NovelToon NovelToon
Belenggu Cinta Kakak Ipar Tampan

Belenggu Cinta Kakak Ipar Tampan

Status: sedang berlangsung
Genre:BTS / Selingkuh / Cinta Terlarang / Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: Adrina salsabila Alkhadafi

Katanya, cinta tak pernah datang pada waktu yang tepat.
Aku percaya itu — sejak hari pertama aku menyadari bahwa aku jatuh cinta pada suami kakakku sendiri.
Raka bukan tipe pria yang mudah ditebak. Tatapannya tenang, suaranya dalam, tapi ada sesuatu di sana… sesuatu yang membuatku ingin tahu lebih banyak, meski aku tahu itu berbahaya.
Di rumah yang sama, kami berpura-pura tak saling peduli. Tapi setiap kebetulan kecil terasa seperti takdir yang mempermainkan kami.
Ketika jarak semakin dekat, dan rahasia semakin sulit disembunyikan, aku mulai bertanya-tanya — apakah cinta ini kutukan, atau justru satu-satunya hal yang membuatku hidup?
Karena terkadang, yang paling sulit bukanlah menahan diri…
Tapi menahan perasaan yang seharusnya tidak pernah ada.menahan ahhhh oh yang itu,berdenyut ketika berada didekatnya.rasanya gejolak didada tak terbendung lagi,ingin mencurah segala keinginan dihati.....

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adrina salsabila Alkhadafi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 6 — Jarak yang Tak Pernah Benar-Benar Ada

Sudah seminggu sejak pagi itu.

Sejak suara pintu yang menutup pelan dan langkah Naira menghilang dari rumah, menyisakan aku dan Raka dalam diam yang lebih bising dari apa pun.

Aku berusaha menjaga jarak.

Tidak menatap terlalu lama, tidak bicara terlalu banyak.

Bahkan aku sengaja mengatur jadwal kerja lebih padat agar bisa lebih sering di luar rumah. Tapi anehnya, semakin aku mencoba menjauh, semakin banyak hal kecil yang justru mengingatkanku padanya.

Suara sendok beradu di cangkir kopi.

Wangi parfum samar di ruang tamu.

Buku yang tertinggal di meja, dengan lipatan kecil di halaman tengah—halaman yang diam-diam masih aku ingat isinya.

Raka juga tidak banyak bicara. Tapi caranya memperhatikan tidak pernah benar-benar hilang.

Pesan singkat yang sederhana — “Jangan lupa makan.”

Atau ketika aku pulang larut malam, lampu teras sudah menyala, padahal dia tidak tahu jam berapa aku akan tiba.

Aku tahu semua itu bukan kebetulan.

Dan justru karena tahu, aku semakin takut.

Malam itu aku duduk di balkon, sendirian, menatap langit yang berawan. Angin berembus pelan, membawa dingin yang menggigit kulit.

Aku membuka ponsel, melihat layar kosong yang hanya memantulkan wajahku sendiri.

Tiba-tiba, notifikasi muncul.

Satu pesan. Dari Raka.

Raka: Udah pulang?

Aku: Iya, baru aja.

Raka: Hujan di luar. Jangan lupa tutup jendela balkon.

Aku: Iya. Kamu belum tidur?

Raka: Belum. Lagi kerja sedikit.

Aku: Jangan forsir diri, nanti kambuh lagi.

Raka: Kamu masih inget aku sempat sakit?

Aku: Iya.

Raka: Berarti kamu masih peduli.

Aku menatap layar lama.

Jari-jariku berhenti di atas keyboard.

Ingin membalas, tapi tahu tak seharusnya.

Akhirnya, aku hanya menutup ponsel dan menarik napas panjang.

Tapi dalam hati aku tahu, dia benar. Aku peduli.

Dan justru itu yang membuat semuanya lebih sulit.

Pagi berikutnya, aku bangun lebih pagi dari biasanya. Rumah terasa sepi, tapi tidak kosong.

Ada suara langkah di lantai bawah, pelan, teratur.

Aku turun, dan di meja makan sudah ada dua cangkir kopi.

Satu untuk dia. Satu untukku.

“Pagi,” katanya tanpa menoleh.

“Pagi,” jawabku pelan.

“Kamu mau roti? Aku udah panggang.”

Aku terdiam sejenak. “Kamu bangun sepagi ini?”

“Udah biasa,” katanya sambil tersenyum kecil. “Katanya kalau tidur terlalu lama, mimpi bisa balik jadi nyata.”

Aku tersenyum samar. “Mimpi kayak apa?”

“Mimpi yang nggak boleh jadi nyata.”

Kalimat itu menggantung di udara, perlahan menembus ruang di antara kami.

Aku mencoba menertawakan, tapi suara itu terlalu getir.

Kami duduk dalam diam. Hanya suara jam di dinding yang berdetak, pelan tapi menyayat.

Beberapa hari berlalu, dan Naira mulai lebih sering lembur di kantor.

Dia sedang menyiapkan proyek besar, jadi pulang selalu larut, kadang bahkan menginap di tempat kerja.

Rumah itu lagi-lagi hanya berisi kami berdua.

Dan meski tidak ada yang berubah secara kasat mata, aku tahu — sesuatu di antara kami mulai bergeser.

Malam itu aku pulang agak terlambat. Hujan turun deras sejak sore.

Begitu masuk rumah, aku melihat Raka tertidur di sofa ruang tamu.

Lampu masih menyala, buku di dadanya terbuka, dan napasnya teratur.

Aku mendekat perlahan, hanya untuk mematikan lampu. Tapi saat aku menunduk, jemariku tak sengaja menyentuh buku itu.

Raka terbangun.

Tatapan kami bertemu.

“Maaf, aku nggak sengaja bangunin,” kataku cepat.

“Nggak apa,” suaranya serak, berat. “Kamu baru pulang?”

Aku mengangguk. “Iya.”

Dia menatapku sebentar, lalu tersenyum lemah. “Kamu basah.”

“Cuma jaketnya.”

Dia bangkit pelan, lalu mengambil handuk dari kursi. “Sini, pakai ini.”

Aku sempat menolak, tapi dia menatapku seperti biasa — tenang tapi dalam, dan aku kalah.

Handuk itu terasa hangat di tangan, tapi lebih hangat lagi ketika jemarinya menyentuh pergelangan tanganku.

Seketika napasku tercekat.

“Aku cuma nggak mau kamu sakit,” katanya pelan.

“Raka…”

“Kenapa kamu selalu manggil aku kayak gitu?”

“Kayak gimana?”

“Kayak nama itu punya makna yang cuma kamu tahu.”

Aku tidak tahu harus menjawab apa.

Hujan di luar semakin deras. Suara petir menggema, membuat jantungku ikut berdegup cepat.

Raka menatapku lama, lalu berkata pelan, “Aku nggak mau ini jadi salah, Aluna. Tapi tiap kali aku liat kamu, rasanya semua alasan buat menjauh jadi nggak penting lagi.”

Aku menggeleng. “Jangan ngomong gitu.”

“Tapi itu yang aku rasain.”

“Dan aku juga rasain hal yang sama,” bisikku nyaris tanpa sadar.

Kata-kata itu keluar begitu saja — tanpa rencana, tanpa kendali.

Raka menatapku, dan aku tahu aku baru saja menyeberang batas.

Sunyi.

Hujan terus turun di luar.

Kami berdiri di antara cahaya temaram lampu ruang tamu. Tak ada yang bergerak, tapi udara di antara kami terasa hidup, bergetar oleh sesuatu yang tak terucap.

“Kenapa harus kamu?” tanyaku akhirnya, suaraku nyaris pecah.

Raka menatap ke bawah, matanya buram oleh sesuatu yang tak bisa dijelaskan.

“Kalau aku tahu jawabannya, mungkin aku bisa berhenti.”

“Dan kamu mau berhenti?”

Dia terdiam lama. “Aku nggak tahu.”

Aku menarik napas panjang. “Kita harus bisa.”

Dia mengangguk perlahan. Tapi ketika aku berbalik, suaranya menahan langkahku.

“Aluna.”

Aku menoleh.

Tatapannya penuh luka, tapi juga lembut—seperti seseorang yang sedang melepaskan sesuatu yang ia tahu tak akan kembali.

“Terima kasih… udah bikin rumah ini terasa hidup lagi.”

Aku tak bisa berkata apa-apa.

Aku hanya berdiri, menatapnya, lalu berbalik dan melangkah pergi sebelum air mataku jatuh.

Beberapa hari setelahnya, aku benar-benar mencoba menjauh.

Tidak lagi duduk bersama di meja makan.

Tidak lagi membalas pesan.

Tidak lagi menatap terlalu lama.

Tapi manusia punya batas.

Dan suatu malam, batas itu lagi-lagi diuji.

Aku sedang di kamar, mencoba menulis laporan kerja, ketika listrik tiba-tiba padam.

Suara petir mengguncang atap rumah.

Aku memegang ponsel, cahaya layar kecil jadi satu-satunya penerang.

Lalu, suara ketukan lembut di pintu.

“Luna?”

Aku mengenali suara itu.

“Listriknya mati,” katanya. “Kamu nggak apa-apa?”

Aku membuka pintu perlahan. Raka berdiri di sana, hanya diterangi cahaya ponsel di tangannya. Wajahnya tampak lembut dalam gelap.

“Aku nggak apa-apa,” kataku.

“Tunggu di sini aja, aku mau cek sekering.”

Dia menuruni tangga pelan, dan aku berdiri di ambang pintu, menatap bayangannya yang perlahan menghilang di kegelapan.

Entah kenapa, dada ini terasa sesak.

Aku ingin berteriak agar dia hati-hati, tapi kata-kata itu terhenti di tenggorokan.

Beberapa menit kemudian, lampu menyala kembali.

Aku menghela napas lega.

Tapi saat aku menoleh ke bawah, Raka sudah berdiri di ujung tangga, menatap ke arahku.

Tatapan itu—lelah, tapi juga penuh ketenangan.

Dia tersenyum tipis. “Udah nyala.”

Aku hanya mengangguk.

Tapi langkahnya pelan naik ke arahku, sampai akhirnya berhenti beberapa anak tangga di bawah.

“Aluna…”

“Hm?”

“Kalau semuanya harus berakhir, aku cuma pengen kamu tahu satu hal.”

“Apa?”

“Cinta ini… nggak pernah salah dalam rasanya. Yang salah cuma waktunya.”

Aku tak bisa menjawab.

Mataku panas, napasku bergetar.

Raka menunduk sedikit, lalu berbalik turun.

Dan di saat itu, aku tahu—tak peduli seberapa jauh aku mencoba menjauh, jarak itu tak akan pernah benar-benar ada.

Aku benar-benar mendambakannya,layaknya pasangan.memiliki raga nya,hatinya,semua yang ada padanya.oh tuhan salahkah aku mencintai suami kakakku.

1
kalea rizuky
benci perselingkuhan apapun alesannya sumpah eneg bgg
putri lindung bulan: iya kk, aku juga benci,tapi mau apalagi,nasi sudah jadi bubur
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!