Penasaran dengan cerita nya lansung aja yuk kita baca
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mbak Ainun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 21: Jarum Perak di Ruang Sidang
Ruang sidang mediasi pagi itu terasa lebih sempit dari biasanya. Udara dingin dari mesin pendingin ruangan seolah membekukan suasana. Di satu sisi meja, Arini duduk dengan anggun mengenakan setelan power suit berwarna abu-abu baja—warna yang melambangkan ketahanan dan netralitas. Di sampingnya, Rendra dan Damar bersiaga seperti benteng yang tak tergoyahkan.
Di seberang mereka, Shinta—ibu Adrian—duduk dengan wajah yang dibuat-buat sedih, terus-menerus menyeka air mata yang tidak benar-benar jatuh. Di sampingnya berdiri Dina, mantan akuntan Arini yang tampak gelisah, terus menghindari tatapan mata Arini yang tajam.
"Ibu Arini," pengacara Shinta memulai dengan nada bicara yang merendahkan. "Klien kami hanya ingin menuntut keadilan. Bagaimana mungkin seorang ayah yang sedang sakit keras memberikan seluruh aset rahasianya kepada menantu yang sedang menggugat cerai anaknya? Kami menduga ada manipulasi psikologis di sini."
Arini menarik napas panjang. Ia tidak langsung membalas. Ia menatap Shinta lurus-lurus hingga wanita tua itu membuang muka.
"Keadilan atau keserakahan, Tante?" tanya Arini dengan suara rendah namun sangat jelas. "Kita semua tahu Adrian membutuhkan uang untuk membayar pengacara mahal agar ia bisa keluar dari penjara. Dan Anda menggunakan Dina, seseorang yang saya pecat karena mencuri dana kecil empat tahun lalu, untuk menjadi saksi palsu?"
Dina tersentak. "Saya tidak berbohong! Saya melihat Anda memaksa almarhum menandatangani berkas itu di rumah sakit!"
Rendra segera mengeluarkan sebuah tablet dan memutar sebuah rekaman video. "Dina, ini adalah rekaman CCTV rumah sakit pada tanggal yang kau sebutkan. Di jam tersebut, Arini sedang berada di Singapura untuk acara Fashion Week. Sedangkan di dalam kamar rawat, yang terlihat justru Anda sedang mencoba meminta tanda tangan kosong kepada mertua Arini, namun beliau mengusir Anda."
Keheningan seketika menyelimuti ruangan. Wajah Dina berubah menjadi pucat pasi. Shinta tampak gemetar, tangannya yang memegang tisu mulai kaku.
"Saya memiliki bukti forensik digital bahwa dokumen yang saya terima adalah asli dan ditandatangani sebulan sebelum beliau masuk rumah sakit," lanjut Arini, suaranya kini setajam silet. "Mertua saya melakukan itu karena beliau malu memiliki istri dan anak yang hanya tahu cara menghabiskan uang tanpa pernah tahu cara menghargai manusia."
Shinta tiba-tiba meledak. "Kau wanita tidak tahu diuntung! Kau menghancurkan anakku, sekarang kau ingin membuatku melarat?"
"Adrian menghancurkan dirinya sendiri dengan benang khianat yang dia pintal, Tante," balas Arini tenang. Ia berdiri, merapikan blusnya tanpa sedikit pun keraguan. "Dan jika Anda melanjutkan tuntutan palsu ini, saya tidak akan segan-segan melaporkan Anda dan Dina atas kasus pencemaran nama baik dan kesaksian palsu. Pilihannya ada di tangan Anda: pulang dengan sisa harga diri yang ada, atau menyusul Adrian ke balik jeruji."
Pengacara Shinta berbisik cepat kepada kliennya, dan tak lama kemudian, mereka meminta izin untuk mencabut gugatan tersebut. Dina lari keluar ruangan sebelum sidang benar-benar ditutup, sementara Shinta hanya bisa terduduk lemas, menyadari bahwa ia baru saja kalah telak dari wanita yang dulu ia remehkan sebagai "sekadar penjahit baju".
Saat mereka keluar dari gedung pengadilan, Damar menggenggam tangan Arini. "Kau sangat hebat tadi. Sangat tenang."
"Aku tidak ingin lagi memberikan energi untuk orang-orang yang hanya ingin merobek fokus pada apa yang sedang kita bangun. Kain hidupku sudah terlalu banyak tambalan, aku ingin bagian depannya bersih mulai sekarang."
