NovelToon NovelToon
DARAH SOKA

DARAH SOKA

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Penyelamat
Popularitas:519
Nilai: 5
Nama Author: Chira Amaive

Shinkai. Sosok lelaki berusia 25 tahun. Ia tinggal di sebuah rumah sewa yang terletak tepat di sebelah toko bunga tempat ia berada saat ini. Toko bunga itu sendiri merupakan milik dari seorang wanita single parent yang biasa dipanggil bu Dyn dan memiliki seorang anak laki-laki berusia 12 tahun. Adapun keponakannya, tinggal bersamanya yang seringkali diganggu oleh Shinkai itu bernama Aimee. Ia setahun lebih tua dibanding Shinkai. Karena bertetangga dan sering membantu bu Dyn. Shinkai sangat dekat dengan keluarga itu. Bahkan sudah seperti keluarga sendiri.

Novel ini memiliki genre action komedi yang memadukan adegan lucu yang bikin tertawa lepas, serta adegan seru yang menegangkan dari aksi para tokoh. Adapun part tertentu yang membuat air mata mengalir deras. Novel ini akan mengaduk perasaan pembaca karena ceritanya yang menarik.

Yuk, baca kisah lengkap Shinkai dengan aksi kerennya!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chira Amaive, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 6

Suara jarum jam di sela-sela sunyi. Dini hari. Diselingi Shinkai dan Taza yang mengorok bersahut-sahutan. Taza tidur di sofa. Sedangkan Shinkai menggelar tikar di dekatnya. Ia sengaja tidak tidur di kamarnya.

PRANGGG!

Seketika keduanya terbangun cepat. Hilang sudah lelap itu. terutama suara ngorok yang bersahut-sahutan. Kini mereka dalam posisi tegak dengan kuda-kuda kokoh. Tatapan siaga. Sesekali keduanya saling memastikan keadaan. Keringat bercucuran deras. Malam itu memang sedang gerah-gerahnya.

“Jendelamu tidak pecah,” ucap Taza.

Shinkai berjalan cepat ke kamar tidur. Utuh. Kaca jendela kamarnya juga tidak pecah. Lantas, dari mana suara benda pecah itu berasal?

Lantai yang dingin membersamai langkah kedua pemuda itu. Sesekali mengelap peluh dengan telapak tangan.

WUSHHH.

Serempak, Shinkai dan Taza menghindar ke arah berlawanan. Sebuah senjata yang muncul entah dari mana melintas di tengah-tengah. Lantas mengenai foto Shinkai bersama Aimee, Neptune dan bu Dyn. Langsung jatuh dari dinding dan pecah.

Taza mendarata tidak sempurna pada akuarium kecil milik Shinkai.

“Hei, ikan-ikan hiasku baru bertambah besar.” Shinkai mengeluh.

“Itu yang kau permasalahkan, hah?”

Hening. Bahkan mereka mencoba meminimalisir suara napas. Saklar lampu ada di dekat bingkai pintu. Namun itu terlalu beresiko karena senjata kecil tajam tadi datang dari arah sana.Mereka tidak melihat bentuk senjata. Hanya saja, kehadiran senjata yang mendekat dapat disadari.

Warna putih pada dinding menempel di pakaian hitam Taza. Bersama basah disebabkan air pada akuarium. Untung saja, akuarium itu terbuat dari plastik. Di sisi lain, Shinkai melirik fotonya yang pecah. Bukan karena kenangan. Ia hanya memastikan untuk tidak menginjak beling-belingnya.

Menit-menit berlalu. Masih terpaku di posisi masing-masing. Belu ada pergerakan musuh. Juga belum bisa memastikan jumlah orang yang menyerang. Namun, Shinkai langsung mengingat wajah seorang pelanggan tadi pagi yang memberikannya sebuah kelopak bunga soka.

Sepintas benda putih muncul dari celah pintu.

“Kena, kau,” seru Shinkai, mantap. “Kami gelap, kau gelap. Mau beradu pertarungan raba-raba, hah.”

BRUKKK.

Shinkai berlari dan mendobrak pintu. Saat ada senjata serupa yang hendak menusuk kepala Shinkai, Taza muncul dan menangkis senjata kecil itu dengan sapu kayu. Ekspresi Shinkai sangat meremehkan karena ia tahu bahwa Taza akan menyusulnya.

“Ah, cara lemparan yang sama persis.” Ucap Taza.

Mereka melihat sosok misterius di dekat tong sampah besar depan rumah Shinkai.

Shinkai merebut sapu itu dari Taza dan melemparkannya ke arah seseorang di balik tong sampai. Lantas langsung berlari kencang untuk mengejar musuh yang hendak melarikan diri.

DHUAKKK.

Tendangan telak dari Shinkai mengenai penyusup.

WUSHHH.

Bantuan dari pihak lawan berupa senjata yang sama langsung melesat. Taza dapat dengan mudah menangkapnya tanpa terluka. Ia sudah bisa membaca cara kerja senjata itu.

WUSHHH.

Taza membalikkan senjata itu ke pemiliknya yang berada di atas pohon. Tepat mengenai kaki. Tak sampai di sana, si pemuda bermata sipit itu berlari kencang dan memanjat pohon untuk menangkap pelaku. Penampilan kedua orang misterius itu sama-sama menggunakan pakaian hitam dengan penutup wajah dan menyisakan kedua matanya yang terlihat. Walaupun demikian, raut wajah panik seperti tak tertutupi. Tampaklah wajahnya yang benar-benar panik saat Taza melepas topeng. Seorang pria paruh baya dengan kumis tebal.

“Aku tidak mengenalmu. Siapa di balik semua ini, hah?” Taza menginterogasi. Tetap dengan suara merdunya.

“Bunuh aku sekarang!” pinta pria itu.

“Enak saja aku harus memenuhi permintaanmu.”

Darah bekas senjata tajam kecil itu mengalir hingga jatuh ke tanah. Taza yang melihat langsung menekan bagian luka itu.

“ARGHHH. Hentikan!”

“Aku tidak akan membunuhmu. Aku akan menikmati jeritanmu,” ujar Taza.

“Sedang apa kau mengobrol seperti monyet di atas sana, heh. Orang-orang ini mengira bahwa mereka keren menggunakan pakaian maling kelas teri,” timpal Shinkai.

Pria yang bersama Taza itu melirik ke bawah. Tampak temannya yang diurus oleh Shinkai sudah babak belur hingga pipinya bengkak.

“Informasi apa yang kau dapatkan?” Taza bertanya.

“Percuma saja. Dia tidak membawa buah pir. Jadi aku menghajarnya,” jawab Shinkai.

“Cih, benar-benar otak konslet.” Taza menarik tubuh pria itu sambil melompat turun dari dahan.

“Sialnya, kita hanya menghabiskan waktu untuk menyusun strategi karena penjahat kelas teri ini.”

“Sebuah kepanikan yang sia-sia.”

Pada akhirnya, mereka melepas kedua orang yang menyerang itu. sebab mereka berpikir bahwa entah ditangkap atau dilepaskan tidak akan membawa pengaruh apapun. Kalaupun ditangkap, mereka bukanlah Sandra berharga untuk ketuanya. Namun semua senjata yang dibawa sudah diambil oleh Shinkai dan Taza untuk diselidiki lebih lanjut.

“Sejenis pisau? Tiga kali lebih kecil dari pisau dapur. Namun hanya bagian ujungnya yang tajam. Juga anti karat. Sangat ringan namun berbahaya. Tidak salah lagi. Ini adalah senjata tempaan klan Amev,” terang Taza.

“Ah, sekelompok orang yang sempat menculik Neptune pada tragedi itu.”

“Mungkin kita akan menjadi pengkhianat negeri jika melawan.”

“Sejak awal kita memang pemberontak.”

“Tak ada aksi tanpa sebab.”

“Begitupun kau. Tak ada acara menginap tanpa sebab. Tepat di malam kau menginap, serangan itu terjadi. Apa yang membawamu ke mari? Kau sudah memprediksi ini, hah?”

“Eh, kenapa kau jadi menginterogasiku?”

___ ___ ___

Asap mengepul di beberapa rumah yang dilewati oleh Shinkai dan Aimee.

“Uh, mereka sedang membakar sampah atau membakar rumah. asapnya pekat sekali!” keluh Aimee.

Kembali pada misi mengantar pesanan bunga. Aimee sempat mengomel panjang sebelum berangkat. Mengingat terakhir kali megantar bunga, Shinkai berulah bersama Neptune. Anak kecil yang sudah gemetar ketakutan itu tentu saja mengurungkan niatnya untuk ikut.

Kali ini pesanan bunga yang dibawa adalah lima macam bunga dengan warna yang berbeda. Masing-masing berjumlah dua tangkai. Walaupun di toko bu Dyn menjual bunga tanam juga, namun bunga yang sudah mekar dan telah dirangkai lebih banyak diminati. Biasanya digunakan untuk mendekorasi ketika acara special seperti pernikahan, hari ulang tahun, hingga hobi remaja perempuan. Atau hanya sekadar hadiah bagi orang tersayang. Bukan tanpa sebab. Bunga yang dibesarkan oleh bu Dyn dengan pelanggan yang membeli bibitnya selalu berbeda. Entah itu lebih subur, lebih cantik bahkan lebih besar dan mekar. Bu Dyn kerap kali disebut dengan ratu tumbuhan.

Shinkai melirik Aimee. Gadis itu tampak cemberut. Lantas kembali menunduk untuk memastikan sepuluh tangkai bunga yang dibawanya. Ia sampai hafal nama-nama jenis bunga karena sering membantu di toko sejak lima tahun lalu.

“Hanya karena menghirup asap. Kau sampai mendadak jadi pendiam dan kehilangan gairah hidup,” ujar Shinkai.

“Diam, kau!”

“Baiklah.”

Beberapa langkah kemudian. Sampailah pada jalan yang lebih hijau. Tanpa asap pekat mengepul itu lagi. Namun Aimee tak kunjung bersuara dan melihat ke arah Shinkai. Ia hanya menatap jalanan bersama mulut cemberut.

Lirikan yang ke sekian. Shinkai mulai jengkel, “Apa yang terjadi, hah? Kau memang cerewet dan menyebalkan. Tapi sungguh jauh lebih menyebalkan ketika kau menjadi pendiam. Ah, suasana hati perempuan memang paling sulit ditebak.”

Aimee menarik napas, “Vas kaca yang susah payah aku lukis sampai tidak tidur selama tiga hari pecah. Bahkan aku belum sempat menunjukkannya pada bu Dyn. Harusnya itu sangat cantik dimasukkan bunga kecil-kecil. Saat pagi, aku sudah menemukannya tergeletak di dekat rumahmu. Entah siapa yang melakukannya.”

“Itukah yang mengganggumu?”

“Tentu saja. Kau mana tahu betapa sulitnya membuat itu. inspirasi yang susah payah aku kumpulkan. Kini lenyap.”

“Ah, kau terlalu dramatis. Buat saja yang baru.”

“Tidak semudah itu! kau pikir ini sama dengan menambang berlian yang hanya mengandalkan tenaga, hah? Percuma saja aku bercerita kepadamu. Sebuah kesalahan karena aku mengungkapkan keluh-kesah pada lelaki tak berperasaan sepertimu!”

Perlahan, bulir demi bulir air mata Aimee mengalir. Bibirnya bergetar. Sembari menanggung malu karena Shinkai melihatnya. Tidak. ia seharusnya tidak pernah menangis di hadapan orang seperti Shinkai.

Namun, terasa tepukan lembut pada punggung Aimee. Tiga kali tepukan. Kemudian beralih ke pundak.

“Aku hanya bercanda. Aku hanya percaya dengan kemampuanmu untuk melukis lebih banyak vas kaca. Bahkan jauh lebih baik lagi. Maaf. aku sudah keterlaluan,” ucap Shinkai yang diakhiri dengan mengusap rambut Aimee.

Tangis gadis itu pecah seketika. Beruntung mereka tengah melintasi jalanan yang sepi penduduk.

Tepukan penenang yang menghangatkan.

Sesaat, Shinkai mengingat sesuatu. Itukah suara pecahan pada malam bersama Taza?

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!