NovelToon NovelToon
Drama Cinta Kaki Lima (Rujak Seblak Mesra)

Drama Cinta Kaki Lima (Rujak Seblak Mesra)

Status: sedang berlangsung
Genre:Pernikahan Kilat / Perjodohan / Romantis / Cinta setelah menikah / Cinta Seiring Waktu / Konflik etika
Popularitas:303
Nilai: 5
Nama Author: Laila ANT

Gunawan, penjual rujak bumbu yang pendiam, dan Dewi, pemilik seblak pedas yang independen, terjebak dalam perjodohan paksa setelah gerobak mereka bertabrakan, menciptakan kekacauan di lapak. Warga, di bawah arahan Pak RT, menghukum mereka dengan pernikahan untuk menjaga reputasi lapak. Awalnya, mereka sepakat untuk menjalani 'kontrak pacaran palsu', penuh kecanggungan dan konflik komedi. Namun, seiring waktu, serangkaian tantangan publik—mulai dari "Love Brigade" yang selalu mengawasi, drama keluarga, hingga sabotase pesaing—memaksa mereka bekerja sama. Tanpa disadari, sandiwara tersebut mulai menumbuhkan perasaan nyata, hingga akhirnya mereka harus memutuskan apakah akan tetap berpegang pada janji palsu atau jujur pada hati mereka, yang berarti menghadapi konsekuensi dari komunitas yang pernah memaksa mereka.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Laila ANT, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Misi balas budi

Bahagia. 

"Apa yang terjadi padamu, Wi?" bisiknya pelan, seolah takut mengganggu hantu masa lalu yang terkunci dalam bingkai kecil itu.

Ia menyimpannya dengan hati-hati di saku celananya yang sudah berlubang, tepat di bagian yang biasanya ia gunakan untuk menyimpan uang kembalian. Entah mengapa, ia merasa harus melindungi senyum itu, melindungi Dewi yang pernah begitu ceria.

Malam itu, setelah lapak berangsur sepi dan satu per satu lampu pedagang mulai padam, Gunawan tidak bisa tidur. Bayangan Dewi kecil terus menari-nari di benaknya, diselingi ingatan akan gerobak seblak Dewi yang ringsek saat tabrakan kemarin. Ia ingat, roda depannya sedikit goyang, engsel laci bumbu rahasianya agak lepas, dan cat di salah satu sisi gerobak terkelupas, memperlihatkan kayu usang di baliknya. Kerusakan kecil, memang, tapi cukup mengganggu bagi Dewi yang perfeksionis.

Sebuah ide gila, yang entah datang dari mana—mungkin dari efek samping kebanyakan makan rujak pedas—tiba-tiba muncul di kepalanya. Ia akan memperbaikinya. Diam-diam. Tanpa sepengetahuan Dewi. Sebuah misi balas budi rahasia, bukan karena kontrak perjodohan, bukan karena ancaman Bu Ida, tapi karena senyum seorang gadis kecil di sebuah foto usang. Dan tentu saja, untuk menjaga agar sandiwara mereka tetap terlihat 'mesra' di mata warga. Itu alasan yang lebih masuk akal di kepalanya.

Dengan langkah mengendap-endap seperti maling ayam, Gunawan menyelinap keluar dari rumahnya yang berada persis di belakang lapak. Ia membawa tas kain lusuh berisi obeng karatan, tang bengkok, dan sebotol kecil cat warna hijau pudar yang ia temukan di gudang. Warna hijau? Ya sudahlah, yang penting menutupi. Gelapnya malam menjadi sekutunya, meski kadang-kadang ia merasa mata-mata Love Brigade sedang mengawasinya dari balik tirai jendela yang berkedip.

Lapak Kaki Lima Mesra kini diselimuti keheningan, hanya suara jangkrik yang bersahutan dan kadang-kadang desiran angin yang membawa aroma sisa-sisa masakan. Gunawan mendekati gerobak seblak Dewi, yang kini tampak murung di bawah cahaya rembulan.

Ia mulai bekerja. Pertama, roda. Ia berjongkok, mengotak-atik roda yang goyang dengan obengnya. Keringat mulai menetes di dahinya, bukan karena kerja keras, tapi karena ketakutan setengah mati. Bagaimana kalau ada yang memergokinya?

Sreek!

Sebuah suara berdecit dari arah gerobak sate milik Pak Tejo, penjual sate yang terkenal suka usil dan selalu penasaran dengan resep orang lain. Jantung Gunawan langsung melonjak ke tenggorokan.

Ia cepat-cepat menyembunyikan obeng di balik punggungnya, lalu pura-pura memeriksa keranjang sampah di dekat gerobak Dewi, seolah-olah ia sedang berburu remah-remah kerupuk sisa.

"Eh, Gunawan?" Suara serak Pak Tejo memecah keheningan, membuat Gunawan nyaris terjungkal.

Pak Tejo muncul dari balik gerobaknya, membawa seember air kotor dan sikat. Matanya menyipit, menatap Gunawan dengan curiga.

"Malam-malam begini ngapain di sini? Nggak bisa tidur, ya? Atau... lagi cari ilham resep rujak baru?"

Gunawan berusaha tersenyum, senyum yang terasa kaku dan dipaksakan.

"Ah, Pak Tejo! Kaget saya. Ini... ini saya lagi... lagi cari inspirasi, Pak. Lihat bintang-bintang. Katanya kalau lihat bintang, ide bisnis jadi cemerlang." Ia menunjuk ke langit yang gelap, di mana hanya beberapa bintang yang terlihat samar di antara polusi cahaya kota.

Pak Tejo mendengus, tidak percaya sedikit pun.

"Inspirasi bintang? Halah, kamu ini. Biasanya juga jam segini sudah ngorok. Jangan-jangan kamu lagi mau intip resepnya Dewi, ya? Saya dengar-dengar, kalian berdua kan lagi... uhm... mesra-mesranya. Sampai kerja bareng pegangan tangan segala. Mau nyolong ilmu, ya?" Ia menatap gerobak seblak Dewi, lalu melirik Gunawan dengan tatapan penuh selidik.

Gunawan menggeleng cepat.

"Astaga, Pak Tejo! Jangan salah sangka! Saya ini cuma, ya... lagi jalan-jalan malam saja. Udara sepi kan enak, Pak. Bisa mikir jernih." Ia menggeser kakinya, mencoba menutupi obeng yang masih ia genggam erat.

"Mikir jernih kok di depan gerobak seblak," Pak Tejo menyeringai.

"Jangan-jangan kamu mau nyuri bumbu rahasianya Dewi, ya? Biar rujakmu jadi pedas membara kayak seblaknya. Wah, itu namanya tidak sportif, Gunawan! Perjodohan boleh, tapi rahasia dapur itu harga mati!"

"Tidak, Pak! Tidak sama sekali!" Gunawan bersumpah serapah dalam hati. Pak Tejo ini memang tukang gosip kelas kakap.

"Saya... saya cuma mau lihat-lihat saja, Pak. Kali aja ada tikus lewat, kan bisa saya usir."

Pak Tejo tertawa renyah, tawa yang terdengar seperti gesekan amplas.

"Tikus? Halah, kamu ini. Sudah, sana pulang. Nanti disangka yang tidak-tidak sama Love Brigade. Bu Ida itu matanya kayak kamera CCTV, tahu. Apalagi soal kalian berdua." Pak Tejo melambaikan tangannya, mengusirnya.

"Sana, sana. Saya mau bersih-bersih gerobak. Jangan ganggu ritual bersih-bersih tengah malam saya!"

Gunawan menghela napas lega saat Pak Tejo kembali ke balik gerobaknya. Pria itu memang benar-benar pengganggu. Ia menunggu beberapa saat, memastikan Pak Tejo tidak lagi mengawasinya, lalu kembali ke misinya.

Ia berhasil mengencangkan roda gerobak, membuat posisinya lebih stabil. Lalu ia memperbaiki engsel laci bumbu yang lepas dengan tangnya, membuatnya tidak lagi berderit saat dibuka. Terakhir, ia mengambil kaleng cat hijau dan mulai menutupi bagian cat yang terkelupas. Dengan hati-hati ia mengoleskannya, berharap Dewi tidak akan terlalu memperhatikan perbedaan warnanya.

"Ini bukan hijau army, bukan hijau tosca... ini hijau lumut yang sudah mengering," Gunawan bergumam, sedikit kecewa dengan pilihan warnanya.

"Semoga Dewi tidak marah."

Tepat saat ia menyelesaikan sapuan cat terakhir, sebuah suara melengking di kejauhan membuat bulu kuduknya berdiri.

"Gunawan! Kamu di situ, kan?!"

Itu suara Bu Ida! Jantung Gunawan serasa mau copot.

"Mampus!" Gunawan berbisik panik.

Langkah kaki Bu Ida dan rombongannya semakin mendekat. Gunawan bisa mendengar bisikan-bisikan mereka.

"Lihat, Bu Ida! Itu gerobak Dewi, kan?" kata Bu Marni.

"Iya, Marni. Sepertinya ada orang di sana. Dari tadi saya lihat lampu senter bergerak-gerak. Jangan-jangan ada maling!" Bu Ida menjawab, suaranya penuh kecurigaan.

"Atau jangan-jangan... Gunawan dan Dewi lagi pacaran diam-diam di sini, Bu!" sambung Bu Tuti, suaranya bersemangat.

"Kan mereka sudah disuruh mesra-mesraan!"

"Hus! Tuti! Jangan sembarangan bicara!" Bu Ida memarahi.

"Kalau pacaran, harus terang-terangan! Biar semua warga tahu dan bisa jadi contoh yang baik! Tidak boleh sembunyi-sembunyi begini! Itu melanggar etika perjodohan!"

Senter Bu Ida menyapu area gerobak seblak. Cahayanya menembus celah-celah di bawah gerobak, nyaris mengenai wajah Gunawan. Ia menahan napas, berharap tidak ada tikus yang tiba-tiba melompat atau batuk yang tidak disengaja.

"Tidak ada siapa-siapa, Bu Ida," kata Bu Marni, setelah mengintip di sekitar gerobak.

"Mungkin cuma kucing."

"Kucing tidak pakai senter, Marni!" Bu Ida masih tidak yakin.

Ia mengedarkan pandangannya, matanya yang tajam seolah bisa menembus kegelapan. Ia menatap gerobak seblak Dewi yang kini terlihat lebih rapi dari sebelumnya.

"Hmm... aneh. Saya seperti melihat sesuatu yang berbeda di gerobak ini. Tapi apa, ya?"

Bu Ida mendekat, mengamati roda gerobak yang kini tampak kokoh. Lalu ia menyentuh bagian cat hijau yang baru Gunawan poles.

"Warna catnya... kenapa beda, ya? Seperti baru dicat. Tapi ini kan gerobak Dewi. Apa dia diam-diam mau ganti warna gerobak? Tapi kenapa cuma sedikit?" Bu Ida bergumam, kebingungan.

Gunawan di bawah gerobak berdoa sekuat tenaga agar Bu Ida tidak terlalu jeli. Ini adalah momen yang sangat menegangkan. Jika ketahuan, ia akan dianggap melanggar kontrak, atau lebih parah, mencoba memenangkan hati Dewi dengan cara licik.

"Mungkin cuma pantulan lampu senter kita, Bu," Bu Tuti menyarankan.

"Sudahlah, ayo kita pulang. Besok pagi kita cek lagi."

Bu Ida menghela napas panjang, masih curiga.

"Baiklah. Tapi saya punya firasat, ada yang tidak beres di sini. Firasat Love Brigade tidak pernah salah!" Ia lalu menatap ke arah gerobak Gunawan.

"Besok pagi, kita harus mengawasi mereka lebih ketat lagi. Siapa tahu ada 'proyek' rahasia yang sedang mereka jalankan!"

Langkah kaki mereka menjauh, perlahan menghilang ditelan kegelapan. Gunawan baru berani keluar dari persembunyiannya setelah beberapa menit, napasnya tersengal-sengal. Jantungnya masih berdebar kencang. Misi balas budi rahasia ini ternyata lebih menantang daripada yang ia bayangkan.

Pagi harinya, Lapak Kaki Lima Bahagia kembali hidup. Aroma kopi, gorengan, sate, dan tentu saja, rujak serta seblak, bercampur aduk. Gunawan, dengan mata sedikit bengkak karena kurang tidur, sudah siap di gerobaknya. Ia sesekali melirik ke arah gerobak seblak Dewi, menantikan reaksinya.

Dewi datang sedikit lebih siang dari biasanya, rambutnya dikuncir kuda, wajahnya masih memancarkan aura 'jangan-ganggu-aku'. Ia membuka gerobaknya, meletakkan keranjang kerupuk, dan mulai menyiapkan wajan. Gerakannya yang biasa cekatan, tiba-tiba terhenti.

Matanya menatap roda gerobaknya. Lalu ke laci bumbu. Jemarinya menyentuh cat hijau yang kini terlihat sedikit berbeda dari warna aslinya, namun jelas menutupi bagian yang terkelupas. Dewi mengerutkan kening. Ini... ini tidak mungkin. Ia yakin kemarin roda gerobaknya agak goyang, dan catnya terkelupas. Tapi sekarang? Semuanya terlihat rapi.

Ia melirik ke arah Gunawan, yang pura-pura sibuk mengiris mangga, tetapi matanya sesekali mencuri pandang ke arahnya. Dewi menatapnya tajam, mencoba membaca pikiran pria itu. Gunawan hanya membalas dengan senyum kecil yang canggung.

Dewi terdiam sejenak.

Ia tahu ini pasti ulah Gunawan. Siapa lagi? Tapi kenapa? Dan kapan? Ia ingin marah, ingin bertanya, ingin menuduh Gunawan melanggar kontrak 'tidak ada campur tangan'. Namun, ada sesuatu yang menahannya. Sebuah perasaan aneh, hangat, merayap di dadanya. Perasaan yang tidak ia inginkan.

Ia menarik napas panjang, lalu membuangnya perlahan. Tanpa berkata apa-apa, ia kembali ke pekerjaannya, pura-pura tidak terjadi apa-apa. Namun, sudut bibirnya... sedikit terangkat. Sebuah senyum tipis, nyaris tak terlihat, melintas di wajahnya, seperti pantulan cahaya matahari pagi yang lembut.

Gunawan, yang masih mencuri pandang, melihat senyum itu. Senyum yang begitu langka, begitu berharga. Jantungnya berdesir. Ia merasa lelahnya semalam terbayar lunas. Dewi mungkin tidak akan pernah mengakuinya, tapi ia tahu. Ia merasa senang.

Tiba-tiba, suara melengking Bu Ida terdengar dari seberang lapak.

"Dewi! Gunawan! Pagi-pagi begini sudah tersenyum-senyum sendiri! Wah, wah, wah! Sepertinya ada kemajuan besar, ya? Love Brigade akan segera datang untuk... wawancara eksklusif!"

Dewi sontak memadamkan senyumnya, wajahnya kembali datar. Ia melirik Gunawan dengan pandangan kesal, seolah menyalahkan pria itu atas keberhasilan misi rahasianya. Namun, di balik tatapan itu, ada sedikit... kebingungan.

Kebingungan yang menyenangkan. Sebuah pertanyaan tanpa suara: Apa lagi yang akan kau lakukan, Gunawan? Gunawan hanya bisa menggaruk kepalanya yang tidak gatal, sadar bahwa tindakannya semalam justru membuka pintu menuju komplikasi yang lebih besar.

"Kenapa kalian tersenyum-senyum, Nak?" Bu Ida kini sudah berdiri di depan gerobak seblak Dewi, matanya menatap tajam ke arah cat hijau yang sedikit berbeda.

"Dan, Dewi, itu gerobakmu... kok rasanya beda, ya? Lebih... mulus. Apa jangan-jangan..."

Bu Ida menunjuk ke arah Gunawan, lalu ke arah Dewi, dengan tatapan penuh selidik yang siap mengungkap konspirasi terbesar di Lapak Kaki Lima Bahagia.

"Jangan-jangan kalian berdua semalam... semalam..."

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!