NovelToon NovelToon
Garis Darah Pemburu Iblis

Garis Darah Pemburu Iblis

Status: sedang berlangsung
Genre:Sistem / Cinta Terlarang / Iblis / Budidaya dan Peningkatan
Popularitas:682
Nilai: 5
Nama Author: Aria Monteza

Saat gerbang Nether kembali terbuka, Kate Velnaria seorang Ksatria Cahaya terkuat Overworld, kehilangan segalanya. Kekuatan Arcanenya hancur di tangan Damian, pangeran dari kegelapan. Ia kembali dalam keadaan hidup-hidup, tetapi dunia yang dulu dikenalnya perlahan berubah menjadi asing. Arcane-nya menghilang, dan dalam bayang-bayang malam Damian selalu muncul. Bukan untuk membunuh, tetapi untuk memilikinya.
Ada sesuatu dalam diri Kate yang membangkitkan obsesi sang pangeran, sebuah rahasia yang bahkan dirinya sendiri tidak memahaminya. Di antara dunia yang retak, peperangan yang mengintai, dan bisikan kekuatan asing di dalam dirinya, Kate mulai mempertanyakan siapa dirinya sesungguhnya dan mengapa hatinya bergetar setiap kali Damian mendekat.
Masa lalu yang terkubur mulai menyeruak, membawa aroma darah, cinta, dan pengkhianatan. Saat kebenaran terungkap, Kate harus memilih antara melawan takdir yang membelenggunya atau menyerahkan dirinya pada kegelapan yang memanggil dengan manis.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aria Monteza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 6. Di Balik Cahaya yang Redup

Keesokan harinya, saat matahari baru naik dari ufuk timur dan menerangi pesisir pantai dengan kilau keemasannya, Orion kembali memanggil timnya untuk berlatih. Suasana pagi ini berbeda. Tidak ada latihan sihir, tidak ada duel antar elemen. Hari ini, Orion sendiri yang turun tangan dan sasarannya jelas adalah Kate.

"Latihan hari ini," ujar Orion sambil menatap seluruh tim dengan sorot mata tajam, "akan fokus pada pertarungan fisik."

Tim langsung bersorak kecil, terutama Danzzle yang tampak bersemangat karena tidak perlu mempertontonkan kekuatan sihirnya yang payah. Sementara itu Lyra, seperti biasa, hanya mendengus kesal begitu tahu Kate pasti dilibatkan lagi.

Orion memanggil Kate maju ke tengah lapangan berpasir yang dibangun khusus di dekat pantai.

"Kau dan aku. Tanpa sihir, hanya serangan fisik," kata Orion singkat.

Kate sempat terdiam, memandang Orion dengan ekspresi datar. Namun dia tidak menolak. Ia melangkah ringan ke tengah lapangan.

"Mulai," perintah Orion, tanpa memberi aba-aba panjang.

Kate langsung bergerak, cepat seperti kilat. Orion yang mengira gadis itu hanya akan bergerak secepat biasa, hampir kehilangan keseimbangan saat Kate menerobos pertahanannya dengan gerakan yang nyaris tak terlihat. Sebuah pukulan ke arah perutnya membuat Orion mundur satu langkah ke belakang, matanya melebar.

”Cepat sekali!” pikir Orion.

Ia segera menegakkan tubuhnya dan menyiapkan postur bertahan, kali ini lebih serius. Kate tidak memberinya kesempatan untuk berpikir. Dengan kelincahan yang menakjubkan, gadis itu berputar ke samping, mencoba menjatuhkan Orion dengan teknik bantingan sederhana. Orion menghindar di detik terakhir, tetapi lengannya tetap tertangkap oleh cengkeraman Kate dan untuk sesaat, ia kehilangan keseimbangannya.

Dari kejauhan, Jasper, Danzzle, dan bahkan Lyra mulai terdiam menonton. Kate bergerak bagai angin. Ringan, cepat, hampir tanpa suara. Jika dibandingkan dengan serangan sihirnya yang kemarin lemah dan canggung, hari ini Kate seperti menjadi sosok yang sepenuhnya berbeda.

Orion mulai terdesak. Tiap kali ia berusaha membalas serangan, Kate sudah menghindar satu langkah lebih cepat. Beberapa kali Orion mencoba menyerang balik, tapi serangannya seperti menghantam bayangan. Tubuh mungil Kate benar-benar menghilang dan muncul kembali di titik-titik tak terduga.

“Tubuh itu, bukan tubuh seorang ksatria level Bunga Kehidupan biasa!” batin Orion semakin yakin.

Akhirnya dengan gerakan cepat Orion menarik jarak dan mengangkat tangan, menghentikan pertarungan.

"Cukup," ujar Orion dengan napas sedikit memburu.

Kate segera menghentikan serangannya dan menundukkan kepala kecilnya, seakan meminta maaf. Namun tidak ada keangkuhan di wajahnya. Tidak ada senyum kemenangan. Hanya ketenangan dan kesedihan samar yang mengalir dari matanya.

Orion menarik napas panjang, mengatur kembali emosinya. Sementara itu, anggota lain yang melihat kejadian itu mulai berbisik-bisik.

"Kenapa dia bisa secepat itu?" bisik Jasper pada Danzzle.

"Aku tidak tahu," jawab Danzzle bingung. "Sepertinya dia lebih lincah dari pada pelatih-pelatih kita."

Hanya Lyra yang tetap memasang wajah tidak puas, meskipun jelas ia juga tidak bisa menyangkal kemampuan Kate yang baru mereka lihat.

Orion kembali mendekati Kate. "Tidak buruk," ujarnya pendek, tetapi suaranya lebih lembut dari biasanya. "Kau mungkin tidak kuat dalam sihir, tapi dalam pertarungan fisik kau punya sesuatu."

Kate hanya mengangguk kecil, tidak berkata apa-apa. Dalam hati, dia tahu pertarungan tadi hanyalah sebagian kecil dari apa yang sebenarnya bisa ia lakukan. Saat ini, dia hanya ingin diam di bawah radar. Belum waktunya menunjukkan semuanya. Belum saatnya memperlihatkan siapa dirinya yang sebenarnya hingga hari di mana ia bisa menghancurkan Damian tiba.

"Mulai besok," lanjut Orion sambil menatap Kate dalam-dalam, "kau akan ikut dalam pelatihan fisik penuh bersama kami."

Kate kembali mengangguk patuh, sementara dalam hatinya, semangat kecil mulai menyala perlahan. Hari itu, di bawah sinar mentari yang bersinar di atas laut, babak baru dalam perjalanan Kate dimulai, sebagai gadis biasa yang menyimpan potensi luar biasa.

Latihan fisik hari itu berlangsung lebih intens dari biasanya. Kate berusaha mengikuti pola latihan Orion dan rekan-rekannya, menggerakkan tubuhnya dengan cekatan, menghindar, menyerang, bertahan.

Sinar matahari mulai terik, membuat pasir pantai membara. Peluh membasahi tubuh mereka, tetapi tak seorang pun berniat berhenti. Kate menyerang Orion dengan pukulan cepat, tetapi karena lengah sesaat kakinya terpeleset di pasir licin. Tubuh mungilnya nyaris terjatuh keras ke tanah. Sebelum ia sempat menyentuh tanah sepenuhnya, sebuah tangan kuat menangkap tangannya. Namun begitu tangan Orion menyentuh telapak tangan Kate, sesuatu yang aneh terjadi.

"Agh!" Orion mendesis pelan, refleks melepaskan genggaman tangannya.

Kate jatuh terduduk di pasir, dengan ekspresi sama terkejutnya seperti Orion.

Orion memandang telapak tangannya, yang terasa seperti terbakar sejenak saat menyentuh sesuatu di tangan Kate. Matanya tajam menatap jemari Kate dan di sanalah dia melihatnya, sebuah cincin hitam kemerahan, dengan kilauan gelap samar seperti bara api yang hampir padam. Seketika, hawa dingin bercampur panas menyelimuti udara di antara mereka. Tanpa menunggu, Orion berlutut dan meraih tangan Kate untuk memeriksa lebih dekat.

"Apa ini?" tanya Orion dengan nada serius, nadanya mendesak.

Kate menahan napas, matanya membelalak saat melihat bagaimana mata Orion menatap lurus ke arah cincinnya.

Orion mendekatkan wajahnya, memperhatikan cincin itu dengan penuh kehati-hatian. Dari sudut pandangnya, aura hitam samar mengalir pelan keluar dari permukaan logam cincin itu, berdesir seperti asap tipis.

"Ini, bukan barang biasa," gumam Orion. Ia segera menatap Kate dan berkata tegas, "Kalau kau ingin berlatih di sini, lepaskan dulu cincin ini. Setidaknya saat bertarung."

Namun Kate tidak segera merespons. Sebaliknya, ia menatap Orion penuh keterkejutan dan ketidak percayaan.

"Ka...kau bisa melihatnya?" suara Kate nyaris berbisik.

Orion mengernyit, "Tentu saja aku melihatnya. Cincin hitammu ini hampir membakar tanganku."

Kate menundukkan wajahnya. Selama ini, selama lima tahun penuh tak seorang pun pernah melihat cincin itu. Bahkan para tabib, ksatria, atau sesepuh yang pernah memeriksanya, hanya melewatkan cincin itu seolah benda itu tidak pernah ada.

Itu sebabnya Kate tak pernah menyembunyikannya karena bagi mata orang lain, cincin itu tidak terlihat. Dan kini, seorang seperti Orion bisa melihatnya.

"Kau belum menjawab," tekan Orion, nada suaranya penuh curiga. "Dari mana cincin ini? Apa hubunganmu dengan energi gelap ini?"

Kate menggigit bibir bawahnya, berjuang antara ketakutan dan kebingungan. Namun akhirnya ia berdiri perlahan, menghindari tatapan Orion.

"Aku minta maaf. Aku harus pergi."

Tanpa menunggu izin, Kate membalikkan badan dan berlari meninggalkan lapangan latihan, menyusuri jalanan berpasir menuju kastil.

Orion hanya bisa berdiri mematung, memandang punggung kecil itu menjauh. Keningnya berkerut dalam-dalam.

“Siapa sebenarnya Kate? Dan mengapa dia membawa sesuatu yang berbau Nether, tapi tetap terlihat bersih?” Pikiran Orion dipenuhi tanya.

***

Langkah kaki Kate bergema pelan di antara lorong-lorong sunyi kastil. Melewati pilar-pilar batu dan jendela kaca patri yang berdebu, akhirnya ia tiba di tempat tujuannya yaitu perpustakaan utama.

Ruangan itu luas dan remang, diterangi cahaya lilin-lilin kecil yang tergantung di dinding. Rak-rak buku menjulang tinggi, menyimpan ribuan kitab tua yang sebagian besar sudah lapuk dimakan usia.

Kate menarik napas dalam-dalam, berusaha menghilangkan kegelisahan yang menggerogoti dadanya. Tanpa buang waktu, ia mulai menyusuri rak demi rak, jari-jarinya menelusuri punggung-punggung buku tua. Ia mencari informasi tentang cincin ini.

Selama bertahun-tahun, sejak ia melarikan diri dari kegelapan Damian, Kate tidak pernah berhenti mencari jawaban. Bagaimana cara melepaskan cincin ini? Bagaimana memutus takdir yang dipaksakan kepadanya?

Tapi hasilnya selalu nihil.

Bahkan di perpustakaan besar di kota asalnya, tempat para Ksatria Cahaya bertahun-tahun berkumpul dan berbagi pengetahuan, tidak ada satu pun catatan tentang cincin terkutuk ini.

Kate mengeluarkan desahan frustrasi, menumpuk beberapa buku di meja baca, membuka halaman demi halaman. Sebagian berbicara tentang perjanjian jiwa, kutukan warisan, atau penyegelan makhluk Nether. Namun tidak ada yang menyentuh langsung topik tentang cincin seperti miliknya. Cincin yang hanya bisa dilihatnya, dan mengikat jiwanya dengan rantai tak kasat mata.

Jari Kate gemetar ketika ia meraih sebuah buku tua berjudul Kontrak Tersembunyi antar Dunia. Ia membaca perlahan, halaman demi halaman. Namun setelah beberapa menit membaca, ia kembali mendapati kekecewaan. Semua teori dalam buku itu terlalu umum, tidak satupun membahas cincin itu.

Akhirnya Kate memejamkan matanya, membiarkan kepalanya terkulai di atas meja kayu kasar. Amarah membuncah di dalam dadanya. Ingatan itu menyeruak dengan jelas, hari ketika Damian memakaikan cincin ini di jarinya. Saat ia dipaksa menjadi mempelai wanita di pesta pernikahan pangeran Nether.

“Kau milikku, selamanya,” suara Damian menggema di kepalanya, dingin dan menyesakkan.

Kate mengepalkan tangannya kuat-kuat. Selama cincin ini ada, tidak peduli seberapa jauh ia berlari, ia tetap milik Damian. Terikat oleh kontrak jiwa yang tak pernah ia setujui. Selama ini ia hanya boneka yang berusaha memutus tali takdir yang mengikat. Kate membuka matanya perlahan, menatap langit-langit perpustakaan yang kelam.

"Sampai kapan?" bisik Kate lirih. "Sampai kapan aku harus hidup dalam bayang-bayangmu?"

Tiba-tiba, saat pikirannya penuh dengan keputusasaan, cincin di jarinya berdenyut pelan seperti merespons emosinya. Cahaya hitam samar mengalir dari cincin itu, hanya sesaat sebelum lenyap seolah tidak pernah ada.

Kate menarik lengan jubahnya untuk menyembunyikan tangan itu. Ia tahu, setiap kali emosi negatifnya memuncak, cincin itu menjadi lebih aktif dan itu berarti, Damian mungkin merasakannya.

“Jika tidak ada jalan untuk melepaskan cincin ini, maka aku akan menemukan cara untuk menghancurkannya bersama sumber kekuatannya,” batin Kate penuh tekad.

Dan untuk itu ia harus menjadi lebih kuat, bahkan jika harus bertarung melawan seluruh dunia. Dengan langkah berat, Kate kembali berdiri dan menatap rak-rak buku dengan tekad baru. Jika di sini tidak ada jawabannya, maka ia akan mencarinya di tempat lain. Bahkan jika harus menjelajahi dunia terlarang sekalipun.

Kate tidak akan menyerah. Bukan kali ini.

***

Malam itu, angin pantai bertiup lembut, membawa aroma asin yang menenangkan. Kate berbaring di atas ranjang sederhana di kamarnya, mendengarkan deru ombak yang berdebur dari kejauhan. Tubuhnya kelelahan setelah hari panjang yang melelahkan, dan tak butuh waktu lama sebelum kantuk menyeretnya ke dalam dunia mimpi.

Awalnya, mimpinya terasa hampa. Hanya ada kegelapan yang pekat dan udara yang terasa dingin menusuk tulang. Lalu... suara itu datang.

"Kate..."

Suara itu lembut nyaris seperti bisikan, tetapi jelas memanggil namanya. Ada desakan halus di dalamnya, sebuah panggilan penuh kerinduan dan kekuasaan.

"Pulanglah..."

Kate berbalik, berusaha mencari arah datangnya suara itu. Kabut mulai menyingkir perlahan, memperlihatkan sebuah jalan batu yang asing dan berliku. Dengan langkah ragu, ia mengikuti jalan itu, jantungnya berdetak lebih cepat seiring suara itu semakin mendekat. Sampai akhirnya ia melihat sosok itu.

Damian.

Pria itu berdiri di ujung jalan berbatu, diterangi cahaya redup seakan bulan itu sendiri tunduk di hadapannya. Rambut hitam legamnya berkilau, dan mata merah gelapnya menatap dengan tajam menusuk jiwa.

Ia tetap sama seperti dalam ingatan Kate. Tampan, agung, tetapi membawa hawa bahaya yang tidak bisa disangkal. Dengan tersenyum lembut, Damian membuka tangannya, seolah mengundangnya mendekat.

"Sudah terlalu lama, Kate," ucap Damian, suara itu dalam dan menenangkan, seakan memanggil sisi terdalam hatinya.

Sejenak, kaki Kate membeku. Lalu naluri bertahan hidupnya berteriak dan ia membalikkan badan, berlari menjauh secepat yang ia bisa. Namun jalan itu berputar, meliuk aneh seperti labirin, dan tanpa tahu bagaimana, Kate berlari lurus ke arah pelukan Damian.

Lengannya yang kuat itu segera melingkari tubuhnya, menahan erat, seakan takkan pernah melepaskan lagi. Kate meronta, menghantam dada Damian dengan segenap tenaga. Namun seolah dunia ini dibangun dari kehendak Damian sendiri, tubuhnya terasa ringan dan tak berdaya.

"Ssshh..." bisik Damian di telinganya. "Tak perlu lari. Aku di sini untukmu."

Kate menatap ke atas, berusaha melawan pesonanya. Sayangnya kata-kata manis itu menusuk telinganya seperti racun yang merusak kehendaknya.

"Aku akan menjagamu, Kate," lanjut Damian, suaranya seperti alunan musik yang membius. "Takkan ada lagi rasa sakit. Tak ada lagi kesendirian."

Kate memalingkan wajah, mengatupkan rahangnya. "Tidak," bisiknya, penuh kebencian. "Aku tidak mau."

Damian mengusap rambutnya lembut, seakan menghadapi anak kecil yang keras kepala.

"Kau sudah terikat padaku. Kita ditakdirkan bersama, Kate. Tak peduli seberapa jauh kau berlari, jiwamu akan selalu kembali padaku."

Dalam pelukan itu, Kate bisa merasakan denyutan cincin di jarinya, bergetar hebat seakan mengingatkannya tentang kebenaran yang pahit. Ia mengumpulkan sisa keberaniannya, menyalakan seluruh tekad dalam dirinya, lalu mendorong Damian dengan keras.

Kilatan cahaya meledak di antara mereka. Seketika dunia mimpi itu berguncang, kabut tebal menelan segala sesuatu dalam kekacauan. Kate terbangun dengan terengah-engah di ranjangnya, keringat dingin membasahi dahinya. Matanya melebar menatap langit-langit kamar yang gelap.

Tangannya bergerak cepat memegang cincin di jarinya. Masih ada di sana, panas, berdenyut, seolah mengejek usaha kecilnya untuk melawan. Kate memeluk lututnya, berusaha mengatur napas.

Damian...

Pria itu masih bisa menjangkaunya bahkan dari alam mimpi. Selama cincin ini ada, dia akan terus memburunya.

Kate mengepalkan tinjunya dengan keras. "Suatu hari," bisiknya dengan suara gemetar, "aku akan memutuskan rantai ini. Aku bersumpah."

Di luar jendela, suara ombak tetap berdebur, tetapi malam terasa lebih dingin dan sunyi dari biasanya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!