Sinopsis:
Tertidur itu enak dan nyaman hingga dapat menjadi kebiasaan yang menyenangkan bagi banyak orang, namun jika tertidur berhari-hari dan hanya sekali dalam sebulan terbangun apakah ini yang disebut menyenangkan atau mungkin penderitaan..
Sungguh diluar nalar dan hampir mustahil ada, tapi memang dialami sendiri oleh Tiara semenjak kecelakaan yang menewaskan Ibu dan Saudaranya itu terjadi. Tidak tanggung-tanggung sang ayah membawanya berobat ke segala penjuru Negeri demi kesembuhannya, namun tidak kunjung membuahkan hasil yang bagus. Lantas bagaimanakah ia dalam menjalani kehidupan sehari-harinya yang kini bahkan sudah menginjak usia 16 tahun.
Hingga pertemuannya dengan kedua teman misterius yang perlahan tanpa sadar membuatnya perlahan pulih. Selain itu, tidak disangka-sangkanya justru kedua teman misterius itu juga menyimpan teka-teki perihal kecelakaan yang menewaskan ibu dan saudaranya 3 tahun yang lalu.
Kira-kira rahasia apa yang tersimpan..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Caca4851c, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 6
"Ra, tenang Nak..", seru sebuah suara samar yang terdengar sangat familiar. Namun pandanganku masih dipenuhi kegelapan yang tidak berujung.
"Tenang...Aku selalu bersamamu", serunya lagi.
Aku menengok ke sana ke mari untuk memastikan si-empunya suara, namun hasilnya nihil. Tidak seorang pun Kudapati di kegelapan ini. Kegelapan yang tiada penghujung ini semakin membuat dadaku terasa sesak, rasa takut dan kalut bercampur aduk menjadi satu.
"Hiks..hik,huhuuuuhuu", histerisku sembari tertunduk.
"Hey, jangan nangis..tenang", seru suara itu lagi.
"Siapa kamu?, tunjukkanlah wujudmu jika tidak ingin jadi pecundang", tantangku setelah mengumpulkan segenap keberanian.
"Saat ini belum waktunya Kamu tahu tentangku, tapi yang jelas Aku akan selalu ada untukmu", balasnya.
Tiba-tiba saja terbesit dalam benakku sebuah prasangka horror sebagaimana yang sering Kubaca di novel-novel milikku yang berada di Rumah.
"Tidak seperti itu ya, Aku bukan hantu tau", ujarnya seolah tau apa yang ada di pikiranku dengan tidak terima.
"Lho..kok tahu?", tanyaku dengan jujur.
"Ada deh, ini juga belum saatnya kamu tahu", ujarnya lagi yang terlihat semakin mengesalkan bagiku.
"Lalu saatnya itu kapan?", tanyaku dengan sedikit tidak sabaran.
"Emm.., mungkin di usiamu yang menginjak 17 tahun nanti", jelasnya dengan sedikit ragu.
"Okey, akan kutunggu saat itu", seruku yang perlahan mulai nyaman dengan kehadirannya. Tiba-tiba saja rasa kantuk seketika menyerangku, hingga ku rasakan kelopakku begitu berat.
"Tidur saja, Aku akan selalu menjagamu di sini", ujarnya sebelum akhirnya Aku terlelap.
...*** ...
(Hari ke-4 setelah bangun)
Tiba-tiba saja secercah sinar kekuningan menyilaukan mataku, hingga Ku kerjab-kerjabkan kelopak mataku berkali-kali. Ku sesuaikan pandanganku dan Kudapati diriku yang tengah terbaring di tempat tidur.
Ternyata tadi hanyalah sebuah bunga tidur. Aku pun segera beranjak dari kasur menuju jendela kamarku yang tertutup, padahal kemarin Aku tertidur di sana tanpa menutupnya.
Mungkin Papa atau Bu Rat yang menutupnya. Tanpa ambil risau, Kubuka jendela di hadapanku ini dan membiarkan lebih banyak sinar mentari pagi menerpa wajahku.
Setelah sekian detik Kuhirup udara sepagi ini, Aku memutuskan untuk beranjak mandi sebelum nantinya makan bersama di meja makan yang ada di lantai 2. Usai mandi, Aku menuruni anak tangga lengkap dengan gaun panjang bewarna orange.
Ku telusuri lorong penghubung antar ruang, hingga kini sampailah di depan ruang makan yang terhubung dengan dapur.
Di sana kudapati Papa yang tengah membaca koran sembari sesekali menyeruput secangkir kopi hitamnya. Sedangkan Bu Ratna tampak menata beberapa makanan yang akan dihidangkan di meja makan, tempat dimana Papa berada.
Aku berjalan menghampiri mereka yang sepertinya belum menyadari tentang keberadaanku. Aku memilih duduk di salah satu kursi berdekatan dengan Papa.
"Lho, wes tangi Nduk?", (lho, udah bangun Nak) sapa Bu Ratna dengan kedua tangan membawa kedua piring yang berisi lauk pauk yang kemudian di letakkannya di meja ini.
"Iya Bu Rat", jawabku.
"Wah, cantiknya Anak Papa...udah mandi nih", goda Papa padaku.
"Udah dong..", seruku dengan penuh semangat.
"Yaudah, kalau gitu sehabis makan ikut Papa menemui Dokter pribadimu", ajak Papa secara tiba-tiba.
"Baik Pa", jawabku sembari mengambil beberapa lauk pauk yang ada di depanku untuk Kutaruh ke atas piringku.
Itulah pembicaraan yang terakhir kalinya dilakukan, sebelum suasana pagi itu kembali hening dengan hanya suara dentingan sendok dan garpu saja yang terdengar.
Seperti keinginan Papa tadi pagi, kini Aku bersamanya tengah memasuki sebuah bangunan yang dominan dengan nuansa putih di dalamnya.
Suasana di dalam sini begitu riuh dengan banyak orang yang berlalu lalang. Tak jarang pula semerbak aroma obat-obatan menyeruak memasuki rongga penciumanku.
Setelah melewati sebuah lorong yang amat panjang, kini Papa menarik tanganku memasuki sebuah ruangan yang terlihat agak berbeda dari ruangan lainnya.
Dari balik pintu itu terdapat seorang Laki-laki paruh baya yang memakai jas putihnya menatapku dan Papa dengan senyum khasnya. Yups, Dia adalah Dokter pribadiku selama ini sekaligus teman dekat Papa.
"Aldi, Ara...lama tak jumpa", sambutnya dengan penuh semangat dan ramah.
"Kau masih sama rupanya bro", balas Papa dengan tak kalah semangatnya.
"Ya iyalah..masih sama gantengnya, Hahahaha", candanya.
"Ckckck, kau nih. Udahlah...ngomong-ngomong gimana kabarnya keluargamu?", tanya Papa.
"Emm, tidak masih sama..hanya saja Istriku semakin lebih suka marah-marah padaku saja, sedangkan Anak pertamaku sebentar lagi akan segera menyelesaikan kuliahnya itu", jawabnya yang malahan justru terkesan curhat.
Akhirnya ke dua sahabat itu tenggelam ke pembicaraannya masing-masing dalam melepas kerinduannya. Sementara diriku, tidak usah ditanyakan keadaanku seperti apa saat ini.
Karena hampir setengah jam keduanya mengobrol, sementara diriku yang seharusnya konsultasi mengenai kesehatanku malah diabaikan begitu saja. Kucoba berbagai cara untuk mengalihkan perhatian keduanya.
"Uhukk...ukhuuk"
Sontak keduanya pun langsung menoleh ke arahku dengan sorot khawatir. Papa langsung menepuk pelan bahuku, sedangkan Om Ryan menyodorkan segelas air putih.
"Kamu sudah baikan Nak?", tanya Papa khawatir.
"Iya Pah..", lirihku tertegun. Padahal niat hati hanya ingin mengalihkan perhatian mereka agar melihat kondisiku yang duduk diam bagaikan seonggokan Anak kucing. Eh, malah ekspresi mereka begitu protektif.
"Yaudah, kalau gitu langsung Kita lakukan pemeriksaan saja", seru Dokter Ryan.
Papa dan Aku pun sontak mengangguk berbarengan. Dengan Papa yang masih duduk di kursi yanga ada di depan meja Dokter Ryan. Sementara diriku berbaring di sebuah ranjang khusus yang di atasnya terdapat semacam alat yang berbentuk lorong.
"Udah siap Tiara?", tanya Dokter Ryan serius.
"Udah Dok", sahutku.
"Oke, kalau gitu tutup kedua matamu", suruhnya yang langsung Kulaksanakan.
Begitu Aku menutup kedua mataku, lantas Ku rasakan ranjang yang kutempati bergeser sedikit, dan tak lama setelah itu Kurasakan sebuah sensasi hangat yang menyelimuti seluruh kepalaku.
Satu setengah jam telah berlalu, kini Aku bersama Papa terduduk di deretan Kursi untuk menunggu hasil pemeriksaan tadi.
Tak berselang lama Suara Dokter Ryan terdengar menyuruh Papa masuk ke dalam ruangannya.
"Sebentar ya Nak", seru Papa sebelum akhirnya menghilang di balik pintu di depan sana.
...*** ...
Entah mengapa, semenjak ke luar dari ruangan Dokter Ryan tadi Papa terlihat begitu lesu dan kusut. Aku sempat bertanya, namun Papa hanya bilang tidak ada apa-apa dengan hasil pemeriksaanku dan Papa terlihat kusut hanya karena sedikit sakit kepala saja secara tiba-tiba.
Meskipun ada yang janggal dari penjelasan Papa barusan, Aku memutuskan untuk diam saja sepanjang perjalanan pulang. Hingga kini sampailah di halaman depan Rumah.
Sebelum Aku turun dari mobil, Papa mengecup keningku sejenak sebelum memandangku dengan ekspresi sedih.
"Pa, sebenarnya kenapa sih? Atau jangan-jangan kon- ", seruku yang terputus.
"Sst...,jangan terlalu banyak berpikiran Sayang. Yang jelas, Papa janji sama Kamu akan mengusahakan apapun untuk kesembuhanmu", seru Papa menenangkan kekhawatiranku.