Setelah kehilangan anaknya dan bertahun-tahun hidup dalam bayang-bayang penghinaan dari suami serta keluarganya, Amira memilih meninggalkan masa lalu yang penuh luka.
Dalam kesendirian yang terlunta-lunta, ia menemukan harapan baru sebagai ibu susu bagi bayi milik bukan orang sembarangan.
Di sana-lah kisah Amira membuang kelemahan di mulai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zenun smith, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sebuah Hukuman
"Mbak Amira kenapa? Apa seragamnya belum ketemu?"
Ditanya begitu, Amira semakin nangis tanpa air mata. Ia menarik napas panjang, mencoba menguasai diri dari rentetan kejadian hari ini. Seragam yang hilang entah ke mana, lalu insiden memalukan saat tidak sengaja memanggil Tuan Arga dengan sebutan "Mas".
"Mas..." Amira berusaha menjelaskan, tapi suaranya menggantung.
"Mas apa, Mbak? Mas-mas batik ya? Wah, ternyata Mbak Amira juga suka nonton itu toh!" Ika langsung tertawa riang, salah paham.
Amira menggeleng. Bukan itu maksudnya. Ia ingin menjelaskan soal Tuan Arga, tapi belum sempat terjelaskan dengan gamblang, pintu kamar tiba-tiba diketuk. Saat dibuka, ternyata Mia berdiri membawa seragam Amira yang hilang.
Belum sempat nanya ada keperluan apa datang kemari, Mia lebih dulu mengutarakan.
"Ini seragammu, keselip di tumpukan cucian," kata Mia datar. Tapi Amira langsung curiga. Rasanya aneh. Apalagi sebelumnya saat ia bertanya, Mia menjawab ketus seakan-akan tidk tahu apa-apa dan terkesan menyalahkan Amira yang kurang teliti. Kurang teliti darimananya? Amira bahkan sudah bolak-balik memeriksa box itu sampai sepuluh kali.
Amira menatap Mia lekat-lekat.
"Aku sudah menanyakan hal ini sebelumnya padamu, tapi jawabnya nggak tahu. Sekarang bilangnya keselip. Aneh banget."
"Baru ketemu sekarang itu! Kamu harusnya berterima kasih, bukan curiga." Sungut Mia.
Amira tak mau kalah, "Jangan-jangan ini memang disengaja ya?"
"Sok banget, udah dibantu malah nuduh." Namun dalam hati, Mia tertawa. Memang sengaja aku umpetin, biar kamu nggak ikut acara penyambutan. Kamu harus belajar memahami apa arti senior dan junior. Di mana-mana, yang senior itu nggak bisa dilangkahi begitu aja.
Mia kemudian melenggang pergi, meninggalkan Amira dan Ika yang saling melirik satu sama lain. Setelah menutup pintu kamar, keduanya melanjutkan obrolan di dalam.
Ika membuka suara, "Mbak Amira, aku ngerasa ada yang aneh sama Mbak Mia. Kayaknya dia sengaja deh pengin bikin kamu susah."
Amira menoleh penasaran. "Kok kamu bisa bilang gitu?"
"Aku pernah lihat cara dia mandang kamu. Sinis banget. Itu kejadiannya sebelum hari ini, Mbak. Tapi waktu itu aku pikir mungkin aku aja yang suudzon, jadi aku simpan saja sendiri."
"Hmm begitu ya. Ternyata aku juga ngerasa hal yang sama. Tapi baru sekarang benar-benar yakin."
"Tapi saran aku, Mbak… biarin aja dulu. Jangan dilawan atau ditanggapi. Mbak Mia itu emang udah lama kerja di sini, jadi mungkin dia lagi nunjukin siapa yang 'senior' di rumah ini."
Amira menyimak.
"Biasanya," lanjut Ika, "orang kayak gitu cuma pengen ngetes aja. Lihat siapa yang tahan banting, siapa yang langsung mundur. Kalau Mbak tahan, lama-lama juga dia capek sendiri. Nanti juga sikapnya biasa aja, malah kadang bisa jadi temen."
Amira menghela napas, "Dan biasanya orang berbuat salah tanpa ditegur, sama saja ngasih izin buat dia terus ngelakuin hal yang sama." Amira teringat pengalamannya. "Sayangnya, disini aku memang belum mengantongi bukti yang valid. Semua masih sekadar dugaan, dan aku nggak mau menuduh hanya bermodalkan feeling. Kecuali... aku bisa mendapatkan rekaman CCTV di bagian pakaian."
Ika tampak terdiam sejenak, "Iya juga sih, Mbak. Tapi hati-hati ya. Rumah ini kayak istana, politiknya kadang lebih ribet dari apa yang kita kira. Gini aja deh Mbak, bagaimana yang ini kita biarkan dulu, kalau ada satuuuu lagi aja yang kelewatan, baru kita labrak."
"Bukan kita, aku saja yang menyelesaikannya. Tapi terimakasih ya, sudah peduli sama aku. Aku gak mau kamu sampai terlibat masalah apapun."
Mereka saling pandang sebentar. Tak ada kata lagi yang diucapkan, hanya saling memahami bahwa dunia yang mereka hadapi sekarang tak sesederhana mencuci piring atau menyapu lantai.
...******...
Hari itu suasana mendadak berubah. Tanpa pemberitahuan sebelumnya, seluruh staf rumah tangga dipanggil untuk berkumpul di aula utama. Bagi mereka yang sudah lama bekerja di rumah megah itu, isyarat seperti ini bukan hal sepele. Jika seluruh pekerja dikumpulkan, artinya ada sesuatu yang besar akan disampaikan, dan biasanya itu datang langsung dari Tuan Arga sendiri. Moment semacam ini begitu langka hingga terasa seperti upacara.
Amira yang baru beberapa hari bekerja di sana, sempat bingung dan ia mengikuti langkah para staf lain menuju aula. Masing-masing orang berdiri bersama kelompoknya, berdampingan dalam barisan yang teratur. Suasana tegang cukup terasa.
Pak Genta membuka pertemuan. "Tuan Arga akan menyampaikan langsung perihal etos kerja dan disiplin kepada kalian. Itulah alasan kalian dikumpulkan di sini."
Ketika mendengar itu, nafas lega mulai mengudara. Tetapi nafas Amira mulai tercekat. Etos kerja dan disiplin katanya? sudah tidak salah lagi ini membahas dirinya yang ceroboh. Sementara yang lain, yang merasa tidak memiliki komplainan atas kerjaannya, terlihat lebih santai. Mia pun terpantau cerah.
Sosok Arga yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Ia melangkah penuh wibawa. Setelan jas rapi membungkus tubuhnya, semakin menegaskan auranya yang eksklusif. Di pergelangan tangan kanannya, sebuah jam tangan termahal di dunia bertengger, mencerminkan kelas dan kekuasaan.
Sebelum mulai berbicara di hadapan para karyawan yang sudah berkumpul, ia sempat mengangkat telepon. Pembicaraan berlangsung singkat dan tenang.
Setelah menutup telepon, Arga menatap para hadirin. Suaranya tegas saat ia membuka percakapan.
"Selamat pagi. Bagaimana? Semua aman?"
"Aman, Tuan," jawab mereka serempak.
Arga menyipitkan mata lalu tersenyum tipis. "Aman ya? Wah... hebat. Bisa-bisanya kalian bilang aman."
Ruangan langsung senyap. Beberapa saling melirik kebingungan.
"Bekerja bukan hanya soal skill dan tenaga yang kalian tukar dengan gaji. Ada uang, ada kontribusi. Bukankah begitu?"
"Benar, Tuan," jawab mereka serempak lagi, kali ini dengan nada lebih hati-hati.
"Bagus! Dan yang paling sering saya ulang, tapi tetap saja sepertinya banyak yang pura-pura tuli, di rumah ini, saya tidak cuma bayar untuk kerja. Saya bayar untuk sikap. Atitude. Saya membayar mahal untuk itu. Jadi, kalian harus paham batasannya. MENGERTI!!!"
"Mengerti, Tuan."
Suara Arga menggelegar. Tubuh Amira refleks mengerjap. Baru kali ini ia melihat Arga bicara di depan orang banyak, dan jantungnya langsung loncat-loncat karena nadanya yang tinggi, nyaris seperti bentakan.
Amira sudah pernah dengar suara tinggi sebelumnya, dari keluarga mantan suaminya. Tapi itu beda. Dulu, bentakan mereka menyakitkan karena isinya asal tuduh dan caci maki seenaknya.
Kalau Arga? Nadanya tinggi, iya. Tapi yang dia bicarakan masuk akal. Tidak asal-asalan. Amira tidak merasa sakit hati, hanya kaget saja. Ini pertama kalinya dia dengar suara keras yang isinya adalah kebenaran.
Setelah Arga selesai bicara, giliran Pak Genta yang maju ke depan. Beliau menyambungkan titik masalah dari apa yang disampaikan Arga.
"Saya hanya ingin menambahkan soal attitude yang tadi sudah disampaikan Tuan Arga. Kenyataannya, nilai itu baru saja tercoreng oleh salah satu dari kalian. Siapa melanggar, ia akan mendapatkan konsekuensi."
Ruangan langsung ramai oleh bisik-bisik. Siapa? Siapa yang dimaksud? Apakah Amira?
Pak Genta menunggu sejenak sampai suasana agak mereda, lalu melanjutkan, "Untuk itu, setelah acara ini selesai, nama yang saya sebut harap segera menghadap saya. Akan diberikan surat peringatan."
Ketegangan langsung menyebar. Semua jadi waspada. Termasuk Amira. Ia memejamkan mata saking tegangnya. Menyebutkan nama orang bersalah di khalayak umum memang bisa menambah efek jera bagi pelaku. Tapi tetap saja, Amira rasanya malu sekali jika namanya dikumandangkan. Jantungnya berdetak makin kencang.
Mia sedang menahan senyum. Dia memang tak suka Amira sejak awal. Tapi begitu nama yang disebut keluar dari mulut Pak Genta, semua mata sontak berpaling.
"Nona Mia Arini."
Hening. Seketika, mata-mata yang tadi menoleh ke Amira, kini berbalik menatap Mia.
Amira membuka matanya, lalu menyapu ke sekitar. Dia kira namanya yang bakal dipanggil karena insiden ganti nama Tuan kecil se-enak udelnya, atau tak mengenali Tuan Arga sehingga memanggilnya dengan sebutan 'Mas'. Tapi ternyata bukan itu. Mia-lah yang dituju. Apakah itu artinya sistem di rumah ini sudah tahu kebenarannya?
...****...
Setelah pertemuan selesai, orang-orang mulai bubar. Suasana masih tegang tapi pelan-pelan mencair. Di tengah kerumunan yang bergerak memisah, Mia berjalan dengan kepala tertunduk, diiringi oleh Pak Genta menuju ruangannya. Tak ada yang berani menatapnya lama-lama.
Sementara itu, Arga justru menatap lurus ke arah Amira. Tatapannya lekat. Seorang bodyguard mendekat pelan ke sisi Amira. "Tuan Arga minta Anda tetap di sini. Beliau ingin bicara."
Amira membeku di tempatnya. Degup jantungnya belum sempat turun sejak tadi, kini malah melonjak lagi. Ia berdiri kaku, menanti pembicaraan Tuannya.
"Saya hanya mendisiplinkan karyawan. Tidak lebih. Jadi kamu tidak usah percaya diri, apalagi merasa istimewa."
Amira melongo. Laaah?
Bersambung.
Argantara Winata.
Terlena dengan bab ini, karena ikut merasakan kehilangan seperti Arga.
Sehingga ia tahu, mana yang tulus mana yang modus