Anara adalah siswi SMA berusia 18 tahun yang memiliki kehidupan biasa seperti pada umumnya. Dia cantik dan memiliki senyum yang manis. Hobinya adalah tersenyum karena ia suka sekali tersenyum. Hingga suatu hari, ia bertemu dengan Fino, laki-laki dingin yang digosipkan sebagai pembawa sial. Dia adalah atlet panah hebat, tetapi suatu hari dia kehilangan kepercayaan dirinya dan mimpinya karena sebuah kejadian. Kehadiran Anara perlahan mengubah hidup Fino, membuatnya menemukan kembali arti keberanian, mimpi, dan cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aulia risti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
Pagi itu, untuk pertama kalinya selama seminggu, Anara kembali datang terlambat. Bedanya, kali ini ia tidak sendiri—ia datang bersama Fino.
“Ayo,” ucap Fino pelan sambil mengulurkan kedua tangannya. Ia sudah lebih dulu memanjat tembok, kini bersiap menangkap Anara dari seberang.
Anara tersenyum lebar, sedikit ragu tapi percaya. Dengan satu tarikan napas, ia melompat—dan jatuh tepat dalam pelukan Fino.
Sesaat keduanya saling berpandangan, lalu tanpa sadar senyum merekah di wajah masing-masing.
Mereka segera berlari menuju kelas, tawa kecil dan senyum manis tak pernah lepas dari wajah mereka. Ada sesuatu yang berbeda pagi itu: jarak yang biasanya terasa begitu jauh, kini perlahan memudar.
Namun senyum itu pudar saat mereka melihat Pak Guru berdiri dengan tangan bersedekap di depan kelas, tatapannya menusuk keduanya yang baru saja berhenti berlari.
“Kalian lagi...” suaranya berat, jelas penuh kesal bercampur lelah.
Anara menelan ludah, mencoba tersenyum kaku. “Pagi, Pak...”
Fino hanya menunduk, wajahnya tetap datar, tapi jelas-jelas ada senyum tipis yang berusaha ia tahan.
“Pagi apa! Sudah sering terlambat, sekarang malah berdua?!” Pak Guru menggeleng sambil menghela napas panjang.
“Maaf, Pak. Kami... tadi terjebak di jalan,” Anara mencoba alasan.
Pak Guru langsung menyipitkan mata. “Lewat jalan mana? Lewat tembok belakang, ya?”
Anara tercekat, sementara Fino masih tak berkata apa-apa.
“Kalau kalian mau pacaran, silakan. Tapi jangan dicampur dengan aturan sekolah!” seru Pak Guru.
“Pacar—?!” Anara terbelalak, wajahnya merah padam. “Bukan, Pak! Kami cuma—”
“Diam. Tidak ada alasan lagi. Setelah pelajaran selesai, kalian berdua bersihkan gudang olahraga. Jangan ada yang kabur.”
Anara menghela napas, pasrah. “Iya, Pak...”
**
Jam istirahat, Anara dan Fino sudah berada di gudang olahraga. Bau debu dan kertas lama memenuhi ruangan sempit itu. Anara bersin kecil sambil menepuk-nepuk rok seragamnya.
“Uh, gila... tempatnya berdebu banget,” keluh Anara.
“Makanya kerjain cepat biar selesai,” jawab Fino datar sambil mulai mengangkat tumpukan kardus.
Anara manyun. “Iya, bos...”
Mereka sibuk membersihkan, sampai tiba-tiba pintu gudang berderit terbuka. Beberapa anak laki-laki masuk dengan tawa keras, masing-masing memegang rokok di tangan.
“Eh, lihat tuh... Fino lagi bersih-bersih. Mantan atlet sekarang jadi tukang sapu,” salah satu dari mereka bersuara lantang sambil mengepulkan asap..
“Hei, kalian nggak boleh merokok di sini! Ini gudang, banyak kertas kering. Bahaya!”
Namun mereka hanya tertawa.
Fino meletakkan sapunya, berdiri tegap. Suaranya tetap tenang.
“Kalian dengar, kan? Matikan rokoknya. Kalau sampai api nyambar, satu sekolah bisa kena.”
Salah satu anak mendekat, menatap Fino dengan senyum sinis. “Sok jadi pahlawan, ya? Udah jatuh, masih sok bijak.”
Teman-temannya terkekeh. Anara melangkah maju, mencoba menahan. “Sudahlah, ayo keluar aja. Kita lapor ke guru—”
“Lapor? Wah, jangan-jangan kalian berdua emang cocok, ya. Satu cerewet, satu sok jagoan.” Anak itu mendengus, lalu sengaja menghembuskan asap ke arah wajah Fino.
Anara terbatuk-batuk, tapi Fino tetap diam. Tangannya mengepal, tapi ia tak bergerak. “Aku bilang baik-baik. Matikan rokoknya.”
“Kalau nggak mau?” tantang anak itu.
Fino menarik napas panjang. “Gue nggak mau ribut. Tapi kalau kalian tetap begini, Gue nggak punya pilihan selain—”
Belum sempat ia melanjutkan, salah satu dari mereka mendorong bahunya kasar. “Lawan kalau berani!”
Anara teriak panik. “Stop! Jangan ribut di sini—!”
Dorongan itu memicu keributan. Salah satu anak lain ikut menendang kardus, membuat tumpukan kertas berjatuhan. Fino masih mencoba bertahan, hanya menangkis tanpa benar-benar membalas.
Namun naas, salah satu putung rokok yang menyala terlepas dari tangan seorang anak, jatuh tepat ke tumpukan kertas kering.
Dalam hitungan detik, api kecil mulai menjalar.
“Api! Apinya nyala!” teriak Anara kaget, menunjuk ke arah sudut gudang.
Sementara anak-anak nakal itu baru sadar situasi benar-benar berbahaya. “Sial, kita kabur aja!” seru salah satu, lalu mereka berhamburan keluar.
Gudang semakin penuh dengan asap. Namun Fino hanya diam ditempat nya. Dada nya sesak, luka dari masalalu nya seolah kembali. deretan kejadian itu kembali dalam bayangan nya.
Sementara Anara mencoba menginjak-injak api kecil dengan kakinya, tapi percuma—kertas yang menumpuk membuat api menyebar lebih cepat.
"Fino," lirih Anara yang langsung berlari kearah Fino dan memeluk nya.
Anara pasrah tidak ada lagi jalan keluar pintu itu sudah terhalang oleh api.
Tiba-tiba—
BRUUUSHH! Suara keras menyela. Dari balik asap, semprotan gas damkar menyapu api di dekat pintu. Api padam seketika.
“Anara! Fino!” Suara lantang itu milik Bagas. Ia masuk dengan wajah penuh keringat, kedua tangannya menggenggam tabung pemadam. Tanpa ragu, ia menyemprot ke seluruh penjuru gudang.
“Asapnya tebal banget... kalian nggak apa-apa?” teriak Bagas sambil terus menyemprot.
Anara terbatuk, masih memeluk Fino. “B-Bagas... pintunya terhalang api tadi...”
“Tenang, biar aku yang urus!”
Bagas melangkah cepat, menyemprot sisa api hingga padam total. Dalam beberapa menit, kobaran api mereda, menyisakan asap tipis dan bau kertas terbakar.