Naya yakin, dunia tidak akan sekejam ini padanya. Satu malam yang buram, satu kesalahan yang tak seharusnya terjadi, kini mengubah hidupnya selamanya. Ia mengira anak dalam kandungannya adalah milik Zayan—lelaki yang selama ini ia cintai. Namun, Zayan menghilang, meninggalkannya tanpa jejak.
Demi menjaga nama baik keluarga, seseorang yang tak pernah ia duga justru muncul—Arsen Alastair. Paman dari lelaki yang ia cintai. Dingin, tak tersentuh, dan nyaris tak berperasaan.
"Paman tidak perlu merasa bertanggung jawab. Aku bisa membesarkan anak ini sendiri!"
Namun, jawaban Arsen menohok.
"Kamu pikir aku mau? Tidak, Naya. Aku terpaksa!"
Bersama seorang pria yang tak pernah ia cintai, Naya terjebak dalam ikatan tanpa rasa. Apakah Arsen hanya sekadar ayah pengganti bagi anaknya? Bagaimana jika keduanya menyadari bahwa anak ini adalah hasil dari kesalahan satu malam mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puji170, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33 DBAP
"Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Arsen. Nada suaranya datar, tapi matanya tajam, seolah ingin memastikan, apakah Zayan mendengar pembicaraannya dengan Dito tadi?
Zayan terdiam sesaat. Ia menggaruk tengkuknya dengan canggung sebelum menjawab, "Em... tadi aku sengaja nyari Paman. Aku panggil tapi nggak nyaut, jadi aku ikutin deh."
Arsen menajamkan pandangan. "Apa kamu dengar apa yang aku bicarakan dengan Dito?"
"Soal apa, Paman?" tanya Zayan balik, pura-pura tidak tahu. Wajahnya polos, tapi pikirannya penuh curiga. Ia sangat tahu, pamannya itu mandul. Jadi, bagaimana mungkin anak dalam kandungan Naya adalah darah daging Arsen? Tak masuk akal. Dunia ini memang aneh, tapi tidak seaneh itu. Satu hal yang kini diyakininya, semua ini pasti siasat Naya. Upaya untuk mengikat pamannya agar tetap jadi suaminya. Dan Zayan tidak akan membiarkan itu terjadi.
Arsen menghela napas pelan. Dalam hatinya ada kelegaan, setidaknya Zayan belum tahu kebenarannya. Tapi di saat yang sama, ada gelisah yang tak bisa ia redam. Hatinya terusik oleh satu pikiran, cepat atau lambat, Naya pasti tahu kenyataan itu. Lebih baik mendengar dari dirinya langsung, daripada dari orang lain.
"Oh, jadi sebenarnya kenapa kamu nyari aku?" tanyanya pelan, mencoba mengalihkan.
Zayan mengangguk ringan. "Cuma mau ingetin soal makan malam, Paman. Eh... Paman Dito juga ikut, kan?"
"Aku?" sahut Dito agak terkejut.
"Iya, Paman Dito. Mau ikut?" tanya Zayan, berusaha mencairkan suasana yang sempat tegang.
Dito melirik ke arah Arsen, lalu menimbang sejenak. Ia ingat, hari ini kakeknya datang ke rumah kakeknya Nisa. Perjodohan itu makin nyata. Bebannya terasa berat, dan ia butuh seseorang untuk berbagi cerita dan tempat untuk bisa melarikan diri. Dibandingkan harus bersembunyi di dalam toilet seperti ini, bukankah lebih baik datang ke rumah keluarga Alastair untuk makan?
"Baiklah, aku ikut. Lumayan, makan gratis," jawab Dito, berusaha terdengar santai.
"Kalau gitu, aku keluar dulu, ya," pamit Zayan. Arsen dan Dito hanya mengangguk, membiarkannya pergi, masing-masing tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Sementara itu, Zayan buru-buru pulang untuk memberitahu semuanya pada Puput, agar ibunya bisa menyelesaikan masalah ini. Ia tidak akan membiarkan Naya mengikat pamannya seumur hidup.
Hanya butuh waktu tiga puluh menit hingga Zayan tiba di rumah. Di ruang tamu, ia melihat ibu dan ayahnya sedang berbincang seperti biasa.
"Ayan, kamu pulang sendiri? Mana Paman dan Naya?" tanya Puput. Sebenarnya makan malam ini disiapkan Puput untuk meminta maaf pada Naya, atas perbuatan Zayan yang sudah memberikan obat hingga membuat Naya harus menjalani hidup yang berat.
Beberapa hari terakhir, Puput memang menyelidiki perilaku anaknya. Ia tahu Zayan tidak sebaik yang selama ini ditampakkannya. Namun, sebagai ibu, ia belum tega menjatuhkan hukuman. Zayan adalah putra satu-satunya, dan Puput masih berharap bisa mengubahnya dengan cara yang lebih lembut.
"Bu, Yah, ada yang mau aku sampaikan," ucap Zayan begitu duduk di sofa. Napasnya ditarik dalam, wajahnya tampak serius.
"Tentang apa?" tanya Roki dengan tenang.
"Tentang Paman dan Naya, Bu... Yah."
Puput menghela napas pendek. "Zayan, jangan bilang kamu mau buat masalah lagi. Ibu nggak akan biarkan kamu terus merugikan orang lain."
"Bu, dengarkan dulu. Jangan langsung menyalahkan," ucap Roki, lembut. Ia menatap istrinya penuh pengertian. "Dia anak kita, kita dengarkan dulu apa yang mau dia katakan."
"Iya, Ibu tahu... Tapi—"
Roki mengusap punggung tangan Puput dengan hangat. "Ibu... tenang dulu, ya. Kita dengerin dulu. Belum tentu Zayan salah."
"Iya, Bu..." Zayan menunduk sedikit. "Akhir-akhir ini Ibu kelihatan seperti nggak percaya sama aku. Aku memang sering pergi dan tidak pulang, tapi itu buat belajar juga. Aku cuma pengen nunjukin kalau aku bisa jadi dokter hebat kayak Paman." Ucapannya membela diri padahal sudah sangat jelas diluar sana ia hanya bermain-main dan menghabiskan uang keluarganya.
Puput menatap Roki dan Zayan bergantian. Rasanya seperti terjebak di tengah dua sisi yang bertentangan. Ia tahu persis, anaknya tidak sebaik yang ditunjukkan, tapi suaminya selalu memilih untuk membela. Puput tak ingin memperkeruh suasana dengan perdebatan yang hanya akan mengikis keharmonisan keluarga mereka. Maka, dengan berat hati, ia memilih mengalah setidaknya untuk saat ini. Ia akan menasihati Zayan pelan-pelan, dengan cara yang lebih halus, berharap putranya masih bisa berubah.
"Baiklah, ada apa antara Pamanmu dan Naya?" tanya Puput.
"Iya, cerita saja Nak, jangan ada yang ditutupi," imbuh Roki dengan senyuman samarnya.
Zayan menarik napas dalam-dalam, lalu mulai menceritakan apa yang didengarnya di kamar mandi tadi, percakapan antara Arsen dan Dito.
"...Begitu, Bu, Yah... Kasihan Paman Arsen," tutup Zayan, suaranya terdengar serius meski ia berusaha terlihat tenang.
Roki mengangguk pelan. "Sayang, sepertinya Zayan ada benarnya. Adik kamu itu orang baik, meskipun dari luar terlihat dingin. Kamu sendiri pernah bilang hidup Naya penuh penderitaan, kan? Tapi justru karena itu, aku khawatir dia sedang memanfaatkan Arsen. Kita harus bantu buka mata Arsen sebelum terlambat."
"Iya, Bu. Kasihan Paman kalau sampai ditipu. Naya itu nggak sebaik yang Ibu kira, loh. Aku memang salah waktu itu, tapi itu kesalahan yang masih bisa dimaafkan. Tapi sekarang bukan soal aku lagi, ini tentang Paman," timpal Zayan, berusaha meyakinkan ibunya.
Puput diam, menimbang setiap kata dari anak dan suaminya. Ia sangat menyayangi Arsen, satu-satunya saudaranya dan tak sanggup membayangkan jika adiknya kembali terjatuh. Dulu, dia sudah salah karena memaksakan pernikahan itu. Dan kali ini, ia tak ingin kesalahan yang sama terulang.
"Baik... Kalau begitu, Ibu akan bicara padanya," akhirnya ucap Puput pelan.
Namun Roki langsung menyela, lembut tapi tegas, "Sayang, kalau kamu langsung bicara ke Arsen, dia bisa saja runtuh. Coba dekati Naya dulu. Ingatkan dia baik-baik."
"Benar itu, Bu," sambung Zayan cepat.
Puput tampak ragu sejenak. "Tapi..."
"Bu, sekarang Paman sedang sangat peduli sama Naya. Kalau Ibu bicara langsung ke Paman, aku rasa... semuanya akan sia-sia," potong Zayan, matanya menatap ibunya penuh keyakinan.
Dan tepat di saat itu, pintu terbuka. Arsen, Naya, dan Dito masuk bersamaan.
Puput langsung berdiri, refleks. Wajahnya seketika berubah, antara gugup dan waspada. Begitu pula Zayan yang buru-buru mengatur ekspresinya, berusaha tampil biasa saja.
Arsen melangkah masuk dengan tenang, matanya sekilas menatap wajah Kakanya dan Zayan tak ada senyum, hanya sorot tajam yang sulit dibaca. Naya menyusul di belakangnya, terlihat lelah namun tetap menjaga sopan santun. Ia tersenyum kecil ke arah Puput, mencoba menyapa, namun hanya mendapat anggukan datar.
"Maaf, kami telat," ucap Arsen pelan, lalu duduk. Suaranya terdengar biasa, tapi dingin, nyaris tak berperasaan.
Dito ikut duduk di samping Zayan, menyandarkan punggungnya dan menatap langit-langit. Ia tahu, malam ini akan panjang.
Suasana tiba-tiba terasa menegang. Roki mencoba mencairkan dengan berkata, "Ayo, kita mulai makan. Makanan sudah dingin, nanti malah nggak enak dimakannya."
Puput belum beranjak. Ia menatap Naya, lalu Arsen. Hatinya terasa berat. Ia tahu, jika ia tidak bicara malam ini, kesempatan itu bisa lenyap. Tapi sebelum ia membuka suara, Arsen lebih dulu menoleh padanya.
terimakasih