NovelToon NovelToon
DEWA SAHAM

DEWA SAHAM

Status: sedang berlangsung
Genre:Anak Genius
Popularitas:3.4k
Nilai: 5
Nama Author: Junot Slengean Scd

Kisah perjuangan seorang anak ningrat yang dibuang bersama ibunya, tumbuh miskin, dihina, dan bangkit menjadi legenda dunia bisnis—menaklukkan pasar saham, membangun kerajaan korporasi, dan akhirnya mengguncang fondasi keluarga bangsawan yang dulu mengusirnya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Junot Slengean Scd, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

PESONA YANG TAK DI SENGAJA

Langit Jakarta mulai mendung ketika Retno turun dari TransJakarta di halte Bundaran HI. Angin sore membawa aroma hujan dan kopi dari kedai di seberang jalan. Di tangannya, tas kerja berwarna cokelat tua berisi map laporan keuangan dan satu set jas abu-abu yang baru saja diambil dari laundry.

Hari itu bukan hari kerja biasa. Malam nanti, Dirgantara Investama Group mengadakan Corporate Gathering di The Langham Jakarta, hotel mewah di kawasan SCBD. Seluruh direksi, investor asing, dan mitra bisnis akan hadir. Arif Dirgantara memerintahkan semua kepala divisi membawa satu staf andalan untuk membantu koordinasi data dan presentasi.

Retno, yang biasanya lebih nyaman di balik layar spreadsheet, ditunjuk langsung oleh Pak Danu untuk ikut.

“Anggap saja latihan mental,” kata Pak Danu sambil menepuk pundaknya. “Kamu punya kemampuan, Ret. Jangan terus bersembunyi di balik angka.”

Namun kini, di depan cermin ruang rias hotel, Retno mulai menyesal setengah mati. Gaun biru tua yang ia kenakan membuatnya tampak terlalu mencolok di mata sendiri. Rambutnya digelung sederhana, dan riasannya tipis, tapi tetap saja ia merasa seperti orang yang tersesat di antara kalangan elite.

“Tenang, cuma acara formal. Nggak ada yang bakal makan kamu,” gumamnya pelan sambil menarik napas panjang.

Dari balik cermin, ia melihat pantulan Arif yang sedang berbicara dengan seorang tamu asing di seberang ruangan. Pria itu tampak santai dalam setelan hitam dan dasi biru gelap, tubuh tegap dan postur penuh percaya diri. Setiap kali ia berbicara, orang-orang mendengarkan. Di sekitarnya, lampu kristal besar memantulkan cahaya yang membuat semuanya tampak berkilau.

Retno menunduk, mengambil napas, lalu berjalan ke arah meja registrasi untuk memeriksa daftar peserta. Ia tidak menyadari bahwa tatapan Arif sempat berhenti di dirinya selama beberapa detik.

Musik lembut mengalun. Para tamu bercakap-cakap dalam bahasa campuran Inggris dan Indonesia. Aroma wine dan makanan kontinental memenuhi ruangan. Arif berdiri di sisi panggung, mendengarkan presentasi tamu dari Singapura yang menjelaskan potensi kerja sama energi hijau. Di tengah keramaian itu, Arif menoleh sekilas ke arah tim riset yang berdiri di belakang, memastikan semuanya siap.

Ia melihat Retno, berdiri tenang di dekat layar besar, memegang remote presentasi dengan tangan kanan. Tatapannya fokus, ekspresinya tenang, tapi tubuhnya sedikit menegang.

Saat giliran Dirgantara Investama memberi presentasi, Arif memberi isyarat kecil. “Kamu yang mulai, Retno,” katanya pelan.

“Baik, Pak,” jawabnya gugup tapi mantap.

Ia melangkah ke depan panggung. Cahaya spotlight menyorot wajahnya.

Retno mulai bicara dalam bahasa Inggris yang fasih tapi lembut, menjelaskan laporan riset tentang potensi investasi di sektor pendidikan dan digital learning.

Para tamu asing menatapnya dengan perhatian. Arif, dari pinggir ruangan, merasa sesuatu yang jarang ia rasakan: bangga yang tulus.

Setelah tiga belas menit, presentasi selesai dengan tepuk tangan sopan.

Arif naik ke panggung, melanjutkan sesi diskusi, lalu menutup dengan kalimat yang membuat ruangan terdiam sesaat:

“Kami percaya, masa depan ekonomi Indonesia bukan hanya di angka dan aset, tapi di kepala anak-anak yang ingin belajar.”

Beberapa tamu bertepuk tangan lebih keras. Retno menatapnya kagum—kata-kata itu terasa seperti gema dari pikirannya sendiri.

Usai acara, sebagian tamu pindah ke area lounge untuk makan malam ringan.

Retno menepi di dekat balkon kaca yang menghadap jalan SCBD yang berkelip lampu. Ia menatap pemandangan itu, mencoba menenangkan napas.

Suara heels mendekat di belakang. “Kamu selalu berdiri di pinggir ruangan, ya?” suara itu tenang tapi jelas.

Retno menoleh. Arif membawa dua gelas jus jeruk. “Saya pikir kamu butuh ini. Kamu kelihatan tegang.”

Retno menerima gelas itu. “Terima kasih, Pak. Saya… ya, agak gugup.”

“Padahal tadi kamu bicara seperti profesional sejati,” kata Arif. “Semua tamu memperhatikanmu, bahkan Mr. Tan dari Singapura memuji bahasa Inggrismu.”

Retno tertawa kecil. “Saya cuma beruntung. Dulu sering bantu guru bahasa Inggris di kampung.”

“Di mana kampungmu?”

“Semarang, Pak. Tepatnya Banyumanik. Bapak saya guru pensiunan, ibu saya buka warung kecil.”

Arif mendengarkan dengan penuh perhatian. “Jadi kamu tumbuh di lingkungan yang sederhana.”

“Iya, Pak. Tapi saya tidak pernah merasa kekurangan. Orang tua saya selalu bilang, kekayaan terbesar itu bukan uang, tapi waktu yang kita pakai untuk hal baik.”

Arif menatapnya lama. Kata-kata sederhana itu menembus sesuatu di dalam dirinya—lapisan ambisi, gengsi, dan dinginnya dunia korporat yang selama ini menutup perasaannya.

Ia memalingkan pandangan ke jendela. “Ayah saya tidak akan setuju dengan kalimat itu.”

Retno tersenyum samar. “Karena Bapak Anda mungkin tidak pernah punya waktu cukup untuk menjadi orang biasa.”

Arif menatapnya heran. Tidak ada orang yang pernah berbicara seperti itu padanya—jujur, tapi tidak kasar. Retno menyesal sudah bicara sejauh itu. “Maaf, Pak. Saya tidak bermaksud—”

Arif mengangkat tangan kecil. “Tidak apa-apa. Saya justru suka kejujuranmu.”

Mereka terdiam sejenak. Dari luar, hujan turun perlahan, menetes di kaca besar.

Retno menatap butir air yang jatuh, mengingat masa kecilnya di Semarang—waktu ia sering membantu ibunya menutup warung sebelum hujan datang. Ia rindu kesederhanaan itu.

“Kadang saya berpikir,” katanya pelan, “hidup di kota besar ini seperti lomba tanpa garis akhir. Semua orang berlari, tapi tidak tahu kenapa.”

Arif tersenyum tipis. “Saya juga berpikir begitu, tapi kalau kita berhenti berlari, kita akan ditinggal.”

“Lalu, siapa yang lebih bahagia? Yang terus berlari, atau yang tahu kapan harus berhenti?”

Arif tidak menjawab. Hujan semakin deras. Di dalam ruangan, musik berubah menjadi lembut dan sendu.

Beberapa menit kemudian, seorang sekretaris memanggil Arif. Ia harus menyambut investor baru di meja utama. Sebelum pergi, Arif berkata, “Terima kasih sudah datang malam ini. Kamu membuat perusahaan ini tampak hidup.”

Retno menunduk. “Saya hanya melakukan tugas saya, Pak.”

Arif tersenyum. “Mungkin, tapi tidak semua orang melakukan tugasnya dengan hati.”

Hujan belum juga reda ketika acara selesai. Retno berdiri di lobi, menunggu taksi daring. Jalanan depan hotel masih ramai dengan mobil-mobil para tamu. Seseorang menghampirinya sambil membawa payung hitam besar.

“Sudah pesan kendaraan, Retno?” tanya Arif.

Retno sedikit kaget. “Sudah, Pak. Tapi sepertinya akan lama.”

“Biar saya antar. Mobil saya di basement. Tidak usah sungkan.”

Retno menolak halus, tapi Arif tetap memayunginya sampai ke bawah.

Di basement, mobil hitam Lexus LX menunggu dengan sopir di depan. Namun Arif justru membuka pintu belakang dan mempersilakannya masuk.

“Biar saya sendiri yang nyetir,” katanya singkat.

Malam itu, hujan mengguyur deras sepanjang perjalanan. Di dalam mobil, hanya ada suara wiper dan denting pelan dari radio yang memutar lagu Kla Project – Yogyakarta. Lagu itu membawa Retno ke masa remajanya—masa yang penuh impian dan cita-cita sederhana.

Arif meliriknya sekilas. “Kamu suka lagu ini?”

Retno tersenyum. “Suka, Pak. Lagu ini mengingatkan saya pada rumah.”

“Rumah itu penting,” kata Arif. “Saya hanya punya rumah besar, tapi tidak pernah terasa seperti rumah.”

Retno menoleh, menatapnya sebentar, lalu berkata pelan, “Mungkin rumah bukan tempat, tapi orang.”

Arif menatap jalan, tapi matanya kehilangan fokus. Kata-kata Retno seperti mengetuk pintu yang selama ini tertutup rapat di hatinya.

Ia tidak berkata apa-apa lagi sampai mobil berhenti di depan kontrakan sederhana di kawasan Pancoran.

Retno melepas sabuk pengaman. “Terima kasih sudah mengantar, Pak. Maaf merepotkan.”

“Tidak merepotkan,” jawab Arif cepat. “Jalanan licin, saya cuma khawatir.”

Retno menunduk sopan, lalu keluar dari mobil. Arif menunggu sampai ia masuk ke rumah kontrakan kecil itu. Dari balik kaca, ia melihat lampu kecil di ruang tamu menyala, menerangi sosok Retno yang sedang menggantung jas kerja dan menyiapkan air panas untuk kopi.

Senyum tipis muncul di wajah Arif. Ia tidak tahu kenapa, tapi malam itu ia merasa lebih tenang dari biasanya.

Di dalam rumah, Retno duduk di kursi kayu, menatap cangkir kopinya. Hujan masih turun, tapi dadanya terasa hangat. Ia teringat kata-kata Arif di mobil tadi: “Rumah besar yang tidak pernah terasa seperti rumah.”

Ada sesuatu di balik kalimat itu—sesuatu yang membuat hatinya bergetar.

Ia tahu, ia harus berhati-hati. Dunia tempat Arif berasal terlalu jauh dari dirinya. Tapi ia juga tahu, rasa yang tumbuh kadang tak peduli pada logika.

Retno menatap jendela yang berkabut, lalu menulis satu kalimat di buku catatannya sebelum tidur:

“Hati adalah saham paling berisiko, tapi juga yang paling berharga.”

Dan di lantai atas Dirgantara Tower keesokan paginya, Arif Dirgantara membaca laporan baru sambil menatap keluar jendela.

Hujan sudah reda, tapi ia merasa masih membawa sisa kehangatan dari semalam—kehangatan yang perlahan-lahan mulai mengubah arah hidupnya.

1
Retno indriyawati
trus nanti bakalan ktemu dimana.. apa si arif bakalan nusulin dan mncari informasi
𝕲𝖔𝖊𝖘 𝕼𝖚𝖒𝖎𝖊𝖟
☕ biat selalu semangat dalam berkarya💪💪💪
Retno indriyawati
wahh mantapp nih. . sudah aroma2 wangiiiii
Retno indriyawati
😍😍😍😍😍
𝕲𝖔𝖊𝖘 𝕼𝖚𝖒𝖎𝖊𝖟
☕ untuk tetqp semangat 💪💪💪💪💪
𝕲𝖔𝖊𝖘 𝕼𝖚𝖒𝖎𝖊𝖟
tetap semangat dalam berkarya
Retno indriyawati
wah. kapan nih bisa ktemuunya. 😍😍😍
Retno indriyawati
wah seru bgt. lanjut thor
Retno indriyawati
aku suka2
Retno indriyawati
makin sukses thor ..
Retno indriyawati
tambah seru aja nih
Rendy Budiyanto
semangat min
menarik
Rendy Budiyanto
💪💪💪
Junot Slengean Scd: terimakasih
total 1 replies
Retno indriyawati
lanjut
Junot Slengean Scd: siap👍
total 1 replies
Retno indriyawati
keren si ini
Retno indriyawati
🤣🤣🤣🤣
Junot Slengean Scd: dukung terus
total 1 replies
Kevin Leonardus
up lagi thor ga sabar💪💪
Junot Slengean Scd: wkwkwkwkkwkw💪
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!