Azalea, Mohan, dan Jenara. Tiga sahabat yang sejak kecil selalu bersama, hingga semua orang yakin mereka tak akan pernah terpisahkan. Namun dibalik kebersamaan itu, tersimpan rahasia, pengkhianatan, dan cinta yang tak pernah terucapkan.
Bagi Azalea, Mohan adalah cinta pertamanya. Tapi kepercayaan itu hancur ketika lelaki itu pergi meninggalkan luka terdalam. Jenara pun ikut menjauh, padahal diam-diam dialah yang selalu menjaga Azalea dari kejauhan.
Bertahun-tahun kemudian, Jenara kembali. Dan bersama kepulangannya, terbongkarlah kebenaran masa lalu tentang Mohan, tentang cinta yang tersimpan, dan tentang kesempatan baru bagi hati Azalea.
Kini, ia harus memilih. Tetap terikat pada luka lama, atau membuka hati pada cinta yang tulus, meski datang dari seseorang yang tak pernah ia duga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Faroca, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Retakan Kecil
Sebulan sudah berlalu sejak status mahasiswa baru resmi melekat pada mereka bertiga. Hidup mereka terasa berbeda, jadwal padat, tugas yang mulai menumpuk, juga wajah-wajah baru yang masuk dalam lingkaran pertemanan mereka. Namun, bagi Azalea, satu hal yang benar-benar berubah adalah… sikap Mohan.
Kalau dulu setiap sore mereka selalu nongkrong bertiga entah di kantin, taman, atau rumah Jenara, kini sebagian besar waktu Mohan habis untuk mengejar Amara. Cewek cantik dari fakultas kedokteran itu seperti pusat orbit baru yang membuat perhatian Mohan bergeser.
Hari itu, matahari sore menyinari taman kampus dengan hangat. Bangku kayu panjang di bawah pohon flamboyan menjadi saksi ketiga sahabat itu duduk dalam diam. Azalea memainkan ujung sedotan jus jeruknya, wajahnya ditekuk seolah menahan sesuatu. Jenara duduk dengan postur tegak dan tatapan datar, sementara Mohan sibuk men-scroll layar ponselnya. Senyum-senyum kecil muncul setiap kali ada notifikasi masuk.
"Pasti lo lagi baca chat dari Amara ya Moh," tanya Azalea. "tumben lo nggak bareng dia? biasanya nempel mulu, kaya Upin-Ipin." lanjutnya
"Ada acara keluarga katanya, makanya pas habis kelas langsung pulang dia." Mohan berkata sambil menyeruput es tehnya.
"Oh ya Za, ada sesuatu yang mau gue omongin sama lo," ucap Mohan. "Sebenernya gue udah pengen ngomongin ini dari kemaren-kemaren, tapi Jenara selalu nyegah gue." sambungnya.
Jenara yang sejak tadi terdiam, mulai gelisah.
dia melihat ke arah Azalea yang menatap Mohan dengan bingung. Jenara tau apa yang ingin Mohan katakan, selama ini Jenara menahan Mohan karena menjaga hati Azalea. Dia tidak ingin melihat gadis cantik itu terluka untuk kesekian kalinya.
"Tentang apa Moh?" tanya Azalea
"Perasaan gue...," jawaban Mohan menggantung.
"Perasaan lo? Ma ... maksud Lo, tentang hati?" tanya Azalea terbata
"Ya ! Tentang hati gue Za, gue udah nemuin tempat yang tepat untuk ngasih hati gue," ujar Mohan sambil menggenggam tangan Azalea. Azalea kaget dengan genggaman mendadak itu.
'apa perasaan Mohan itu buat gue? Apa sebenernya Mohan juga suka sama gue?' hatinya berbisik bahagia
'Astaga kalo beneran, mimpi apa gue semalem? Genggaman tangannya kuat banget, kaya nggak mau ngelepasin gue.' ujarnya masih dalam hati.
'Tapi dia bilang, Jenara selalu cegah dia buat ngomong ke gue? Kenapa? Padahal kan Jenara tau kalo gue suka sama Mohan. Nyebelin banget tu kulkas dua pintu.' bisiknya lagi sambil melirik kesal ke arah Jenara.
"Woy, kok lo malah nyengir-nyengir tapi tiba-tiba cemberut, nggak jelas banget" tegur Mohan melihat ekspresi gadis itu yang berubah-ubah.
"Hehehe—gue lagi ngebayangin lo mau ngomong apa Moh, pasti bikin gue bahagia kan?" Azalea berkata masih dengan senyumnya. Namun tidak dengan Jenara, perasaan takut menghinggap pada dirinya.
"Ya pasti lo bakalan seneng banget dengernya, Karena gue tau lo sayang sama gue kan?"
"Ya iyalah, gue sayang banget sama lo Moh." Azalea menatap mata Mohan, "Udah cepetan lo mau ngomong apa. Gue udah nggak sabar pengen tau," ucapnya senang.
Mohan menarik nafas dalam, genggaman ditangan Azalea kian kuat. Membuat gadis itu berpikir dengan pikirannya sendiri, Azalea berpikir jika Mohan sedang gugup karena ingin menyatakan cinta padanya. Sedangkan Jenara, masih menatap Azalea dengan tatapan sendu.
"Kok gue jadi deg-degan sih Moh," seru Azalea berisik.
"Astaga Aza, aturan gue yang deg-degan," ucap Mohan dengan tawa renyahnya
Mohan mengusap tengkuknya agar perasaannya tenang, 'Kenapa gue kikuk gini didepan Azalea? Gue cuma pengen bilang kalo gue sama Amara udah official. Tapi rasanya, kaya ada yang ngelarang gue buat bilang ke dia. Mana Jenara dari tadi natap gue tajem banget.' Mohan berkata dalam hati, seperti ragu ingin memberitahu sahabatnya itu.
"Mohan! Kok lo malah diem sih, gue penasaran nih." suara Azalea mengagetkan Mohan yang sempat tenggelam dengan pikirannya.
“Eh iya Za, sorry! Tapi lo beneran bakalan dengerin kan? Nggak akan ketawain gue, atau ngomentarin gue dengan kalimat ajaib Lo itu kan?"
"Nggak akan Mohan! udah cepet dong. Tangan gue udah kesemutan nih, lo kan tau kalo manisnya gue tuh kaya apotek tutup—nggak ada obat. Jadi banyak semut yang ngerubutin gue, jadilah gue kesemutan tau." cerocosnya, Azalea mulai kesal, karena Mohan terlalu bertele-tele.
Mohan tertawa mendengar kebawelan sahabatnya itu."Ok cewe absurd kesayangan gue, gue bakal ngomong sekarang." Mohan mengelus rambut Azalea, dan menyelipkan rambut kesamping telinganya. Azalea bahagia mendapatkan perhatian dari Mohan.
"Azalea!!! Gue pengen lo tau, kalo gue sama Amara udah jadian seminggu yang lalu. Maaf kalo gue nggak langsung cerita sama lo, karena gue nyari waktu yang pas aja. lo seneng kan Za?" akhirnya, Mohan memberitahu Azalea.
Seketika, senyum Azalea membeku. Jantungnya seperti diremas dari dalam. Ada hati yang teriris disana. 'Bukan gue ternyata? Tapi Amara, harusnya gue tau kalo Mohan cuma nganggep gue adik kecilnya. Dan nggak akan pernah lebih dari itu.' Azalea membatin, wajah sendunya mulai terlihat. Namun sedetik kemudian wajahnya berubah bahagia dan dengan semangat dia memberi selamat pada Mohan.
“Wah, selamat ya, Moh! Akhirnya playboy sekolah kita laku juga, lo beruntung dapetin Amara, yang cantik dan lembut itu. Gue doain deh kalian bisa cepet punya anak kembar tiga, biar lo repot tiap hari gendong bayi.” ucapnya dengan bahagia.
Mohan terkekeh. “Za, serius amat, gue baru jadian loh. Belom mau nikah,"
Azalea tertawa, bahkan tawanya terlalu keras, lebih tepatnya terlalu dipaksakan. “Iya gue tau kok, bercanda Moh." seru Azalea "tapi kalo lo mau nikah, gue siap kok jadi bridesmaid di pernikahan lo sama Amara,"
"Amiin—makasih doanya Za, gue tau lo bakalan seneng dengernya. Karena lo sahabat gue yang paling pengertian dan perhatian ke gue, nggak kaya si bongkahan es batu di depan lo nih." ejek Mohan sambil melirik Jenara yang berada di sampingnya.
Jenara tak bergeming, tatapannya masih tertuju pada Azalea yang sedang tertawa bersama Mohan. Namun di balik tawanya, Jenara melihat ada air mata yang sedang ditahan sekuat tenaga oleh gadis itu. Tangannya meremas gelas yang sedang dipegangnya saat ini.
Tatapan dingin Jenara kali ini bukan untuk menghakimi, melainkan untuk menyembunyikan rasa iba. Ia bisa melihat betapa kerasnya Azalea berusaha menutupi luka dengan lelucon absurd yang dia lontarkan pada Mohan.
Dalam hati, Jenara bergumam, 'Aza... kenapa lo harus pura-pura kuat di depan dia? Padahal gue bisa ngerasain jelas kalau hati lo lagi hancur.'
Mohan menepuk bahu Azalea, tak menyadari apapun yang terjadi pada gadis itu. “Makasih ya, Za. Gue seneng banget Lo bisa Nerima Amara,"
"Kalo gitu, gue balik duluan ya. Amara nge-chat gue, dia nyuruh gue ke rumahnya—dia mau ngenalin gue ke orang tuanya." Pamit Mohan bersemangat
"Wah, naik level kayanya Moh. Udah dikenalin aja," ledek Azalea,
"Hahaha—bisa aja lo bocil, lo balik sama Jenara ya. Maaf nih nggak bisa pulang bareng dulu," cengir Mohan, sambil melihat ke arah Jenara.
"Je ! lo kok diem aja dari tadi? Sariawan lo?" Mohan baru menyadarinya sejak tadi Jenara hanya diam tak berkomentar.
"Mungkin dia lagi puasa ngomong Moh, kalo udah adzan magrib baru bisa ngomong lagi dia." ujar Azalea. Mohan tertawa sambil menepuk bahu Jenara.
"Ya udah, gue duluan. Bye!" Mohan melambaikan tangan kepada kedua sahabatnya itu.
Azalea hanya mengangguk sambil tersenyum kecil. Namun, senyum itu terasa seperti pisau yang menusuk lebih dalam. Setelah Mohan menghilang dipintu kantin, Azalea menatap Jenara. Matanya berkaca-kaca, bibirnya bergetar, namun gadis itu masih berusaha untuk menyembunyikan semuanya.
Sedangkan Jenara, pandangannya tak pernah bergeser. Hatinya ikut sakit melihat Azalea sekarang. Jenara mendekat, menggenggam tangan Azalea—lalu berjalan tanpa kata, saat ini cowok tampan itu, hanya ingin menjadi tempat ternyaman untuk gadis itu. Dalam diam, dia berjanji akan menyembuhkan retakan kecil yang sudah ada pada hati Azalea.
****