Lucia Davidson hidup dalam ilusi pernikahan yang indah hingga enam bulan kemudian semua kebenaran runtuh. Samuel, pria yang ia percaya sebagai suami sekaligus cintanya, ternyata hanya menikahinya demi balas dendam pada ayah Lucia. Dalam sekejap, ayah Lucia dipenjara hingga mengakhiri hidupnya, ibunya hancur lalu pergi meninggalkan Lucia, dan seluruh harta keluarganya direbut.
Ketika hidupnya sudah luluh lantak, Samuel bahkan tega menggugat cerai. Lucia jatuh ke titik terendah, sendirian, tanpa keluarga dan tanpa harta. Namun di tengah kehancuran itu, takdir memertemukan Lucia dengan Evan Williams, mantan pacar Lucia saat kuliah dulu.
Saat Lucia mulai menata hidupnya, bayangan masa lalu kembali menghantuinya. Samuel, sang mantan suami yang pernah menghancurkan segalanya, justru ingin kembali dengan mengatakan kalau Samuel tidak bisa hidup tanpa Lucia.
Apakah Lucia akan kembali pada Samuel atau dia memilih cinta lama yang terkubur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 18. OBROLAN
Langkah-langkah Evan dan Deren perlahan menjauh, meninggalkan rumah kecil yang kini terisi kembali oleh riuh kehidupan. Dua sahabat lama yang kini bertemu kembali setelah sekian lama terpisah. Suasana di ruang tamu terasa hangat, namun juga sarat dengan perasaan yang sulit diuraikan. Di sanalah Lucia dan Clara duduk berdua, hanya ditemani secangkir teh hangat dan bisikan kenangan yang perlahan muncul kembali.
Lucia meremas jemari tangannya sendiri. Ada gugup yang samar, ada senyum tipis yang dipaksakan agar tak terlihat canggung. Ia masih merasa asing dengan dirinya sendiri setelah semua yang terjadi, apalagi kini dipertemukan kembali dengan orang-orang yang dulu pernah mengisi lembar kehidupannya.
Clara, dengan sikapnya yang ramah dan penuh perhatian, mencoba memecah kesunyian itu. Ia menatap sahabat lamanya dengan penuh rasa ingin tahu, tapi juga dengan kesedihan yang tak bisa disembunyikan. Mata Clara tak bisa mengabaikan perubahan yang begitu jelas, tubuh Lucia kini jauh lebih kurus dibandingkan dengan yang ia ingat terakhir kali. Pipi yang dulu berisi kini tirus, pundaknya tampak rapuh, seakan beban yang terlalu berat telah diletakkan di atasnya selama bertahun-tahun.
Clara menarik napas pelan, lalu tersenyum, mencoba menyalakan kembali percakapan yang mungkin bisa membuat Lucia merasa lebih tenang.
"Aku bawa beberapa pakaian dari butik dekat sini. Rasanya ukurannya bisa pas, tapi kalau mau, kita bisa coba beberapa. Aku tahu kau mungkin butuh sesuatu yang lebih nyaman," kata Clara.
Lucia menoleh dengan sedikit terkejut, lalu tertawa kecil yang terdengar kaku.
"Kau masih saja seperti dulu, selalu perhatian. Padahal aku ... entahlah, aku bahkan sudah lupa bagaimana caranya merasa pantas untuk itu," ucap Lucia dengan suara nyaris tak terdengar di ujung kalimat.
Clara tersenyum tipis, lalu berdiri dan meraih sebuah tas belanja yang ia bawa. Ia mengeluarkan beberapa gaun sederhana berwarna pastel, juga beberapa blus dengan potongan ringan. Saat ia menatap pakaian-pakaian itu, hatinya perih karena setiap bayangan masa lalu tentang Lucia selalu penuh cahaya, penuh semangat, namun kini sosok yang duduk di depannya lebih mirip bayangan yang rapuh.
"Coba ini dulu," Clara menyerahkan sebuah blus putih yang lembut, "Aku ingat kau dulu suka warna ini."
Lucia menyentuh kain itu, merasakan teksturnya di ujung jari, lalu mengangguk pelan. "Aku suka. Terima kasih, Clara."
Clara menatapnya sejenak. Ada jeda, lalu ia berkata dengan suara yang lebih lembut, nyaris seperti rahasia, "Lucia, aku sedih melihatmu sekarang. Kau jauh lebih kurus dari terakhir kali aku melihatmu. Apa yang sudah mereka lakukan padamu?"
Lucia tersenyum kaku, lalu menundukkan wajahnya. Ada genangan air yang hampir jatuh dari pelupuk matanya, namun ia cepat menghapusnya.
"Aku hanya melewati banyak hal. Terlalu banyak," jawab Lucia.
Clara duduk kembali, meraih tangan Lucia, dan menggenggamnya erat. "Kau tidak sendiri lagi sekarang. Ada aku, ada Deren dan tentu saja, ada Evan."
Nama itu terucap begitu saja, membuat Lucia terdiam. Ada riak kecil di dadanya, sebuah getar yang tak ia pahami sepenuhnya.
Clara memperhatikan reaksi itu, lalu tersenyum samar. "Aku ingin kau tahu sesuatu tentang dia. Tentang Evan."
Lucia mengangkat wajahnya pelan, menatap sahabatnya itu dengan kebingungan. "Apa ... maksudmu?"
Clara menarik napas panjang, seakan mempersiapkan dirinya untuk membuka pintu yang lama tertutup. Ia tahu kata-kata ini penting, karena mungkin akan menjadi kunci bagi Lucia untuk memahami banyak hal yang selama ini ia abaikan.
"Evan mencintaimu, Lucia. Amat sangat mencintaimu," ujar Clara akhirnya. Suaranya tegas, namun penuh kelembutan. "Sejak dulu. Dari dulu sekali. Semua yang dia lakukan selama bertahun-tahun hanyalah demi dirimu."
Lucia membeku. Kata-kata itu terdengar seperti angin yang menerobos langsung ke relung hatinya. Ia ingin menyangkal, ingin menertawakan, namun tatapan Clara terlalu serius untuk dianggap sekadar gurauan.
Clara melanjutkan dengan nada suara yang lebih emosional. "Kau mungkin tidak tahu seberapa keras dia berjuang. Keluargamu ... mereka terlalu kejam padamu, memanfaatkanmu, menyakitimu. Tapi Evan selalu ada, meskipun dari jauh. Dia selalu berpikir bagaimana caranya bisa melepaskanmu dari semua itu. Bahkan ketika kabar tentang perusahaan Barnett ditutup dan ayahmu meninggal di penjara, aku melihat sendiri bagaimana dia nyaris kehilangan akal ketika kau tidak ditemukan dimana pun. Dia mencari kamu ke setiap sudut kota, Lucia. Setiap sudut."
Lucia menggigit bibir bawahnya, matanya kini berair. Bayangan-bayangan masa lalu berkelebat, Evan yang selalu datang di saat ia terluka, Evan yang selalu berdiri di antara dirinya dan kemarahan ayahnya, Evan yang tak pernah benar-benar melepaskannya. Jadi saat pertama kali Evan muncul di toko swalayan tempat Lucia bekerja. Saat itu Evan akhirnya menemukan Lucia setelah pencarian panjang? Benar-benar tidak Lucia duga.
"Waktu kuliah," Clara melanjutkan, "dia sebenarnya tidak ingin pergi. Tapi ada tawaran pekerjaan di Boston, yang baginya adalah kesempatan emas untuk membangun sesuatu. Dia membawa aku dan Deren bersamanya. Dari nol, dari usaha kecil, sampai akhirnya kami bisa menjadi seperti sekarang. Tapi tahukah kamu? Bahkan ketika dia sedang membangun hidupnya di sana, dia tidak pernah berhenti memikirkanmu. Tidak satu hari pun."
Air mata Lucia akhirnya jatuh. Ia menutup wajahnya dengan tangan, berusaha meredam suara tangis yang tiba-tiba pecah. Selama ini Lucia pikir Evan hanya mengganggap Lucia sekedar orang yang pernah singgah saja di hidupnya. Clara mengusap bahunya lembut, membiarkannya meluapkan semua yang selama ini ia pendam.
"Lucia, jangan takut dengan perasaan cinta Evan. Dia berbeda. Dia tidak seperti keluargamu. Tidak seperti si brengsek yang menjadikanmu objek balas dendam. Evan tulus. Dia akan selalu melindungimu, bahkan ketika kau tidak memintanya. Jika kau meminta dunia padanya, mungkin Evan akan langsung memberikannya padaku. Sebesar itu cinta Evan hingga tidak pernah melirik satu wanita pun selama ini kecuali dirimu saja," kata Clara dengan senyum lembut.
Lucia tersedu, suaranya pecah. "Aku ... aku takut, Clara. Aku takut membuka hati lagi. Aku takut kecewa. Aku takut kehilangan lagi. Aku takut dikhianati lagi."
Clara meraih kedua tangannya, menatapnya dalam-dalam. "Aku mengerti. Aku benar-benar mengerti. Tapi kau tidak bisa terus menutup hatimu. Kau berhak bahagia. Kau berhak dicintai dengan cara yang benar setelah apa yang kau alami. Dan Evan adalah orang yang bisa memberimu itu. Dia sudah membuktikannya, bahkan sejak dulu."
Lucia terdiam. Dalam keheningan itu, hatinya berperang dengan dirinya sendiri. Namun ada sesuatu dalam nada suara Clara, sebuah kebenaran yang tak bisa ia bantah. Namun bayangan akan pengkhianatan Samuel masih membekas, membuat Lucia takut untuk memulai sebuah hubungan lagi. Luka yang ditanamkan Samuel terlalu membekas, traumatis.
Tapi Lucia ingat bagaimana Evan melihat Lucia baik itu semalam ketika menyelamatkan Lucia dari penguntit atau bahkan satu jam lalu saat Evan mendapati Lucia di ruang kerja Evan. Satu hal yang sama dari air muka Evan saat itu yang menggetarkan hati Lucia yang membeku lebih dari setahun lalu.
Evan sangat takut kehilangan Lucia.
Alhamdulillah operasi berhasil, semoga Lucia cepat pulih