Nama Ethan Cross dikenal di seluruh dunia sihir sebagai legenda hidup.
Profesor pelatihan taktis di Hogwarts, mantan juara Duel Sihir Internasional, dan penerima Medali Ksatria Merlin Kelas Satu — penyihir yang mampu mengendalikan petir hanya dengan satu gerakan tongkatnya.
Bagi para murid, ia bukan sekadar guru. Ethan adalah sosok yang menakutkan dan menginspirasi sekaligus, pria yang setiap tahun memimpin latihan perang di lapangan Hogwarts, mengajarkan arti kekuatan dan pengendalian diri.
Namun jauh sebelum menjadi legenda, Ethan hanyalah penyihir muda dari Godric’s Hollow yang ingin hidup damai di tengah dunia yang diliputi ketakutan. Hingga suatu malam, petir menjawab panggilannya — dan takdir pun mulai berputar.
“Aku tidak mencari pertempuran,” katanya menatap langit yang bergemuruh.
“Tapi jika harus bertarung… aku tidak akan kalah dari siapa pun.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zikisri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 6 — Tuan dan Nyonya Potter
“Baiklah, Ethan,” kata Profesor McGonagall sambil menatap langit sore yang mulai memerah, “kita sudah menghabiskan cukup banyak waktu memilih tongkat. Sekarang kita harus bergegas membeli perlengkapan lainnya sebelum toko-toko tutup.”
“Baik, Profesor,” jawab Ethan bersemangat.
Mereka berjalan menyusuri Diagon Alley yang mulai kembali ramai. Di Scribbulus Writing Instruments, Ethan membeli beberapa gulung perkamen, tinta, dan pena bulu. Lalu mereka mampir ke Madam Malkin’s Robes for All Occasions untuk memesan jubah sekolah. Di Flourish and Blotts, ia membeli set lengkap buku pelajaran tahun pertamanya, disusul kuali tembaga dari Potage’s Cauldron Shop.
Di toko hewan, seekor burung hantu kecil berwarna abu terang menatapnya dari balik jeruji. Ethan mendekat, dan burung itu mengeluarkan suara lembut, hampir seperti sapaan.
“Lucu sekali,” ujarnya pelan sambil tersenyum. “Dan sepertinya murah juga.”
Beberapa jam berlalu tanpa terasa. Matahari hampir tenggelam di balik atap bata Diagon Alley. Lampu-lampu toko mulai menyala satu per satu, memantulkan cahaya hangat di antara bayangan batu tua.
“Kita cukupkan sampai di sini,” kata Profesor McGonagall akhirnya. “Perlengkapanmu sudah lengkap, dan hari mulai gelap. Aku akan mengantarmu pulang. Meski Diagon Alley relatif aman, malam-malam begini tetap berisiko bagi penyihir muda.”
“Terima kasih, Profesor,” ujar Ethan sopan. Ia sempat ragu, lalu berkata, “Tapi... sebelum pulang, bagaimana kalau saya mentraktir Anda minuman dingin? Anggap saja ucapan terima kasih karena Anda sudah menghabiskan waktu seharian untuk saya.”
McGonagall menatapnya sesaat, lalu tersenyum tipis. “Baiklah. Tapi jangan terlalu lama.”
Mereka berhenti di Florean Fortescue’s Ice Cream Parlour dan memesan dua gelas minuman dingin. Suasana di dalamnya hangat dan ramai, namun tetap tenang. Ethan memutar gelasnya pelan, lalu menatap profesor itu dengan rasa ingin tahu yang tak bisa ia sembunyikan.
“Sekarang aku sudah punya tongkat sihir,” katanya, “bolehkah aku mulai berlatih mantra?”
McGonagall tertawa kecil. “Jangan terlalu terburu-buru, Ethan. Merapal mantra tanpa pengawasan bisa berbahaya. Kementerian Sihir memiliki sistem deteksi sihir di bawah umur — kami menyebutnya Jejak. Jika kau melakukannya di dunia non-sihir, Kementerian akan tahu dalam hitungan detik.”
Ethan mengangguk pelan. “Jadi… tidak apa-apa kalau di Diagon Alley?”
“Secara teori, iya. Tapi tanpa arahan, itu tetap berisiko,” jawab McGonagall sabar. “Hasrat belajarmu bagus, tapi salurkan nanti di sekolah. Di sana, kau akan belajar dengan cara yang benar.”
“Baik, Profesor.” Ethan meneguk minumannya, tersenyum sopan — meski di balik wajah tenangnya, pikirannya sudah berputar dengan rencana kecil yang tak ia ucapkan.
Beberapa menit berlalu dalam percakapan ringan. Ethan bertanya tentang Hogwarts, para profesor, dan tentu saja — kepala sekolah legendaris itu.
“Apa Dumbledore benar sekuat itu, Profesor?” tanyanya ingin tahu.
McGonagall menatapnya dari balik kacamata tipisnya. “Albus Dumbledore adalah penyihir paling kuat di dunia saat ini — setidaknya bagi kami yang mengenalnya. Tapi kau akan menilai sendiri nanti. Saat ini beliau sedang di Hogsmeade, mewawancarai calon profesor baru untuk kelas Ramalan. Meskipun secara pribadi, aku masih ragu apakah kita benar-benar membutuhkan mata pelajaran itu.”
Ethan tertawa kecil, tapi belum sempat menanggapi, suara riang seorang wanita terdengar dari arah pintu.
“Profesor McGonagall! Tak kusangka bertemu Anda di sini!”
Ethan menoleh. Seorang pria berambut hitam tersisir rapi dan berkacamata bundar berdiri di ambang pintu, bersama seorang wanita berambut merah panjang yang memantulkan cahaya sore. Wanita itu tampak hamil, tapi wajahnya berseri penuh kehangatan.
“Lily, James! Apa yang kalian lakukan di sini?” seru McGonagall sambil berdiri. Ethan pun ikut berdiri sopan.
“Kami sedang membeli beberapa barang sebelum bayi kami lahir,” jawab James Potter sambil tersenyum lebar. “Dan Anda sendiri, Profesor? Ah, saya tahu — mengantar murid baru, ya?”
James menatap Ethan dengan ramah, meski nada suaranya agak blak-blakan. “Kau pasti keturunan Muggle, bukan? Di mana orang tuamu, anak muda?”
Ethan menahan senyum kecil. “Anda benar, Tuan Potter. Saya memang keturunan Muggle. Orang tua saya... sudah tiada sejak lama.”
James terdiam, wajahnya seketika berubah kikuk. “Oh — maaf, aku tak bermaksud menyinggung.”
“Tidak apa-apa,” jawab Ethan tenang. “Saya sudah terbiasa.”
Profesor McGonagall memperkenalkan mereka dengan hangat. “Ethan Cross, murid baru Hogwarts tahun ini. Dan ini James dan Lily Potter, dua alumni terbaik yang pernah kami miliki. Duduklah bersama, kalian semua.”
James dan Lily duduk. Lily tersenyum lembut sambil membelai perutnya yang membuncit.
“Sudah dekat waktunya, kan?” tanya McGonagall lembut.
Lily mengangguk. “Kemungkinan akhir bulan ini. Kami sudah menyiapkan nama juga. Kalau anaknya laki-laki, kami akan menamainya... Harry. Harry Potter.”
Ethan menatap mereka, senyum tipis menghiasi wajahnya — tapi di dalam hatinya, waktu seakan berhenti.
Jadi... ini mereka. Keluarga Potter. Orang-orang yang kelak mengubah sejarah dunia sihir.
Dan jika mereka masih di sini... berarti masa tergelap belum dimulai.
Sore itu, Diagon Alley tampak damai. Lampu-lampu toko berkilau lembut, dan udara berbau karamel dari toko es krim mengisi jalanan. Tapi di balik ketenangan itu, Ethan tahu — kedamaian ini hanya sementara.