NovelToon NovelToon
IKATAN SUCI YANG TERNODA

IKATAN SUCI YANG TERNODA

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / Selingkuh / Mengubah Takdir / Ibu Mertua Kejam / Pihak Ketiga / Romansa pedesaan
Popularitas:157.3k
Nilai: 5
Nama Author: Cublik

Niatnya mulia, ingin membantu perekonomian keluarga, meringankan beban suami dalam mencari nafkah.

Namum, Sriana tak menyangka jika kepergiannya mengais rezeki hingga ke negeri orang, meninggalkan kedua anaknya yang masih kecil – bukan berbuah manis, melainkan dimanfaatkan sedemikian rupa.

Sriana merasa diperlakukan bak Sapi perah. Uang dikuras, fisik tak diperhatikan, keluhnya diabaikan, protesnya dicap sebagai istri pembangkang, diamnya dianggap wanita kekanakan.

Sampai suatu ketika, Sriana mendapati hal menyakitkan layaknya ditikam belati tepat di ulu hati, ternyata ...?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Isyt : 11

“Tolong jangan ceritakan ke Bunda, kalau aku sama Ambar sering mulung sepulang sekolah. Bisa kan, Bude?” Tian mendongak, mata sendu itu penuh harap, dia tak ingin menambah beban sang ibu yang sudah cukup terbebani oleh keluarga benalu ayahnya.

“Bude usahakan tapi ndak janji! Kalian sudah sarapan belum? Bude ada masak bihun goreng, mau ndak?”

“Kami udah kenyang, Bude. Tadi makan banyak benget jajan yang seharusnya dikasihkan ke keponakan calon suaminya tante Dwi,” jawab Tian.

Jajanan tadi bukan dibeli di warung, melainkan minimarket yang pada hari Sabtu nanti, mau dibawa sebagai buah tangan demi merebut hati keluarga calon suami Dwita.

Ingin rasanya Wulan memaki, tapi dia berusaha memperluas rasa sabar. “Ya sudah, nek laper kesini saja, ya?”

Ambar Ratih mengangguk, jari telunjuknya menusuk bagian ujung kaos bolong kakaknya yang sebenarnya sudah waktunya ganti.

Tian pun paham sorot cemas adiknya, lantas dia berpamitan lalu menyalami tangan Wulan.

Wulan menatap nanar sepasang anak baik budi, pintar, berpenampilan layaknya tidak diurus cuma dikasih makan ala kadarnya saja. ‘Sri, Sri … seandainya dirimu tahu nasib anak-anakmu, bisa gila kamu Sri.’

Gilang yang ada dalam gendongannya, ia turunkan dan diberi mainan agar tak mengganggunya kala menghubungi sang sahabat nan jauh di negeri orang.

Wulan memasukkan nomor telepon yang ditulis oleh Tian, saat lengkap dirinya langsung menyentuh tombol hijau.

“Kok ndak tersambung ya? Bener ndak ini nomornya?” rasa cemas mulai hadir, ini kesempatan emas, jangan sampai gagal.

Kemudian dia mencoba nomor lainnya, tetap tidak bisa. “Piye Iki?!”

Wulan tak kehabisan akal, dia membuka aplikasi pintar mencari nomor kode negara Hongkong.

***

“Ya Allah, ndang'o Lan!” Sriana mondar mandir di ruang tamu seraya melihat keluar jendela, takut tiba-tiba Triani pulang.

Hampir setengah jam dirinya menunggu telepon dari sang sahabat. Telapak tangannya telah berkeringat menggenggam kuat ponsel pemberian Eka.

Tiba-tiba ponselnya berbunyi, nomor asing yang memanggil. Kaki Sriana seketika lemas, wajahnya memerah, dia sampai bersandar pada dinding untuk menopang berat tubuhnya.

“Assalamualaikum,” sapanya dengan suara gemetar.

“Waalaikumsalam, yungalah Sriana! Raimu kok ajur mumur ngunui?!” Wulan memekik terkejut, wajah sahabatnya benar-benar memprihatinkan.

(wajahmu kok hancur lebur)

Sriana tidak menjawab, malah menangis, dia merasa tidak sendirian, dia merasa memiliki harapan untuk menyelamatkan putra dan putrinya.

Wulan juga meneteskan air mata, melihat Sriana menangis, dia tahu kalau sahabatnya telah mengetahui sesuatu menyakitkan hati.

“Nangis’o ben lego atimu (Nangislah biar lega hatimu).”

Beberapa saat kemudian, Wulan kembali bertanya saat Sri tak lagi tergugu. “Kamu kemana saja, nomor ganti pun ndak kasih tahu aku. Tak kira udah nggak mau lagi bersahabat denganku.”

“Ndak gitu Lan. Sewaktu aku baru sampai Hongkong ponselku rusak, ndak bisa nyala. Selama satu bulan penuh aku komunikasi dengan anak-anak lewat hp nya Triani, setelah gajian baru beli ponsel baru yang harga murah, terus nomor juga ganti. Masalahe kartu yang lama hilang tiba-tiba, semua nomor pun raib,” ia menjelaskan apa adanya.

“Kamu ndak main media sosial Lan?”

Wulan menggeleng. “Ndak punya waktu Sri. Aku sibuk ngurusin Mak’e sampai setahun yang lalu beliau tutup usia, terus momong anakku yang terlambat masa tumbuh kembangnya.”

“Ya Allah, aku ikut prihatin sekaligus berdukacita ya Lan. Katae Dwi, kamu pindah ke kampung suamimu,” tuturnya.

“Nggeh, ndak apa-apa. Aku ndak pernah pindah, tetep disini. Kamu sehat ‘kan?” walaupun dia sudah dapat menebak, tapi tetap ingin menunjukkan perhatian tulus.

“Aku ndak kuat Lan. Ndak nyangka ikatan suci pernikahanku dinodai pengkhianatan teramat menyakitkan. Agung selingkuh dengan Triani.” Tangisnya tambah keras sampai kamera ponsel bergoyang dikarenakan bahunya berguncang. Dia butuh penopang, tempat bercerita agar tak gila di negeri orang.

“Biyuhh terah diancookk wong loro kui. Dasar lanangan assu! Direwangi rah keroso nggolek sandang pangan malah ngelonte!” makinya dengan nada berapi-api.

(Dasar biadab dua orang itu. Laki-laki binatang! Dibantu cari rezeki malah selingkuh.)

“Bodoh banget kan aku …?” adunya.

“Memang bodohmu iku sundul langit, Sri! Keluarga pemalas, pengemis, tahunya makan enak tapi ndak mau berusaha kok ya kamu tampung sampai belasan tahun. Nek aku wes tak depak, tak sedekahkan ke kaum yang membutuhkan. Bila perlu tak tumbalkan buat penyangga jembatan,” dia selalu ceplas ceplos. Tak jarang karena mulut apa adanya itu memicu pertengkaran dengan orang lain.

Dalam tangisnya yang mulai reda, Sriana terkekeh. Dia setuju dengan apa yang dikatakan oleh sahabatnya. Memang sebodoh itu dirinya.

Sriana menceritakan bagaimana sampai dia tahu perselingkuhan Agung dengan Triani, pun jujur perihal kehidupannya selama serumah dengan sepupunya. Setiap jeda kalimatnya disambut umpatan Wulandari.

“Dasar Triani sundel! Mugo-mugo ndang digerogoti belatung tempek bosok ke iku!” Wulan meradang, ya kasihan ke sahabat bodohnya, geram dengan teman satu sekolah kala mereka SD dulu.

“Sri, aku curiga kalau mukamu itu hasil perbuatan dia juga. Seingetku kamu dulu ndak pernah jerawatan loh, cuma bruntusan karena punya laki mokondo males modali istrinya, tapi banyak nuntutnya,” ujarnya setelah bisa menguasai diri sehabis mengumpat.

“Aku yo mikir gitu Lan, ini lagi mau cari cara biar bisa menemukan buktinya.”

“Lan, apa kamu tahu nasib anak-anakku yang sebenarnya?” tanyanya lirih, setiap kali menyebut mereka hatinya langsung sakit.

“Apa tadi kamu video call dengan mereka?” tanya Wulan balik.

“Iya.” Ia mengangguk, suaranya kian lirih.

“Apa yang kamu lihat?”

“Anak-anakku koyok gembel, ndak terurus. Jauh banget sama foto-foto yang dikirim Dwita, berbeda dengan postingannya pada media sosial – tengah memamerkan fashion para keponakannya yang selalu mengenakan pakaian bagus, rambut Ambar diikat rapi dengan pita-pita bagus, terus Tian … yungalah Gusti. Hiks hiks hiks ….” Dia menelan ludah, tenggorokan sakit sudah. Tak sanggup meneruskan kata-katanya.

“Kaos Tian tadi itu … baju lebaran empat tahun lalu, sengaja dulu tak belikan size besar. Ya Rabbi, aku sering check out keranjang kuning, beli pakaian, aksesoris untuk mereka, tapi kenapa …?” lidahnya keluh.

“Semua itu bohong Sri! Awakmu diapusi, diakali! Anakmu diperlakukan seperti Ayam – pagi dikeluarkan dari kandang, dibiarkan cari makan sendiri. Septian, Ambar – pergi dan pulang sekolah jalan kaki. Tian pernah pingsan dikarenakan habis kehujanan, terus demam tapi keesokan harinya tetap sekolah. Pas pulangnya jalan kaki di bawah terik matahari, untungnya ditolong guru sekolahnya lalu diantarkan ke klinik bu bidan Ningra.” Wulan menarik napas dalam-dalam.

“Besok ya tak buntuti mereka sewaktu pulang sekolah. Biar ku video dan tak kirim ke dirimu, ada sesuatu yang aku sendiri nelongso banget liatnya,” air matanya pun ikut terjatuh.

“Apa Lan? Aku percaya sama mu,” suaranya terisa bisikan, kalah dengan sedu sedan nya.

“Ini bukan soal percaya ataupun ndak Sri. Kamu kudu pinter, cerdik, kumpulkan bukti sebanyak mungkin,” ia memberikan usulan.

Badan Sriana lemas, kepalanya seperti ditusuk-tusuk jarum, berdenyut-denyut. Dalam keadaan terpuruk dia harus berpikir cepat agar dapat memutuskan sesuatu tepat.

“Suamimu sekarang kerja apa Lan? Berapa gajinya sebulan?”

.

.

Bersambung.

1
bunda fafa
ada ya seorang ibu mendukung putri nya jd pelakoorrr 😏
SasSya
semoga dalam lindungan Nya za kalian nok_leeee
semoga berhasil ambil Semua yg berharga,🤲🤲🤲
SasSya
baguuuuuusss
ada paparazi
lek Dimas?
bunda fafa
ibu macam apa ita ini??🤦🤦kok justru nyuruh anaknya minta dinikahin si mokondo yg notabene suami keponakan nya sendiri 🤦
SasSya
najoong!!!!🤮🤢


naaaaaa kaaannnn
sudah lama hubungan mereka
SasSya
2 keluarga bedeb** kranjingan tenan!!!
🤬🤬🤬🤬🤬

part Iki misuh troooosss kak cublikkkkk 😆😆😆
astagfirullah astagfirullah astagfirullah astagfirullah
mamaqe
waduh apapun itu moga anak soleh dan solehah dilindungi
SasSya
Mammi????
haduuuwww seketika ngakak
🤣🤣🤣🤣maaf zaaa✌️✌️✌️
Treek Treeekkkk
bunda fafa
gak bakalan..Sri sdh pintar..km yg akan jd kere dan gembel
SasSya
seolah 12 THN yg sia2 za Sri....
sekarang mulai menata dr awal
pelan tpi pasti keluar dari jeratan laki2 gak guna!
SasSya
di butakan apa kamu dulu Sri,
sampai mau nikah dgn laki2 mokondo?
apa ada campur tangan Ita mbokne Tri?
maya ummu ihsan
cuih.. cuih...💦💦
SasSya
13 hari tak tunggu
akan ada kegemparan apa?🤔
SasSya
joosss
bener kui Sri 👍👍👍
Anis Jmb
😭😭😭
SasSya
🤢🤢🤮🤮🤮🤮🤮
langsung muntah ke mukamu gooooonggggg
SasSya
conggor muu guungg
ngarang kentang 🥔

opo mau lewat hape
emange Trisundel, muaaaaaaakkkkk 🤢🤢🤢
SasSya
setta* tenan Koen Gung 🤬🤬🤬🤬🤬🤬
tensi meroket huasy* Kowe guuunggg!!!!

astagfirullah astagfirullah astagfirullah
SasSya
yg kerja siapa
yg ngitung gaji siapa!
SasSya
mengimbangi drama si laki busuk
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!