Celine si anak yang tampak selalu ceria dan selalu tersenyum pada orang-orang di sekelilingnya, siapa sangka akan menyimpan banyak luka?
apakah dia akan dicintai selayaknya dia mencintai orang lain? atau dia hanya terus sendirian di sana?
selalu di salahkan atas kematian ibunya oleh ayahnya sendiri, membuat hatinya perlahan berubah dan tak bisa menatap orang sekitarnya dengan sama lagi.
ikuti cerita nya yuk, supaya tahu kelanjutan ceritanya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon *𝕱𝖚𝖒𝖎𝖐𝖔 𝕾𝖔𝖗𝖆*, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nanti aku dengan siapa?
Tak lama setelah selesai makan, mereka akhirnya kembali menuju rumah. Claudia yang sudah lebih dulu diantar kan oleh Felix ke rumahnya. Dan sekarang, mereka menuju kembali ke kediaman keluarga Vara.
Mobil terus berjalan perlahan menyusuri jalanan kota yang ramai dengan kebisingan kendaraan. Abu dimana-mana, panas yang menyengat, suara klakson di lampu merah sudah cukup membuat suasana tidak nyaman.
Celine memperhatikan Felix yang sedang menyetir, agak sedikit bingung dengan kakaknya itu, karena seharusnya Felix sudah pergi ke luar kota dan kembali untuk melanjutkan kuliahnya.
"Kakak..." panggil Celine dengan pelan
Felix melihat nya melalui kaca spion tengah mobil. "Ada apa, Celine?" dia pun kembali fokus ke jalanan.
"Bukankah kakak seharusnya hari ini kembali ke kampus kakak, ya?. Mengapa kakak masih di sini dan... Bahkan kakak mau repot-repot datang ke sekolah ku untuk melihat ku." jelasnya sambil menatap keluar lewat jendela.
Felix yang mendengar itu terkekeh pelan dan kembali melihat Celine lewat kaca spion. "Iya, Celine. Itu karena, kakak tahu kamu sendirian di sana jadinya kakak datang menemani mu bersama dengan bibi." jelasnya dan tersenyum pada Celine.
Celine pun menatap Felix dengan tatapan sedikit skeptis. Sementara Felix yang melihat tatapan nya itu kembali tertawa kecil.
"Tidak, tidak. Ya... Kan kamu sendiri yang tadi pagi mengatakan bahwa ada acara di sekolah, jadi kakak pikir papa tak akan datang ke sana untuk melihat mu jadinya kakak yang menggantikan nya."
"Seperti nya kakak bohong" dia menatap Felix dengan sinis.
Ketawa Felix pun pecah dan suaranya memenuhi mobil. Bibi Erina hanya bisa tersenyum melihat keduanya yang sangat akur tanpa perselisihan.
"Kamu kenapa bisa tahu kakak berbohong padamu?" dia bertanya dengan sangat penasaran dan menatap Celine yang duduk di kursi belakang dengan spion.
Celine tampak enggan menjawab, dia menatap keluar jendela sebelum akhirnya dia menghela nafas dan bicara "Karena... Dulu pun kakak tak pernah ada, kan. Bahkan saat papa tak ada disana. Hanya ada... Paman" gumamnya dengan nada suara yang terdengar sedikit sedih.
Mendengar itu Felix hanya bisa terdiam begitu juga dengan bibi Erina. Senyumannya langsung memudar dan dia fokus kembali menyetir. "Yah... Memang benar apa yang kamu katakan, Celine. Memang bukan inisiatif dari kakak sendiri untuk datang tapi... Paman yang menelepon ku tadi pagi, katanya dia kali ini tidak bisa hadir untuk mewakili karena ada pekerjaan di luar kota, Celine." Felix pun terdengar sedikit sedih saat menjelaskannya.
Bagaimana bisa dia tidak sedih? Apa yang dikatakan Celine memang lah benar adanya. Dia tak benar-benar pernah ada disaat adiknya sendirian.
"Begitu ya kak? Baiklah kalau begitu, aku akan menelpon paman saat kembali ke rumah untuk mengatakan kalau kakak jadi datang" dia tampak tersenyum kecil. Dan melihat senyuman adiknya dia pun kembali membalas senyumnya.
Setelah percakapan itu suasana di dalam mobil pun kembali senyap, hanya suara kendaraan dari luar yang terdengar bising.
Bibi Erina memperhatikan keduanya, Celine yang sibuk memperhatikan keluar sementara Felix fokus menyetir.
"Kalian... Jangan pernah bertengkar ya, nak. karena hanya kalian berdua lah yang saling melengkapi satu sama lain" bibi Erina mendekat pada Celine, menariknya pelan ke sisi nya dan mencium puncak kepalanya.
Celine agak terkejut dengan sikap bibi Erina yang tiba-tiba dan menatapnya "Mengapa bibi tiba-tiba mengatakan hal seperti itu?" tanyanya dengan suara pelan.
Bibi Erina menggelengkan kepalanya "Tidak nak, hanya saja... Lama bibi bekerja dirumah kalian dan hanya kalian berdua yang saling menyayangi satu sama lain. Bibi hanya tidak ingin kalian bertengkar dan jadi musuh." bibi Erina menjelaskan sambil mengelus kepala Celine dengan perlahan.
Felix pun menatapnya lewat kaca spion dengan tatapan yang tidak bisa diartikan. Felix hanya mengangguk pelan, mengerti dengan apa yang dikatakan oleh bibinya itu.
Meskipun Erina tak memiliki hubungan keluarga dengan mereka, tapi tak bisa dikatakan bibi Erina bukan keluarganya. Karena Erina lah yang membantu merawat mereka sejak mereka kecil dulu sampai sekarang, sampai ibu mereka sudah tak ada lagi.
"Tapi kan bi... Celine hanya ingin bilang kalau..." dia tampak ragu-ragu untuk mengatakan nya
Felix dan bibi Erina yang memandang nya dengan tatapan penasaran, menunggu Celine menyelesaikan kalimatnya.
Celine kecil pun menghela nafas seperti orang dewasa, tak seperti dia yang biasanya yang selalu tersenyum. "Aku hanya... Iri sekali melihat kakak yang punya asisten pribadi, sementara aku hanya sendirian. Tidak- hanya ada bibi yang bersama ku" dia memanyunkan bibirnya terlihat seperti ikan sambil menunjuk Felix.
Bibi Erina dan Felix pun tertawa mendengarnya, mereka sudah cukup tegang untuk mendengar kalimat selanjutnya tapi dia hanya akan mengatakan itu saja.
"Memang benar, kakak punya asisten pribadi yang papa pekerjakan untukku. Tapi Celine, kamu seharusnya tahu bahwa sendirian itu lebih menyenangkan. Maksud kakak, siapa yang mau melakukan apapun dengan orang yang tidak dia kenal dengan baik?"
Satu pertanyaan itu saja sudah bisa membuat Celine membayangkan dirinya sendiri. Saat dia ingin menulis dan menggambar ada orang lain di sisinya yang menatapnya, itu mengerikan.
"Ah, tidak tidak, kalau begitu aku tidak mau punya asisten pribadi. kalau begitu aku bersama bibi Erina saja" ucapnya dan langsung memeluk bibi Erina.
Bibi Erina tersenyum melihat tingkah nya itu, melihat senyuman keduanya sudah cukup membuat hati Erina tenang dan tak perlu memikirkan apapun lagi.
"Tapi... Aku juga ingin kakak ada selalu di rumah untuk menemani ku" bibir ikannya kembali dia tunjukkan.
Felix menghela nafas mendengar itu "Celine... Percayalah, kakak ingin ada selalu menemani Celine. Tapi, kakak untuk saat ini memang harus pergi untuk melanjutkan study kakak. Tapi kakak janji akan kembali lebih cepat dan menyelesaikan semuanya dan kakak akhirnya bisa menemani Celine lagi, oke!" serunya untuk menghibur adiknya itu.
Celine hanya tampak mengangguk pelan, masih dengan wajah yang sedih.
"Nanti kita akan sering telponan, dan kamu bisa menceritakan semua hari-hari mu padaku, bagaimana?"
"Tapi kan... Celine tidak punya telepon, kak. Papa tidak mau memberikan Celine ponsel." suaranya semakin terdengar sedih dari sebelumnya.
"Nanti bisa pakai telepon bibi" Erina langsung angkat bicara memberikan jalan keluarnya.
Celine pun kembali tersenyum saat menatap Erina. Wajahnya kembali ceria sama seperti Celine yang biasa dilihat olehnya.
"Nanti kamu bisa telepon kak Felix dengan ponsel bibi, tidak apa Celine akan bibi pinjamkan kalau kamu ingin menghubungi kakak"
Celine pun mengangguk dengan cepat sementara Felix yang melihat nya terkekeh pelan. "Iya! Celine akan pinjam ponsel bibi untuk menelpon kakak nantinya disana!" ucapnya dengan bersemangat.
Felix dan bibi Erina pun terkekeh melihat betapa bersemangat nya gadis kecil mereka itu.
Tak lama dari situ mereka pun sampai di halaman rumah Vara. Dengan perlahan menghentikan mobilnya di parkiran mobil dan mereka bersama-sama masuk ke dalam.
Tapi, tak lama dari situ juga, mobil ayah mereka datang. Mobil nya perlahan masuk ke parkiran, dan setelah nya ayah mereka turun dari mobil.
Tapi tunggu, tidak sendirian dia seperti biasanya pulang dari bekerja. Dia hari ini bersama dengan istri dan anaknya yang satunya.
Celine yang tangannya di genggam oleh bibi Erina terasa mengencang. Raut wajahnya memang tak menunjukkan apapun, tapi jauh di lubuk hatinya dia merasa sakit.