"Briana Anderson, seorang miliarder berusia 30 tahun, bagaikan menggenggam dunia di tangannya. Dingin, penuh perhitungan, dan pemilik perusahaan multijutaan dolar, ia dikenal sebagai wanita yang selalu mendapatkan segala yang diinginkannya... hingga ia bertemu Molly Welstton.
Molly, yang baru berusia 18 tahun, adalah kebalikan sempurna dari Briana. Polos, pemalu, dan penuh dengan impian, ia berfokus pada studinya di jurusan manajemen bisnis. Namun, hidupnya berubah seratus delapan puluh derajat ketika jalan hidupnya bersilangan dengan CEO paling berkuasa dan posesif di New York.
Apa yang awalnya adalah ketertarikan sederhana, berubah menjadi sebuah obsesi yang membara. Briana bertekad untuk memiliki Molly dalam hidupnya dan akan melakukan segalanya untuk melindungi gadis itu dari ancaman apa pun — nyata atau hanya dalam bayangannya.
Akankah cinta Briana yang posesif dan menguasai cukup kuat untuk meluluhkan kepolosan Molly? Atau justru gairah cemburu si miliarder akan membuat Molly terasa terkurung? Sebuah kisah tentang kekuasaan, kontrol, dan cinta yang menantang semua aturan."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Raylla Mary, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 28
Bayangan Di Antara Kita
Hujan gerimis menghantam jendela kantor kaca, mewarnai cakrawala London dengan nuansa keabu-abuan.
Briana mengamati kota di bawah sana, pandangannya kosong.
Sejak kembali dari Swiss, rutinitas terasa seperti ladang ranjau — setiap langkah, sebuah kenangan tentang Molly; setiap panggilan, upaya baru Isabel untuk menyusup ke dalam hidupnya.
Namanya sekarang bergema di mana-mana.
Majalah, kolom bisnis, program TV.
"Para wanita perkasa yang menggerakkan kekaisaran Anderson," bunyi sebuah tajuk, dengan foto Briana dan Isabel berdampingan.
Briana mengepalkan tinjunya, mencoba menahan kejengkelan.
Isabel cerdas. Dia menggunakan media sebagai senjata dan rayuan sebagai permainan.
Dan, pagi itu, dia akan bermain lagi.
Pintu terbuka.
Suara hak sepatu bergema di lantai marmer sebelum suara yang tegas dan merdu membelah udara:
"Kota tetap sama… tetapi kamu tampak berbeda, Briana."
Briana berbalik perlahan. Isabel Rains masuk seperti orang yang sudah tahu bahwa dia adalah pusat dunia. Dia mengenakan setelan putih, rambutnya dicepol rapi, parfum mahal mendominasi ruangan.
"Kamu tidak diundang," kata Briana dingin.
Isabel tersenyum. "Aku tidak biasanya menunggu undangan. Apalagi ketika ada begitu banyak yang dipertaruhkan."
Dia berjalan ke meja, meletakkan tangannya di atas permukaan kaca, sedikit membungkuk.
"Kita perlu berbicara tentang kontrak RainsTech."
Briana menyilangkan tangannya. "Aku sudah mengirim semuanya ke bagian hukum."
"Aku tidak berbicara tentang kontrak, sayang," Isabel menatapnya dengan provokasi. "Aku berbicara tentang kamu."
Keheningan menjadi pekat.
Briana mengalihkan pandangannya, tetapi tubuhnya bereaksi tanpa sadar terhadap kehadirannya — bukan karena keinginan, tetapi karena kemarahan, ketegangan, jenis energi yang mendahului badai.
"Kamu tidak punya tempat lagi dalam hidupku, Isabel."
"Namun di sini aku," Isabel tersenyum tipis. "Dan tebak apa? Pers percaya sebaliknya."
Dia mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan layarnya: tajuk berita baru.
> "Isabel Rains terlihat memasuki gedung Briana Anderson. Sumber terdekat mengklaim bahwa hubungan antara keduanya lebih dari sekadar bisnis."
Perut Briana mual.
"Kamu menyedihkan."
"Aku seorang ahli strategi," Isabel melangkah lebih dekat. "Dan kamu seharusnya tahu bahwa cinta adalah kelemahan setiap wanita perkasa."
Briana menelan ludah.
"Jangan berani membicarakannya."
"Ah… dia," Isabel tertawa, tajam. "Mahasiswi kecil yang pemalu. Apa kamu masih berpikir dia bisa memahami duniamu?"
Tatapan Briana menggelap. "Molly adalah semua yang tidak akan pernah kamu miliki."
Untuk sesaat, Isabel tampak terhibur dengan kemarahannya.
"Kalau begitu buktikan," dia memiringkan wajahnya, suaranya turun menjadi bisikan berbisa. "Tunjukkan pada dunia bahwa kamu memilih cinta dan bukan kekuasaan. Tapi ketahuilah: ketika kamu melakukannya, semua yang telah kamu bangun bisa runtuh."
Briana menatapnya tanpa menjawab. Isabel mengambil tasnya dan keluar, hanya menyisakan suara hak sepatu dan parfum di udara — dan kekacauan yang menyertainya.
Malam itu, Molly berada di rumah, mencoba mengalihkan perhatiannya dengan suara hujan.
Media sosial mendidih.
Dia mencoba untuk tidak melihat, tetapi notifikasi datang satu demi satu, masing-masing lebih kejam dari yang sebelumnya:
> "Isabel dan Briana terlihat bersama lagi."
"Aliansi baru antara raksasa wanita?"
"Sumber mengatakan bahwa CEO Anderson sedang memikirkan kembali kehidupan cintanya."
Dada Molly sesak.
Dia menutup notebook, tetapi gambar Isabel di samping Briana terus terngiang di benaknya — cantik, percaya diri, dewasa.
Sangat berbeda darinya.
Sebagian dari Molly tahu bahwa dia harus mempercayai Briana.
Tetapi yang lain — yang terluka, yang masih berdarah karena jarak — berteriak minta jawaban.
Telepon bergetar.
Pesan dari Briana.
> Briana: "Jangan percaya apa yang mereka katakan. Besok aku ingin bertemu denganmu. Hanya kita berdua."
Molly menarik napas dalam-dalam, jantungnya berdebar kencang.
Dia ingin percaya. Dia ingin berlari padanya. Tetapi rasa takut melumpuhkannya.
> Molly: "Apakah kamu yakin ini saat yang tepat? Semuanya tampak lebih buruk sekarang."
Beberapa menit kemudian, jawaban datang:
> Briana: "Justru karena itulah aku membutuhkanmu. Besok, pukul delapan. Di tempat kita."
"Tempat kita" adalah teras sebuah hotel tua, dengan pemandangan Sungai Thames.
Pemandangan yang sama dari ciuman pertama, dari tatapan pertama yang menyembunyikan keinginan dan kerentanan.
Molly tiba lebih dulu.
Malam itu dingin, dan angin membawa aroma lembap kota. Dia duduk, tangannya gemetar, hatinya terbagi antara cinta dan harga diri.
Beberapa menit kemudian, Briana muncul.
Matanya menunjukkan malam tanpa tidur, posturnya masih perkasa, tetapi lelah.
"Kamu datang," kata Briana, dengan nada hampir lega.
"Aku bilang aku tidak akan melarikan diri selamanya," jawab Molly tanpa menatapnya.
Briana melangkah maju. "Isabel mencoba memisahkan kita. Dia ingin menghancurkanku — dan dia tahu dia hanya bisa melakukannya dengan menjauhkanmu dariku."
"Dan kamu akan membiarkannya?" tanya Molly lirih.
Briana mendekat. "Aku bisa mengatasi apa saja… kecuali gagasan untuk kehilanganmu lagi."
Keheningan terasa berat.
Molly mengangkat pandangannya, dan mata mereka bertemu — ada cinta, tetapi juga ketakutan, luka yang masih terbuka.
"Kalau begitu berjuanglah untukku, Briana," bisiknya. "Tapi jangan hanya dengan kata-kata."
Briana mengulurkan tangannya, tetapi sebelum dia bisa menyentuh, sebuah suara знакомая membelah udara:
"Pemandangan yang indah. Hampir layak untuk sebuah film."
Keduanya berbalik.
Isabel ada di sana, berdiri di pintu masuk teras, senyum mengejek di bibirnya, ponsel di tangannya, seolah menikmati kekacauan.
Udara tampak membeku.
Perang diam-diam telah dimulai — dan sekarang, tidak ada yang akan sama.