Satu tubuh, dua jiwa. Satu manusia biasa… dan satu roh dewa yang terkurung selama ribuan tahun.
Saat Yanzhi hanya menjalankan tugas dari tetua klannya untuk mencari tanaman langka, ia tak sengaja memicu takdir yang tak pernah ia bayangkan.
Sebuah segel kuno yang seharusnya tak pernah disentuh, terbuka di hadapannya. Dalam sekejap, roh seorang dewa yang telah tertidur selama berabad-abad memasuki tubuhnya. Hidupnya pun tak lagi sama.
Suara asing mulai bergema di pikirannya. Kekuatan yang bukan miliknya perlahan bangkit. Dan batas antara dirinya dan sang dewa mulai mengabur.
Di tengah konflik antar sekte, rahasia masa lalu, dan perasaan yang tumbuh antara manusia dan dewa… mampukah Yanzhi mempertahankan jiwanya sendiri?
Atau justru… ia akan menjadi bagian dari sang dewa selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cencenz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5: Melawan Diri Sendiri
Hari berganti, dan pagi ujian terakhir pun tiba.
Langit di atas Sekte Tianhan diselimuti kabut tipis. Angin berhembus lembut namun menggigit, membawa aroma dedaunan lembap dan tanah dingin. Para calon murid berkumpul di pelataran luas di depan aula utama, di mana para tetua sekte berdiri di atas panggung batu. Suasana lebih hening dari biasanya, semua tahu, inilah tahap penentuan.
Senior Lu Ming melangkah ke depan, mengenakan jubah biru panjang yang berkibar lembut. Wajahnya tetap tenang, tapi sorot matanya tajam.
"Tahap ketiga adalah ujian ketahanan mental. Tak ada pedang, tak ada pertarungan. Tapi banyak yang gugur di sini."
Ia menatap satu per satu para murid, hingga akhirnya pandangannya singgah sebentar pada Yanzhi, lalu beralih.
"Kalian akan masuk ke Formasi Cermin Jiwa. Di dalamnya, kalian akan menghadapi bayangan terdalam dari diri kalian sendiri—ketakutan, rasa bersalah, atau luka yang belum sembuh. Jika kalian goyah… formasi akan menolak kalian."
Suasana kian tegang.
Satu per satu nama dipanggil. Para murid masuk ke dalam formasi batu melingkar yang terukir simbol-simbol kuno. Saat nama Yanzhi dipanggil, ia melangkah maju dengan napas terkendali. Tapi di dalam dadanya, jantungnya berdetak keras.
Ia berdiri di tengah formasi. Angin berhenti. Dunia mendadak sunyi.
Lalu…
Semuanya berubah.
Ia berada di hutan yang sunyi itu lagi. Tempat dia mencari tanaman obat, sebelum semuanya berubah. Tapi kali ini, hutan itu terasa berbeda, seolah menyimpan bayangan gelap yang tak bisa ia lupakan.
Suara langkah berat terdengar dari balik kabut, semakin dekat, makin nyata. Wajah-wajah yang ia kenal mulai muncul—anggota klan, tetua, bahkan bayangan ayahnya sendiri.
Namun bukan wajah penuh kasih yang menyambutnya, melainkan nada dingin penuh tuduhan.
"Kenapa cuma kamu yang selamat? Kenapa kami harus mati sementara kau masih berdiri?"
"Kau yang membawa kutukan itu. Karena kau, semua ini hancur."
"Kau hanya beban. Beban yang tak pantas hidup."
"Seharusnya kau sudah ikut mati bersama kami. Kenapa kau terus melangkah?"
Yanzhi menggenggam tangan hingga terkepal, dadanya sesak. Suara-suara itu bukan hanya amarah, tapi juga rasa sakit yang dalam, rasa bersalah yang menghantui setiap langkahnya.
Ia ingin berteriak, membantah, tapi kata-kata itu terperangkap di tenggorokannya.
Satu hal yang pasti: ia tak bisa lari dari bayang-bayang masa lalu itu.
Dan dari balik sosok-sosok itu, muncul satu bayangan… dirinya sendiri. Tapi dengan mata merah menyala, senyum sinis, dan aura membakar.
"Kau tak bisa bertahan tanpa bantuan," kata sosok itu. "Semua yang kau banggakan cuma topeng. Kau hanya boneka yang diisi kekuatan orang lain."
Yanzhi menggertakkan giginya, tapi hatinya goyah.
Ia bukan hanya dihantui oleh kematian klannya, tapi juga kenyataan pahit bahwa kini ia berdiri bukan karena kekuatannya sendiri. Bahwa api yang menyelamatkannya… bukan miliknya.
Kebanggaannya runtuh perlahan, digerus suara yang terdengar terlalu jujur.
Yanzhi terpaku, tubuhnya membeku oleh bayang-bayang masa lalu yang menghantui. Rasa bersalah dan tekanan yang menggunung membuatnya hampir kehilangan kendali.
"Kenapa aku masih berdiri? Kenapa aku yang selamat, bukan mereka?"
Matanya mulai samar, tubuhnya goyah. Ia merasa seluruh dunia menuntutnya untuk menyerah.
"Aku bahkan... bahkan tak bisa melindungi siapa pun."
"Saat mereka bertarung demi hidupku, aku hanya bisa menonton, tak berguna."
"Sekarang pun, aku cuma bisa berdiri karena kekuatan orang lain... bukan karena diriku sendiri."
Tangannya bergetar. Pandangannya menunduk, nyaris jatuh ke tanah. Suara-suara di sekelilingnya memudar menjadi gema kosong. Dunia terasa menyesakkan.
Tiba-tiba, suara roh api bergema di dalam kepalanya, kasar namun penuh tekad.
"Berhenti! Kau bukan korban yang harus tenggelam dalam penyesalan."
"Dengar aku, Yu Yanzhi. Kalau kau mati di sini karena lemah, itu sama saja menghianati mereka."
Kehangatan api perlahan mengalir dalam darahnya, membakar keraguan dan ketakutan.
Yanzhi memejamkan mata. Napasnya berat, tapi mulai teratur. Kata-kata roh itu menggema di pikirannya, kasar, tapi tak bisa disangkal.
"Aku... nggak bisa terus seperti ini."
Ia membuka mata perlahan, cahaya samar mulai kembali di matanya. Tangannya berhenti gemetar. Di tengah ilusi dan bayangan masa lalu, ia mencengkeram satu-satunya hal yang nyata, keinginan untuk bertahan.
"Aku mungkin lemah… tapi aku masih hidup," gumamnya lirih, hampir seperti mengingatkan dirinya sendiri. "Dan selama aku hidup, aku akan terus maju."
Bayangan dirinya yang bermata merah mendengus sinis.
"Maju dengan kekuatan yang bukan milikmu? Itu bukan keberanian, itu kepura-puraan."
Yanzhi mendongak, menatap sosok itu dengan tatapan yang tak lagi gentar.
"Kalau itu memang bukan milikku, aku akan membuatnya jadi milikku. Aku akan bertarung, bukan untuk membuktikan kehebatan… tapi untuk berdiri atas kakiku sendiri."
Seketika, api menyembur dari tubuhnya, bukan karena bantuan roh itu, melainkan dari tekad yang membara. Bayangan-bayangan di sekitarnya mulai retak, seperti kaca yang dihantam palu. Suara-suara cemoohan memudar.
"Ini ujian mental, bukan pengadilan masa lalu," ucap Yanzhi pelan namun tegas. "Aku tidak akan terjebak di sana selamanya."
Dengan satu langkah maju, ilusi itu hancur sepenuhnya. Hutan yang tadinya gelap dan penuh kabut sirna, digantikan oleh cahaya terang yang menyilaukan.
......................
Yanzhi terbangun di tengah arena ujian, tubuhnya basah oleh keringat, napas memburu. Para tetua penguji menatapnya dalam diam, sementara kristal ujian di tengah panggung memancarkan cahaya keemasan.
Salah satu tetua mengangguk pelan.
"Lulus."
Dan di dalam dirinya, suara roh api terdengar lagi, kali ini lebih pelan, hampir tidak terdengar.
"Kau berhasil… meski dengan caramu yang keras kepala."
Yanzhi tersenyum kecil, lelah tapi lega.
Langit mulai meredup ketika semua calon murid dikumpulkan kembali di aula utama Sekte Langit Dingin. Raut wajah mereka bervariasi, ada yang kelelahan, gugup, bahkan putus asa. Yanzhi berdiri di barisan tengah, tubuhnya masih terasa berat, tapi tatapannya tajam.
Di depan aula, Senior Lu Ming berdiri dengan tenang. Di sampingnya terdapat papan batu yang perlahan menampilkan nama-nama murid yang lolos.
"Selamat kepada kalian yang telah melewati ketiga tahap ujian. Sekarang, kalian adalah murid resmi Sekte Tianhan," ucap Lu Ming, suaranya tenang namun mengandung wibawa.
Satu per satu, nama-nama muncul di batu itu. Beberapa orang bersorak lega saat namanya tertera. Yanzhi hanya menunggu diam, napasnya pelan namun dalam.
Akhirnya…
"Yu Yanzhi."
Namanya muncul dengan cahaya merah keemasan samar di belakangnya, menandakan hasil luar biasa di ujian mental.
Beberapa calon murid menoleh ke arahnya. Ada yang terlihat kagum. Tapi ada pula yang memandang sinis, terutama mereka yang merasa gagal di tahap itu.
Dari samping, seorang pemuda mendekatinya. Rambut hitam pendek, tubuh ramping tapi sigap.
"Kamu… Yanzhi, ya?" katanya santai. "Aku Mo Ran. Ujian mentalmu luar biasa. Tapi kayaknya kita belum lihat kamu waktu di ujian kekuatan fisik ya? Kamu menyembunyikan kekuatan, atau emang cuma jago tahan mental?"
Nada ucapannya ramah, tapi ada sedikit tantangan terselip di dalamnya.
Yanzhi menatapnya tenang.
"Kalau penasaran, kita lihat saja nanti siapa yang bertahan paling lama saat pelatihan."
Mo Ran terkekeh.
"Wah, jawabannya menusuk. Aku suka."
Di sisi lain, beberapa murid yang lolos mulai membentuk kelompok kecil, saling berkenalan dan berbicara pelan. Yanzhi memperhatikan mereka dari kejauhan, awalnya ragu untuk mendekat.
Namun sebelum ia melangkah, suara Lu Ming kembali terdengar:
"Besok pagi, pelatihan resmi akan dimulai. Kalian akan dibagi ke dalam kelompok kecil untuk bimbingan lanjutan. Persiapkan diri kalian sebaik mungkin. Ingat, diterima di sekte ini bukan akhir perjuangan… tapi permulaan."
Setelah itu, para murid dibubarkan. Yanzhi berjalan sendirian ke asramanya, namun di dalam dadanya, ia tahu: ini baru awal. Dan jalannya di Sekte Langit Dingin… tidak akan mudah.
Di dalam, roh api itu bersuara lagi, datar tapi tak bisa disangkal.
"Kau boleh sombong sedikit. Tapi jangan lengah. Dunia ini tidak ramah pada orang keras kepala sepertimu."
Yanzhi hanya menghela napas pelan, lalu tersenyum tipis.
"Bagus. Karena aku juga nggak akan ramah pada dunia ini."
...****************...