Gavin Narendra, CEO muda yang memiliki segalanya, menghancurkan pernikahannya sendiri dengan perselingkuhan yang tak terkendali. Larasati Renjana, istrinya yang setia, memilih untuk membalas dendam dengan cara yang sama. Dalam pusaran perselingkuhan balas dendam, air mata, dan penyesalan yang datang terlambat, mereka semua akan belajar bahwa beberapa luka tak akan pernah sembuh.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 36: Larasati Menerima Lamaran Reza
#
Keesokan harinya, Larasati bangun dengan kepala yang berat—bukan karena kurang tidur meski dia memang tidak tidur nyenyak, tapi karena weight dari keputusan yang sudah dia buat semalam. Keputusan yang akan mengubah hidupnya sekali lagi, yang akan membawa dia ke chapter yang benar-benar baru.
Abi sudah bangun dan main di taman dengan nenek saat Larasati turun untuk sarapan. Dhara menatapnya dengan pertanyaan silent di mata, tapi tidak bertanya—memberikan ruang untuk putrinya yang jelas sedang memproses sesuatu yang besar.
"Ibu," kata Larasati saat menuang kopi, tangannya sedikit gemetar. "Aku akan ketemu Reza siang ini. Aku... aku akan terima lamarannya."
Dhara berhenti memotong buah, menatap putrinya dengan mata yang tajam—tidak menilai, tapi assessing, memastikan ini keputusan yang benar dan bukan reaksi impulsif dari sakit hati semalam.
"Kamu yakin?" tanya Dhara pelan. "Ini bukan karena berita tentang Kiran? Bukan karena kamu mau prove something ke Gavin atau ke dirimu sendiri?"
Pertanyaan yang fair. Pertanyaan yang Larasati sendiri tanya pada dirinya sejak semalam.
"Mungkin sebagian," jawab Larasati dengan jujur, duduk di seberang ibunya. "Mungkin berita tentang Kiran jadi trigger. Tapi Bu, aku sudah pikir tentang ini. Reza pria yang baik. Dia sayang aku. Dia mau jadi ayah untuk Abi. Dan aku... aku capek sendirian. Aku capek feeling seperti aku gagal karena pernikahanku hancur. Reza menawarkan awal yang baru. Dan aku mau ambil kesempatan itu."
Dhara menatap putrinya cukup lama, lalu mengangguk pelan. "Kalau itu keputusanmu—keputusan yang kamu buat dengan clear mind, bukan reaksi emotional—maka Ibu support. Tapi sayang, promise Ibu satu hal: jangan masuk ke pernikahan baru dengan membawa ghost dari pernikahan lama. Jangan buat Reza bayar untuk dosa Gavin."
"Aku akan coba," kata Larasati, meski bagian dari dirinya tidak yakin bagaimana untuk tidak membawa ghost saat ghost itu masih sangat alive di pikiran dan hatinya.
---
Jam dua siang, Larasati duduk di Kafe Braga—kafe yang sama di mana Reza melamarnya dua minggu lalu, di mana dia bilang dia perlu waktu. Tapi sekarang waktu itu sudah habis. Atau lebih tepatnya, circumstances membuat keputusan jadi lebih urgent.
Reza datang tepat waktu—seperti biasa, selalu reliable, tidak pernah buat Larasati menunggu terlalu lama. Dia pakai kemeja biru muda dengan celana jeans, terlihat casual tapi tetap rapi, senyum hangat saat lihat Larasati meski ada kekhawatiran di matanya.
"Hai," sapa Reza, duduk di seberangnya. "Kamu kelihatan... lelah. Apa yang terjadi? Apa ada masalah dengan sidang? Dengan Abi?"
Larasati menggeleng, tangannya menggenggam cangkir kopi yang belum dia sentuh. "Ada yang aku perlu bilang. Tapi sebelum itu... lamaran kamu dua minggu lalu. Apa itu masih berlaku?"
Wajah Reza berubah—dari khawatir jadi sesuatu yang lebih complicated. Hope bercampur dengan caution. "Tentu masih berlaku. Aku bilang aku akan tunggu berapa lama pun yang kamu butuhkan. Kenapa? Lara, apa—"
"Aku terima," potong Larasati, menatap mata Reza langsung. "Aku terima lamaranmu."
Waktu berhenti untuk sedetik. Reza menatapnya dengan mulut sedikit terbuka, tidak yakin dia dengar benar.
"Apa?" bisiknya. "Kamu... kamu bilang apa?"
"Aku terima lamaranmu," ulang Larasati, lebih keras sekarang, lebih firm. "Aku mau nikah sama kamu, Reza. Aku mau mulai hidup baru. Sama kamu."
Reza berdiri tiba-tiba—kursi bergeser dengan bunyi yang keras, beberapa orang di kafe menoleh. Tapi dia tidak peduli. Dia tarik Larasati berdiri dan peluk dia—pelukan yang erat, yang penuh dengan relief dan kebahagiaan dan sesuatu yang lebih dalam.
"Serius?" bisiknya di telinga Larasati, suaranya bergetar. "Kamu serius? Ini bukan karena kamu lagi sedih atau bingung atau—"
"Aku serius," kata Larasati, memeluknya balik meski pelukannya tidak se-erat pelukan Reza. "Aku mau ini. Aku mau kamu."
Reza menarik diri, memegang wajah Larasati dengan kedua tangan, matanya berkaca-kaca dengan bahagia. "Lara, kamu tidak tahu betapa bahagianya aku. Aku... aku bahagia banget rasanya kalau gak malu aku mau salto sambil teriak aku berhasil!"
Kalimat itu—so silly, so Reza, so berbeda dari Gavin yang selalu serious dan measured—membuat Larasati tertawa. Tertawa genuine untuk pertama kalinya dalam berhari-hari. Dan Reza, mendengar tawa itu, tersenyum lebih lebar.
"Di sana," kata Reza, masih memegang wajahnya. "Senyum itu. Aku kangen senyum itu. Dan aku janji—aku akan buat kamu senyum setiap hari. Aku akan buat kamu bahagia, Lara. Aku akan jadi suami yang kamu deserve, ayah yang Abi deserve."
Larasati merasakan air mata mengalir—tapi kali ini bukan air mata kesedihan. Atau setidaknya tidak hanya kesedihan. Ada lega di sana juga. Lega bahwa dia tidak akan sendirian lagi. Lega bahwa ada seseorang yang willing untuk build future bersamanya.
"Kapan?" tanya Reza, duduk lagi tapi tangannya tidak lepas dari tangan Larasati. "Kapan kita bisa nikah?"
"Setelah ceraiku dengan Gavin resmi," jawab Larasati. "Sidang terakhir minggu depan. Kalau semuanya berjalan lancar, putusan akan keluar dalam sebulan. Jadi... dua bulan mungkin? Tiga bulan untuk aman?"
"Aku bisa tunggu," kata Reza cepat. "Aku sudah tunggu sepuluh tahun, aku bisa tunggu tiga bulan lagi. Yang penting kamu yakin. Kamu benar-benar yakin tentang ini."
Larasati menatap pria di depannya—pria yang matanya bersinar dengan cinta yang genuine, yang tangannya hangat di tangannya, yang senyumnya membuat sesuatu di dadanya sedikit lebih ringan.
Apakah dia yakin? Sejujurnya, tidak sepenuhnya. Masih ada bagian dari dirinya yang ragu, yang bertanya-tanya apakah ini terlalu cepat, apakah dia melompat dari satu relationship ke relationship lain tanpa properly heal.
Tapi bagian lain—bagian yang lelah sendirian, yang lelah merasa gagal, yang ingin percaya bahwa ada kebahagiaan di masa depan—berbisik bahwa ini benar. Bahwa Reza adalah pilihan yang tepat.
"Aku yakin," kata Larasati, dan dia berharap kalau dia bilang itu cukup keras, cukup sering, eventually dia akan percaya sepenuhnya.
Reza tersenyum—senyum yang begitu penuh kebahagiaan sampai infectious. Dia keluarkan kotak cincin dari sakunya—kotak yang sama dari dua minggu lalu—dan kali ini, dia benar-benar pasangkan cincin itu di jari Larasati.
Cincin sederhana dengan berlian kecil yang pas sempurna. Dan Larasati menatapnya—benda yang seharusnya symbol dari cinta dan commitment tapi entah kenapa terasa asing di jarinya.
"Sempurna," bisik Reza, mencium tangannya. "Kamu sempurna."
Mereka habiskan satu jam berikutnya planning—tentang kapan akan ketemu keluarga Reza officially, tentang bagaimana introduce Reza ke Abi sebagai calon ayah tiri (meski Abi sudah kenal Reza sebagai teman Mama), tentang di mana akan tinggal (Reza punya rumah di Jakarta Selatan yang cukup besar untuk mereka bertiga), tentang resepsi (kecil saja, hanya keluarga dekat, tidak mau yang mewah atau attention-grabbing).
Dan saat mereka berpisah di parkiran—Reza mencium keningnya dengan lembut dan bilang "aku tidak sabar untuk jadi suamimu"—Larasati tersenyum dan angguk dan bilang "aku juga."
Tapi saat mobil Reza hilang di tikungan, saat Larasati sendirian di mobil dengan mesin yang belum dinyalakan, senyum itu perlahan memudar.
Dia menatap cincin di jarinya—cincin yang baru, yang shiny, yang seharusnya membuat dia bahagia.
Tapi yang dia rasakan adalah... kosong. Bukan bahagia. Bukan excited. Hanya kosong dengan sedikit undertone dari something yang mungkin panic.
"Ini keputusan yang tepat," bisiknya pada dirinya sendiri, seperti mantra. "Reza pria yang baik. Dia akan jadi suami yang baik. Ini keputusan yang tepat."
Tapi kenapa dadanya terasa sesak? Kenapa ada suara kecil di kepalanya yang berbisik bahwa dia membuat mistake?
Larasati nyalakan mesin dan menyetir pulang dengan autopilot, pikirannya berputar dengan pertanyaan yang tidak ada jawabannya.
---
Malam itu, setelah Abi tidur dengan excited karena Mama bilang akan ada "kejutan special" segera tapi belum boleh tahu dulu, setelah Dhara retire ke kamar dengan pelukan dan bisikan "Ibu bangga sama kamu", Larasati berbaring di kamarnya sendiri dengan lampu mati.
Dan dia menangis.
Menangis dengan hening supaya tidak ada yang dengar, dengan tangan menutup mulut untuk tahan isakan, dengan air mata yang basahi bantal.
Kenapa dia menangis? Dia tidak sepenuhnya tahu. Mungkin karena relief. Mungkin karena fear. Mungkin karena finally letting go dari Gavin dan semua yang mereka punya.
Atau mungkin karena bagian dari dirinya tahu—deep down tahu—bahwa dia tidak truly in love dengan Reza. Bahwa dia menerima lamaran ini bukan karena cinta yang mendalam dan genuine, tapi karena need untuk tidak sendirian. Karena desperate untuk prove bahwa dia bisa move on. Karena reaksi terhadap Gavin yang akan punya bayi dengan Kiran.
"Ini keputusan yang tepat," bisiknya lagi di kegelapan, mencoba convince dirinya sendiri. "Cinta bisa tumbuh. Reza baik. Aku akan belajar untuk mencintainya dengan cara yang benar. Ini akan okay."
Tapi air matanya tidak berhenti.
Dan cincin di jarinya—yang seharusnya terasa seperti promise, seperti hope—terasa lebih seperti chain. Seperti commitment yang dia buat sebelum fully ready.
Tapi sudah terlambat untuk mundur sekarang. Dia sudah bilang iya. Reza sudah bahagia. Planning sudah dimulai.
Dan Larasati tidak punya energi untuk facing another heartbreak, another disappointment, another failure.
Jadi dia akan lanjut. Dia akan nikah dengan Reza. Dia akan build hidup baru.
Dan dia akan berharap—berdoa dengan segenap hatinya—bahwa eventually, feeling akan catch up dengan keputusan.
Bahwa eventually, ini akan terasa benar.
Bahwa eventually, dia akan benar-benar bahagia.
Tapi malam ini, berbaring sendirian di kamar dengan air mata yang tidak berhenti, semua yang dia rasakan adalah doubt.
Dan ketakutan bahwa dia baru saja membuat mistake terbesar kedua dalam hidupnya.
---
**Bersambung ke Bab 37: Gavin Mengetahui Reza akan Menikahi Larasati**