Maya.
"Gimana bisa aku hamil?.. aku tak kan pernah bisa punya anak lagi! Ya Tuhan, aku tak sanggup mengatakan yang sesungguhnya pada Mas Pram. Aku tak mau ia kecewa." batin Maya tersiksa.
Bayangan kejadian masa lampau kembali bermunculan. Ketika dirinya melahirkan anak dari Reno.
Masih terbayang ketika dirinya waktu itu memandang kosong ke arah langit-langit kamar. Cahaya matahari pagi yang biasanya membawa kehangatan, kala itu terasa dingin menusuk tulang.
Beberapa jam lalu, ia masih merasakan kebahagiaan yang tak terhingga saat memeluk bayi mungilnya. Bayi yang selama sembilan bulan ia kandung dengan penuh cinta. Namun, kebahagiaan itu hanya sekejap. Bayinya telah pergi, meninggalkan luka yang menganga di hatinya.
"Maya..."
Suara Reno memecah lamunannya. Maya menoleh, melihat suaminya berdiri di ambang pintu dengan wajah yang sulit diartikan. Ada amarah, kekecewaan, dan kesedihan bercampur menjadi satu.
"Aku, aku minta maaf, Mas Reno," ucap Maya lirih. Air mata kembali mengalir di pipinya. "Aku tahu ini berat, tapi..."
"Berat? Kau bilang ini berat?" Reno memotong ucapan Maya dengan nada tinggi. "Kau tahu betapa aku menginginkan anak? Anak yang akan menjadi penerusku, yang akan mewarisi semua yang aku punya! Tapi apa? Kau merenggut semua itu dariku!"
Maya tersentak mendengar kata-kata Reno. Ia tidak menyangka suaminya akan berkata sekejam itu. "Mas, ini bukan salahku. Aku juga tidak menginginkan ini terjadi," balas Maya dengan suara bergetar.
"Tidak menginginkan? Tapi kenyataannya seperti ini, Maya! Bayi kita meninggal karena kau! Karena kandunganmu lemah! Kau tidak becus menjadi seorang ibu!"
Plak!
Tanpa sadar, tangan Maya terangkat dan menampar pipi Reno. Ia tidak percaya Reno tega menyalahkannya atas kematian bayi mereka. "Jaga bicaramu, Mas Reno! Aku juga berduka! Aku juga kehilangan anakku!" teriak Maya dengan air mata yang semakin deras.
Reno memegangi pipinya yang memerah. Ia menatap Maya dengan tatapan yang penuh kebencian. "Aku menyesal menikah denganmu, Maya. Kau hanya pembawa sial dalam hidupku," ucap Reno sebelum berbalik dan pergi meninggalkan Maya yang terisak di tempat tidur.
Beberapa hari kemudian, Maya menerima surat cerai dari Reno. Hatinya hancur berkeping-keping. Ia tidak hanya kehilangan bayinya, tapi juga suaminya. Orang yang ia cintai dan yang ia kira akan selalu berada di sisinya, kini meninggalkannya dalam keterpurukan.
Maya mencoba untuk tegar. Ia tahu ia harus bangkit dari keterpurukan itu. Ia mulai mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada kandungannya. Ia pergi ke dokter kandungan dan melakukan berbagai pemeriksaan.
Hasil pemeriksaan itu menghancurkan hatinya. Dokter mengatakan bahwa Maya hanya memiliki satu sel telur, yaitu sel telur yang telah dibuahi dan menjadi bayinya yang telah meninggal. Itu artinya, Maya tidak akan bisa memiliki anak lagi.
Maya merasa dunia runtuh di sekelilingnya. Ia tidak hanya kehilangan bayinya dan suaminya, tapi juga harapan untuk menjadi seorang ibu. Ia merasa hidupnya tidak berarti lagi.
"Ya Tuhan.. apa aku harus jujur pada suamiku? Tapi bagaimna jika ia nanti seperti Mas Reno? Marah dan meninggalkanku karena aku tak bisa punya anak?" nafas Maya makin sesak, isak tangis tak bisa ia tahan.
Ketika adzan subuh berhenti berkumandang, isak tangis Maya sayup-sayup mulai terdengar ke kamar dimana Pram sedang duduk menunggu Maya keluar dari kamar mandi. "Maya.. apa itu suara Maya?.. Kenapa ia menangis?"pikir Pram penasaran.
Dengan langkah terburu-buru, Pram masuk ke kamar mandi untuk mencari tahu. Dan ketika pintu kamar mandi terbuka, nampak di hadapannya Maya sedang duduk dipojok kamar mandi diatas closet duduk.
"Sayang, kamu kenapa?" Pram memburu Maya yang masih menahan tangis.
"enggak Mas.. aku enggak apa-apa. Aku cuma teringat Riko. Kasihan ia, pasti haus. Tuh lihat Mas, ASI-ku terus mengalir. Malah semakin deras. Biasanya kalau gini Riko sedang haus," jawab Maya berkelit.
" Ya Allah.. Kamu ini sampai segitunya sayang sama Riko. Makasih sayang, atas perhatianmu sama Riko. Aku tak bisa membalas semua kebaikanmu. Aku makin sayang kamu," jawab Pram terharu. Di peluknya Maya dengan erat.
"Maafin atas ketidak jujuranku padamu, Mas.. Mungkin belum saatnya aku harus jujur padamu." batin Maya menangis.
"Aduh Yang, punyaku berdiri lagi!.. Mumpung kita berduaan di kamar mandi.. Mmmm..." Pram terdiam. Ia melepaskan pelukannya dan berjongkok dihadapan Maya yang masih dalam keadaan duduk.
"Mmm kenapa Mas?" tanya Maya kebingungan.
" lanjut ronde ke empat! "
"Ampuun Maaaas..."