NovelToon NovelToon
Belenggu Ratu Mafia

Belenggu Ratu Mafia

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Romansa Fantasi / Roman-Angst Mafia / Persaingan Mafia / Fantasi Wanita / Dark Romance
Popularitas:296
Nilai: 5
Nama Author: Mr. Nanas

Isabella bersandar dengan anggun di kursinya, tatapannya kini tak lagi fokus pada steak di atas meja, melainkan sepenuhnya pada pria di hadapannya. Ia menguncinya dengan tatapannya, seolah sedang menguliti lapisan demi lapisan jiwanya.

"Marco," panggil Isabella, suaranya masih tenang namun kini mengandung nada finalitas absolut yang membuat bulu kuduk merinding.

"Ya, Bos?"

Isabella mengibaskan tangannya ke arah piring dengan gerakan meremehkan.

"Lupakan steaknya."

Ia berhenti sejenak, membiarkan perintah itu menggantung, memperpanjang siksaan di ruangan itu. Matanya yang gelap menelusuri wajah Leo, dari rambutnya yang sedikit berantakan hingga garis rahangnya yang tegas.

"Bawa kokinya padaku. Besok pagi."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mr. Nanas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Perintah Mutlak

Leo percaya bahwa setiap dapur memiliki detak jantungnya sendiri. Di "The Alchemist's Table", detak jantung itu adalah sebuah ritme yang tenang, terkontrol, dan presisi. Sebuah orkestra simfoni di mana setiap instrumen tahu perannya. Desis mentega yang meleleh di atas wajan panas adalah senar biola, kertak pisau di atas talenan kayu adalah perkusi, dan komando Leo yang tegas adalah tongkat konduktornya. Ia menamai restorannya "The Alchemist's Table" bukan karena arogansi, melainkan karena keyakinan. Di sini, ia adalah seorang alkemis. Ia mengambil bahan-bahan mentah tanah, api, air dan mengubahnya menjadi emas yang bisa dinikmati. Emas yang bisa membangkitkan kenangan, memicu emosi, dan untuk sesaat, membuat dunia di luar sana lenyap.

Malam itu adalah malam yang sempurna. Udara dipenuhi aroma thyme panggang dan bawang putih. Di sudut, Rina, sous-chef kepercayaannya, bergerak dengan efisiensi tanpa suara, menyiapkan garnish dengan pinset seolah sedang merangkai perhiasan. Di bagian pastry, Dani muda sedang melukis piring dengan saus karamel, alisnya berkerut penuh konsentrasi. Ini adalah kuil Leo, sebuah ekosistem harmoni yang ia bangun dari nol. Setiap piring yang keluar dari dapurnya adalah sebuah doa.

"Chef, meja dua belas memuji foie gras-nya," lapor Tio, manajer restoran yang setia, sambil menyelinap masuk. Tio adalah pria paruh baya yang selalu tampak sedikit cemas, perannya adalah menjadi benteng antara kesucian dapur dan kekacauan dunia luar. "Mereka bilang rasanya seperti mimpi."

"Mimpi tidak membayar sewa, Tio. Apa mereka memesan hidangan utama?" balas Leo tanpa mengalihkan pandangan dari sepotong daging Tomahawk premium yang sedang ia siapkan. Marmer lemaknya sempurna, seperti peta galaksi yang terukir di daging merah tua.

"Tentu saja, Chef," Tio terkekeh. "Oh, dan reservasi atas nama Bapak Hartawan untuk jam sembilan dibatalkan mendadak."

Leo mengangkat alis. Hartawan adalah seorang taipan properti yang tidak pernah sekalipun membatalkan janji. "Alasannya?"

Tio mengangkat bahu, kegugupannya sedikit meningkat. "Tidak ada. Sekretarisnya hanya bilang 'ada urusan tak terduga'. Anehnya, tiga meja lain juga batal. Seolah-olah ada sesuatu malam ini."

Leo tidak memikirkannya lebih jauh. Dunia di luar sana penuh dengan urusan yang tak terduga. Dunianya ada di sini, di atas wajan besi yang panasnya sudah mencapai suhu yang tepat. Ia melumuri Tomahawk itu dengan minyak zaitun, menaburkan garam laut kasar dan lada hitam yang baru digiling. Sebuah ritual. Sebuah permulaan transmutasi.

Kemudian, orkestranya berhenti.

Bukan secara bertahap, tapi mendadak. Seolah seorang raksasa menginjak gedung opera. Di ruang makan, denting garpu dan pisau di atas piring porselen yang elegan lenyap. Tawa seorang sosialita di meja dekat jendela terpotong di tengah jalan. Obrolan para tamu kelas atas yang biasanya riuh riang berubah menjadi bisikan gugup, lalu hening total. Keheningan itu begitu pekat, tidak wajar, dan penuh muatan takut, menjalar hingga ke ambang pintu dapur seperti gelombang kejut yang tak terlihat.

Para staf di dapur saling berpandangan, merasakan perubahan atmosfer yang drastis. Rina menghentikan gerakan pinsetnya. Dani menahan napas.

"Tio, apa itu?" Suara Leo tajam, merasakan suasana itu sebagai sebuah ancaman.

Tio mengintip keluar melalui jendela bundar di pintu dapur. Ketika ia berbalik, wajahnya pucat pasi, lapisan keringat tipis membasahi pelipisnya. "Dia di sini, Chef," bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar.

"Dia siapa?"

"Sang Ratu."

Leo mengerutkan kening dan mengambil tempat Tio di jendela. Dan di sanalah ia melihat sumber dari keheningan itu. Di sanalah ia melihat episentrum dari gempa ketakutan yang baru saja melanda restorannya.

Seorang wanita melangkah masuk, didahului oleh seorang pria raksasa yang tubuhnya seolah dibangun dari beton kokoh. Pria itu adalah Marco "Si Banteng" Santoro, berhenti di ambang pintu, matanya yang kecil dan tajam menyapu seluruh ruangan. Tatapannya berhenti sejenak pada setiap wajah pria di ruangan itu, sebuah pernyataan ancaman yang dingin dan instan. Para pengusaha yang biasanya penuh kuasa kini menunduk menatap piring mereka. Para pria muda yang angkuh mendadak tampak seperti anak sekolah yang takut ketahuan berbuat salah.

Setelah Marco memberikan sinyal aman yang nyaris tak terlihat, barulah wanita itu melangkah melewati ambang pintu.

Isabella "The Empress" Rosales.

Ia mengenakan gaun sutra berwarna merah darah yang memeluk lekuk tubuhnya dengan kesempurnaan bidadari. Gaun itu sederhana, tanpa hiasan, namun di tubuhnya, gaun itu menjadi sebuah pernyataan. Rambut hitam legamnya yang panjang tergerai lurus, berkilau di bawah cahaya lampu gantung, kontras dengan kulitnya yang seputih pualam. Wajahnya cantik secara brutal, tulang pipi yang tinggi, rahang yang tegas, dan bibir penuh yang seolah diciptakan untuk mencium atau memerintah. Tapi bukan kecantikannya yang membekukan seisi ruangan. Melainkan auranya. Aura kekuasaan absolut yang diusung dengan keanggunan. Setiap langkahnya tegas, tanpa keraguan, seolah lantai marmer itu miliknya, seolah udara yang ia hirup pun harus meminta izin terlebih dahulu.

Marco menarik kursi di meja terbaik, meja yang baru saja dikosongkan oleh pembatalan Hartawan, dan Isabella duduk dengan punggung tegak lurus, menempatkan tas tangannya yang kecil dan hitam di atas meja dengan suara pelan yang terdengar seperti ketukan palu hakim.

Leo mundur dari jendela, merasakan jantungnya berdebar lebih cepat. Bukan karena takut. Bukan. Itu adalah adrenalin murni seorang seniman yang karyanya akan dinilai oleh kritikus paling berbahaya di dunia. Ini adalah ujian.

Pesanan datang beberapa menit kemudian, dibawa oleh Tio sendiri, tangannya sedikit gemetar saat menyerahkan catatan itu pada Leo.

"Tomahawk, Chef. Untuk Nona Isabella." Tio menelan ludah. "Tingkat kematangan... medium rare."

Leo hanya mengangguk, ekspresinya tenang. Di dalam pikirannya, dunia luar telah lenyap. Hanya ada dirinya, apinya, dan sepotong daging yang menuntut kesempurnaan. Ia meletakkan Tomahawk itu di atas wajan yang mendesis ganas. Aroma daging panggang yang surgawi mulai memenuhi dapur, sebuah tantangan bagi keheningan yang mencekam di luar. Ia membalik daging itu hanya sekali. Ia menyiramnya dengan mentega panas, bawang putih yang dihancurkan, dan sebatang thyme segar. Orkestranya telah kembali, tetapi kali ini, mereka hanya bermain untuk satu penonton.

Lima belas menit kemudian, mahakarya itu siap. Disajikan di atas piring porselen hitam, dihiasi hanya dengan sebatang thyme yang sedikit hangus dan beberapa butir garam Maldon. Sederhana, jujur, sempurna.

Leo memperhatikannya dari jendela saat Tio yang gugup menyajikan hidangan itu di hadapan Isabella. Ia melihat Isabella mengamati steak itu sejenak, lalu memotong seiris kecil daging dengan gerakan anggun dan presisi. Daging itu sempurna, bagian luarnya berkerak gelap, bagian dalamnya berwarna merah muda yang hangat dengan sari daging yang meleleh. Itu adalah puisi di atas piring.

Isabella memasukkan potongan kecil itu ke dalam mulutnya, mengunyahnya perlahan, matanya terpejam sejenak. Leo menahan napas. Inilah momen kebenaran. Lalu, Isabella membuka matanya. Ekspresinya tak terbaca. Ia meletakkan garpu dan pisaunya dengan pelan di samping piring. Dengan satu gerakan tangan kecil yang nyaris tak terlihat, ia memanggil Tio.

Beberapa detik kemudian, piring itu kembali ke dapur, dibawa oleh Tio yang wajahnya kini sudah seperti kain lap basah.

"Chef," kata Tio dengan suara gemetar, meletakkan piring itu di atas meja stainless steel. "Nona Isabella bilang, steaknya salah."

Leo menatap piring itu. Potongannya sempurna. Warnanya sempurna. "Salah apanya?" tanyanya, suaranya tetap tenang, tetapi ada nada dingin di dalamnya.

"Dia bilang... i-ini masih mentah." Tio tergagap. "Dia mau... dia mau well-done."

Keheningan yang tadi melanda ruang makan kini berpindah sepenuhnya ke dapur. Rina hampir menjatuhkan pinsetnya. Dani membeku. Memasak steak premium seharga jutaan rupiah hingga well-done bukan lagi sebuah permintaan. Itu adalah sebuah penghinaan. Itu adalah vandalisme kuliner.

"Tidak," jawab Leo, suaranya datar dan final. Ia berbalik, menganggap percakapan itu sudah selesai.

"Chef, tolong!" Tio memohon, suaranya putus asa. "Anda tidak mengerti siapa dia. Orang di bar sebelah menghilang karena menyajikan anggur yang salah untuknya!"

"Dan aku adalah chef di restoran ini," balas Leo, menatap Tio tajam. "Di dapur ini, kehormatan resep lebih tinggi dari reputasi tamu mana pun. Katakan padanya, dengan hormat, permintaannya ditolak."

Tio tampak seperti akan menangis, tetapi ia tahu tidak ada gunanya berdebat dengan Leo saat prinsipnya diusik. Ia berbalik dengan langkah berat, seperti orang yang berjalan menuju tiang gantungan.

Namun, ia tidak perlu sampai ke pintu. Pintu dapur berayun terbuka dengan keras, menghantam dinding. Marco Si Banteng masuk, tubuhnya yang besar seolah menyerap semua cahaya dan udara di ruangan itu. "Bosku mau bicara dengan kokinya," geramnya, suaranya berat seperti batu gerinda. "Sekarang."

Leo meletakkan pisaunya dengan pelan. Ia melepas celemeknya, melipatnya dengan rapi, dan meletakkannya di atas meja. Ia berjalan melewati Marco yang mendengus seperti banteng sungguhan, dan melangkah keluar dari kuilnya, memasuki arena gladiator.

Seluruh mata di ruang makan tertuju padanya. Ia berjalan melintasi permadani keheningan dan berhenti tepat di depan meja Isabella. Untuk pertama kalinya, ia melihat wanita itu dari dekat. Matanya berwarna gelap seperti kopi hitam, dalam dan tanpa dasar. Tidak ada kehangatan di sana, hanya perasaan yang tajam dan berbahaya.

"Ada masalah dengan steak saya, Koki?" tanya Isabella. Suaranya tidak keras, tetapi membelah keheningan dengan mudah.

"Tidak ada masalah dengan steaknya, Nona," jawab Leo, nadanya sopan namun tidak membungkuk. Tulang punggungnya lurus. "Masalahnya ada pada permintaan Anda. Saya tidak akan menyajikan sepotong daging berkualitas tinggi yang sudah saya masak hingga hancur."

Marco menggeram pelan di belakangnya, sebuah ancaman yang nyata. Isabella mengangkat satu tangan yang ramping untuk menenangkannya, matanya tidak pernah lepas dari Leo. Keberanian atau kenaifan, pria ini membuatnya geli. Semua orang di kota ini gemetar mendengar namanya, tapi chef di hadapannya justru berdiri tegak, berdebat dengannya soal sepotong daging.

"Jadi," kata Isabella pelan, bibirnya nyaris tidak bergerak. "Kau menolak perintahku?"

"Saya menolak merusak karya seni saya," koreksi Leo, suaranya tetap tenang. "Anda membayar untuk keahlian saya, dan keahlian saya mengatakan steak itu sudah sempurna."

Keheningan yang mencekam menggantung di udara, begitu berat hingga terasa sesak. Para tamu lain menahan napas, menjadi penonton bisu dalam duel antara seekor singa betina dan seorang pria yang kelihatannya naif. Leo telah menghadapi kritikus makanan yang sombong dan investor yang serakah, tetapi ini berbeda. Ini adalah bentrokan dua kekuatan di wilayah abu-abu antara seni dan kekuasaan. Ia tidak akan mundur. Tidak untuk steaknya. Tidak di dalam kuilnya.

Ia melihat tatapan dingin Isabella berkedip sepersekian detik namun bukan amarah, melainkan keterkejutan murni. Keterkejutan itu kemudian bermetamorfosis menjadi sesuatu yang jauh lebih berbahaya, minat. Minat murni seorang predator yang telah menghabiskan seumur hidupnya melihat mangsa berlari, dan untuk pertama kalinya, menemukan satu yang berdiri diam dan balas menatap.

Sudut bibir merah Isabella perlahan terangkat, membentuk senyum tipis yang tidak mencapai matanya. Itu adalah senyum puas, senyum seseorang yang baru saja menemukan anomali langka di dunia yang membosankan dan dapat diprediksi. Seolah ia baru saja memutuskan bahwa hidangan di depannya tidak lagi menarik, tetapi orang yang memasaknya adalah menu utama yang jauh lebih menggugah selera.

Ia bersandar dengan anggun di kursinya, tatapannya kini tak lagi fokus pada steak di atas meja, melainkan sepenuhnya pada pria di hadapannya. Ia menguncinya dengan tatapannya, seolah sedang menguliti lapisan demi lapisan jiwanya.

"Marco," panggil Isabella, suaranya masih tenang namun kini mengandung nada finalitas absolut yang membuat bulu kuduk merinding.

"Ya, Bos?"

Isabella mengibaskan tangannya ke arah piring dengan gerakan meremehkan.

"Lupakan steaknya."

Ia berhenti sejenak, membiarkan perintah itu menggantung, memperpanjang siksaan di ruangan itu. Matanya yang gelap menelusuri wajah Leo, dari rambutnya yang sedikit berantakan hingga garis rahangnya yang tegas.

"Bawa kokinya padaku. Besok pagi."

1
Letitia
Jangan berhenti menulis, ceritamu bagus banget!
thalexy
Dialognya seperti bicara dengan teman sejati.
Alphonse Elric
Mesti dibaca ulang!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!