Menjadi Ibu Susu Anak CEO Dingin

Menjadi Ibu Susu Anak CEO Dingin

Awal Mula

Seorang bayi tampak gelisah dalam tidurnya. Nafasnya tiba-tiba menjadi cepat, dan suhu tubuhnya juga meninggi. Di tengah malam yang sunyi, Amira terbangun oleh suara gumaman tak jelas dari putranya yang baru berusia sembilan bulan.

Dengan hati-hati ia meraba kening anaknya. Seketika matanya membelalak karena wajah mungil itu memerah, terasa panas membara.

"Ya Allah! Galen! Nak!" serunya panik.

Tanpa pikir panjang, Amira segera turun dari ranjang. Ia menggendong tubuh kecil itu dengan penuh cemas, pergi ke kamar suami, berniat membawanya ke rumah sakit secepat mungkin.

Amira memang jarang tidur dengan suaminya, sebab terkadang suaminya memang tak ingin tidur lagi bersamanya sejak ia melahirkan dan terkesan mengejek tubuhnya yang tidak lagi semenarik dulu setelah melahirkan anak pertama mereka.

"Mas! Anak kita!" teriak Amira dengan raut wajah semakin khawatir.

Kriet.

Pintu salah satu kamar terbuka, keduanya tinggal di rumah keluarga suami Amira setelah resmi menikah. Keluarga suaminya memang tidak kaya raya namun masih terbilang orang berada karena rumahnya lumayan besar dengan lima kamar tidur. Mereka tinggal bersama mertua Amira dan beberapa saudara suaminya.

"Apaan sih, malam-malam begini teriak! Sudah gak bisa merawat tubuh dan jadi jelek, sekarang kamu sudah mulai berani teriak-teriak di rumah ini!" bukannya bertanya dengan benar, Ardi malah membentak dengan tak sabar.

Amira memeluk anaknya yang lemas, raut mukanya begitu cemas. "Mas Ardi, Galen demam tinggi. Kita bawa ke dokter yuk, Mas."

Ardi melotot, nada suaranya tinggi, "Dokter? malam-malam begini? Emangnya kamu pikir duit kita numpuk? Daun saga banyak di belakang rumah. Bejek aja, airnya kasih ke dia."

"Tapi... Galen nggak mau minum apa-apa, Mas. Bahkan air putih pun ditolak," Amira membela diri. Sebenernya dia belum mencoba apa yang dikatakan Ardi, tapi melihat kondisi anaknya yang mengkhawatirkan, Amira langsung merujuk ke rumah sakit.

Seluruh keluarga Ardi keluar kamar termasuk ibunya yang langsung menginterupsi, "Iya tuh, kamu itu ngurus anak kayak nggak niat. Dikit-dikit panik, belum apa-apa udah ngajak ke RS. Zaman dulu, ibu juga ngurus anak-anak sendiri, sehat-sehat aja tuh."

Amira diam, memeluk anaknya lebih erat. Matanya menatap Ardi, berharap suaminya berubah pikiran. "Aku cuma takut Galen kenapa-kenapa."

Ardi menghela napas dengan kasar lalu membentak lagi, "Kalau kamu takut terus, ya gak bakal selesai! Anak dikit-dikit panas langsung nyerah. Coba dulu, jangan nyusahin orang!"

"Bener! jangan dikit-dikit pakai obat kimia, nggak bagus. Cobalah kamu banyak belajar cara mengobati mandiri. Kamu itu harus hemat, tahu sendiri miskin itu nggak enak. Jadinya harus pandai lah kamu mengunakan uang suami. Jangan boros-boros." Timpal Kakak ipar Amira.

Air mata Amira mulai jatuh, tapi dia hanya mengangguk kecil. Tak ada kekuatan untuk membantah lebih jauh, terlebih saudara suami juga ikutan provokasi agar Galen sebaiknya diobati di rumah. Tapi rasa khawatir yang semakin membuncah membuat Amira berusaha sendiri tanpa melibatkan suaminya. Dia diam-diam keluar, mendatangi salah satu tetangga yang dirasa baik terhadapnya selama ini untuk meminjam uang.

Beruntung sang tetangga yang tidak merasa terganggu dengan kehadiran Amira malam-malam, bersedia meminjamkan uang dua ratus ribu. Hanya itu yang bisa tetangganya kasih karena dia pun ekonominya tak seberapa. Setidaknya tetangganya tersebut lebih punya empati daripada Ardi dan keluarganya.

Sesampainya di rumah sakit, kondisi Galen semakin memburuk. Sepanjang perjalanan, tubuh kecilnya beberapa kali mengalami kejang hebat. Wajahnya pucat pasi, nyaris kebiruan. Bola matanya bergerak tak terarah, menjulang ke atas. Tanpa banyak waktu terbuang, ia segera dilarikan ke ruang Unit Gawat Darurat.

Di luar ruangan, Amira berdiri kaku. Jantungnya berpacu tak menentu dengan napasnya yang tersengal oleh kecemasan yang tak mampu lagi dibendung. Jemarinya gemetar hebat.

Beberapa waktu kemudian, pintu UGD terbuka. Seorang dokter keluar dengan wajah datar yang berusaha tetap tenang. Ia menyampaikan kenyataan dengan setenang mungkin.

Namun, tak ada cara menyampaikan kematian yang benar-benar lembut bagi seorang ibu. Kata-kata itu, meski dibalut ketenangan, tetap menembus seperti pecahan kaca yang menghujam ke dasar hati.

"Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi

Seketika dunia Amira runtuh. Ia menjerit, menangis, tubuhnya limbung jatuh ke lantai.

...*****...

"Andai saja penanganan tidak terlambat, mungkin saja Galen masih di sini bersamaku."

Duka itu masih belum reda bagi Amira meskipun sudah berhari-hari terlewati. Setiap detik yang berjalan, dia pakai untuk memikirkan anaknya yang telah tiada. Penyesalan datang tanpa henti. Andai saja tak terlambat, andai saja dari sore hari saat badannya sudah hangat Amira buru-buru langsung membawanya berobat, mungkin semuanya tidak akan berakhir seperti ini. Pikirnya.

Tapi sebanyak apapun dia meratap, waktu tidak bisa diputar ulang. Takdir sudah mengambil jalannya. Dulu, satu-satunya alasan Amira bertahan hidup hanya karena Galen. Namun, sekarang dia tak punya alasan itu lagi. Yang paling menyesakkan baginya sekarang adalah kenyataan dia masih ada di rumah penuh orang-orang munafik.

Bagaimana tidak munafik? Ketika Amira menangis pilu di atas pusara anaknya saat pemakaman, suami dan keluarganya memperlakukan Amira dengan penuh perhatian dan kasih sayang. Pelukan, kata-kata manis, semua itu hanya demi citra baik di mata orang-orang. Mereka lebih takut kehilangan nama baik ketimbang kehilangan nyawa seorang anak kecil bagian dari keluarganya.

Begitu kembali ke rumah, topeng pun dilepas. Mereka kembali menjadi diri mereka yang menyebalkan bin menyakitkan. Hati Amira semakin tercabik saat menyaksikan Ardi nyaris tak menunjukkan kesedihan sama sekali. Bahkan dengan entengnya, Ardi menasehati Amira agar tidak terlalu larut dalam tangis, sebab anak bisa dibikin lagi.

Amira mengembuskan napas berat.

Kepalanya sesak oleh pikiran yang menumpuk. Ia bangkit dari tempat tidur dan melangkah keluar berniat mencari udara dan juga pemandangan di belakang rumah. Melihat yang hijau-hijau, barangkali bisa sedikit meredakan sesak yang menggumpal di dada.

Namun baru sampai ruang tengah, suara yang tak asing menghentikan langkahnya. Suara kakak iparnya terdengar jelas dari arah ruang tamu sedang berbicara dengan Ardi.

"Ardi, kayaknya kakak butuh dana lagi. Kakak pakai duitmu lagi ya? Nanggung banget, rumah tinggal sedikit lagi selesai."

"Memangnya duit yang aku kasih minggu lalu masih kurang, Kak?"

"Kurang Di. Sekarang apa-apa serba mahal kan."

"Yaudah ini aku kasih lagi biar nggak mandek bikin rumahnya."

"Thankyou adikku."

Minggu lalu?

Amira terdiam. Ingatannya langsung melesat ke minggu lalu, dimana itu adalah sehari sebelum Galen demam tinggi dan ia kelimpungan mencari biaya berobat. Tidak ada uang untuk anak yang sakit, tapi ada untuk membangun rumah sang kakak? lucu sekali!

Seketika hatinya panas. Suara ibu mertuanya menyusul samar-samar tapi cukup untuk memicu bara api.

"Bagus. Kalian memang harus begini. Saudara itu harus saling membantu."

Bantu? Itu bukan bantuan. Itu kebiasaan kakaknya Ardi menumpang hidup, menyedot habis, tanpa pernah peduli balas budi.

Amira tak bisa lagi menahan. Sesuatu dalam dirinya pecah. Amira yang dulu, yang diam, mendadak mati bersama dengan kepergian sang anak. Yang berdiri sekarang adalah dirinya yang baru. Matanya menyapu ruangan dan berhenti pada sebuah tongkat kayu.

Tanpa banyak cincong ia menggenggam tongkat itu erat. Langkahnya berani sekali menghampiri tiga orang tersebut. Kalau benda-benda di ruangan itu bisa bicara, mereka berteriak menyemangati Amira. Hayo serampang mereka Amira! Begitu kira-kira bunyinya.

Awas kalian. Kali ini, Amira tak akan diam saja!

Tanpa Amira sadari, babak baru dalam hidupnya akan segera dimulai.

.

.

Bersambung.

Terpopuler

Comments

nowitsrain

nowitsrain

Yeuh Bambang, kalau mau istrinya bisa rawat diri ya lu bantuin rawat anak lah kocak. Hire baby sitter kek, apa kek. Marah-marah mulu lu

2025-05-03

1

nowitsrain

nowitsrain

Kadang bingung deh, orang kayak gini tuh motivasi buat nikahnya dulu apa?

2025-05-03

1

Muliana

Muliana

Plis deh, kamu tahu kan, kenapa seorang istri berubah bentuk tubuh? Ya, karena dia mengandung anakmu selama sembilan bulan. Dan kamu tahu juga kan, kenapa wanita tidak merawat bentuk tubuhnya setelah melahirkan? Ya, karena ia ingin memberikan hak anaknya dengan baik. Ia, ingin produksi asi anaknya lancar...

Kan, kan, jadi merepet, gara-gara kamu sih, jadi suami kok nyebelin /Panic/

2025-05-09

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!