Anna bukan janda, aku tahu semuanya
tapi aku tak bisa mengatakan itu padanya
aku takut dia justru akan pergi dari ku setelah tahu semuanya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shikacikiri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
06
Roman Sanjaya dan Santi Widianti, kedua orang tua Abel datang setelah matahari muncul. Mereka melihat Anna tengah menelpon di ruang tunggu.
"Mana Abel? " tanya Santi.
Anna terkejut, menutup telponnya kemudian sedikit menunduk.
Roman menarik lengan Santi, berisyarat untuknya menenangkan diri dan melihat kondisi Anna yang sangat kotor.
"Dia.... " Anna tergagap, takut sebelum menjelaskan.
"Om... tante....! " seru Stevan yang tahu mereka sudah datang.
"Van... mana Abel? " Santi masih cemas.
"Loh, Na... kamu ga tidur semalaman? " Stevan malah mencemaskan Anna.
Anna hanya bisa diam membulatkan matanya di depan mereka.
Roman memperhatikan wajah Anna yang lelah. Santi mengabaikan mereka dan tetap mencemaskan putranya.
"Mana Abel? " ucap Santi sekali lagi dengan sedikit memaksa.
"Abel sudah baik sejak semalam, dia terlalu banyak minum dan... " Stevan menatap kedua orang tua Abel.
"Dan apa? " tanya Santi benar-benar tak sabar.
"Dia harus istirahat karena alergi bulu binatangnya kambuh, sepertinya dia memeluk kucing saat dia tidak sadar karena mabuk" jawab Stevan.
"KUCING! " Roman dan Santi terkejut dan saling menatap.
Mereka masuk ke ruang rawat untuk melihat Abel yang sebenarnya malah tertidur sangat lelap.
"Ini terjadi semenjak Anna pindah, selalu saja ada masalah dengan Abel" keluh Santi.
"Jangan selalu menyalahkan gadis itu, Abel yang ceroboh karena mabuk dan tak bisa mengendalikan diri" ucap Roman.
"Seharusnya dia tetap tinggal dengan Abel dan mengawasinya, jadi Abel tidak seperti ini" Santi tetap menyalahkannya.
"Kau pikir dia pengasuhnya? Gadis itu juga punya privasi, dia bekerja bersama Abel 24 jam dalam hampir 10 tahun, menerima semuanya tanpa mengeluh dan sekarang kau menyalahkannya karena kesalahan putra mu yang mabuk? Jangan melakukan kesalahan yang sama lagi Santi! " ucap Roman.
Santi menatap Roman, mengingatkan apa yang terjadi sebelumnya. Santi mendelik.
"Aku tidak apa-apa" ucap Abel yang terbangun karena pertengkaran mereka.
Santi terkejut, langsung menghampiri.
"Sayang... kau bangun? " tanya Santi cemas seraya membelai dahi putra sulungnya itu.
"Kalian berisik" ucap Abel.
"Kapan bengkak di wajah mu ini hilang? " tanya Santi.
"Apa sangat bengkak? Aku minta cermin tapi Anna tak memberikannya tadi" ucap Abel seraya berusaha untuk duduk.
Roman hanya memperhatikan mereka.
"Mana Anna? " tanya Abel.
"Aku minta dia pulang dan istirahat" jawab Roman.
Santi mendelik.
"Dia tidak tidur semalaman, piyama nya pun sangat kotor" Roman memperagakan ucapannya.
Abel tak ingat dengan apa yang terjadi, dia hanya merasa senang saat dia terbangun, Anna di sampingnya dan memegangi tangannya.
"Kenapa tersenyum? kau suka dia tak tidur dan berpakaian kotor? Kau suka mengerjai dia seumur hidup mu? " Roman terbawa emosi seolah sangat kesal dengan Abel.
Abel menghela dan mengalihkan tatapannya. Dia sudah paham dengan apa yang dimaksudkan ayahnya itu.
"Kau ini bicara apa? Itu kan sudah kewajibannya, dia asisten pribadi Abel, digaji lebih banyak dari sebelumnya untuk menjaga agar Abel baik-baik saja" Santi membelanya.
Roman tak bisa berkata-kata apapun lagi. Dia hanya menunjuk Abel seraya keluar dari ruangan itu.
Abel paham, tapi dia juga hanya bisa diam.
"Jangan dengarkan dia, entah kenapa papa mu selalu membelanya" ucap Santi kemudian membelainya lagi.
Abel memikirkan apa yang papa nya maksud.
**
Anna sudah mandi, hendak berbaring saja sebentar untuk meredakan lelahnya. Masih memakai kimono handuknya, sepertinya akan nyaman tidur sebentar saja pikirnya.
Namun, baru saja dia hendak berbaring, ponselnya berdering lagi.
"Hallo Pak! " jawab Anna, Zidan menelpon.
"Kau tidak di rumah sakit? " tanya Zidan.
"Tidak, Pak Abel pesan supaya anda menghadiri rapat hari ini dengan ku pukul 11, jangan meributkan keadaannya, dia baik-baik saja, katanya" jawabnya pelan.
"Ahhh, ok" Zidan menutup telponnya.
Anna akhirnya terlelap.
**
Abel terus menatap ponselnya. Seharian Anna tak datang menemuinya. Dia terlihat sangat ingin menelpon dan memintanya datang secepatnya. Tapi dia sadar, dia sendiri yang bilang untuknya menemani Zidan meeting, juga mengerti bahwa dia butuh istirahat setelah semalam tak tidur.
Namun tetap saja dia merasa risau.
"Bagaimana? " Stevan datang.
"Sudah tidak sakit" jawab Abel.
"Coba ku lihat! " Stevan menyentuh dagunya.
Sejenak memeriksa wajahnya.
"Dia panik" ucap Stevan.
Abel mengangkat alisnya.
"Sama seperti saat kau disengat lebah waktu itu" lanjutnya.
Abel tersenyum, senang mendengar dia masih begitu cemas saat dirinya sakit.
"Dia bahkan tak peduli piyamanya kotor dan basah" Stevan melepaskan tangannya dari wajah Abel.
"Aku akan berikan bonus untuknya" ucap Abel.
Stevan menatapnya.
"Kau yakin itu yang dia inginkan? " tanya Stevan.
Abel menatapnya, tak paham dengan ucapannya.
"Kau benar-benar tidak tahu kenapa dia begitu, atau pura-pura tidak tahu? " Stevan duduk di kursi sambil melipat tangan.
"Apa maksud mu? " Abel mengalihkan pandangannya.
"Ayolah, mungkin dia sudah menaruh hatinya untuk mu, bukankah itu yang kau inginkan selama ini? " jawab Stevan.
Abel menatapnya sejenak terdiam, namun kembali meremas tangannya.
"Tidak, beberapa hari lalu dia bahkan sangat tersipu dengan pujian dari pemilik hotel di Maldives" jawabnya dengan raut wajah yang kesal.
Stevan menatapnya kesal, merasa Abel bersikap kekanakan.
"Jika kau tidak mengambil keputusan untuk memilikinya, biar aku yang maju" ucap Stevan.
Abel terkejut dan melotot menatap Stevan.
"Apa maksud mu? " tanya Abel.
"Kan aku sudah bilang, aku lebih mumpuni untuk mencintai Anna" Stevan mengambil stetoskop nya.
Abel bangun dari ranjangnya.
"Hei...! " Abel meraih lengannya.
"Apa? " Stevan menantangnya.
Abel tak bisa melawannya.
"Kau tahu betapa kesalnya aku melihat Anna begitu cemas dan tak melepaskan tangan mu semalaman?" ucapnya setelah menepis tangan Abel.
Abel hanya diam.
"Aku tidak terima kau memperlakukan Anna seperti ini Bert, plis... ini bukan cara untuk membantunya, kau menyiksanya" tegas Stevan.
"Tidak, aku sudah melakukan hal yang benar, dia bisa jadi sekuat ini karena aku melatihnya" ucap Abel.
"Melatih kata mu? " Stevan menghela kesal.
"Dia harus kuat demi si kembar, demi masa depannya" lanjut Abel dengan tatapan kosong ke arah jendela kamar rumah sakit besar itu.
Tiba-tiba...
"Pak, nasi padang yang dekat stasiun nggak buka... jadi aku saya beli yang dekat dermaga, ini juga enak" tunjuk Anna.
Namun dia menatap Stevan dan Abel yang berdiri.
Stevan memukul lengan Abel, cukup keras dan membuat Anna terkejut.
"Merepotkan sekali pake mau makan nasi padang segala" ucap Stevan dengan menangkup gerahamnya.
"Ehhh Dok, itu sakit! " Anna memegang tangan Abel.
Stevan menghela, lebih kesal lagi melihat reaksi Anna. Sementara Abel hanya diam.
"Jangan marah, saya juga bawakan untuk Dokter" Anna menunjukkan kotak nasinya.
"Pak Abel tidur dulu, kan belum waktunya makan" bujuk Anna seraya mengantarnya berbaring.
"Tapi... " Abel merasa Anna akan pergi lagi.
"Saya akan kembali setengah jam lagi ok? " Anna mengedipkan sebelah matanya.
"Kemana? " tanya Abel seolah tak rela Anna keluar dengan Stevan.
"Orang sakit diam saja, aku akan kencan sebentar dengan Anna" ucap Stevan dengan riang pergi membawa kotak nasinya.
Anna hanya tersenyum seraya memberi isyarat pada Abel untuk tenang kemudian keluar dari kamar rawatnya.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=>>