Di malam pertunangannya, Sahira memergoki pria yang baru saja menyematkan cincin pada jari manisnya, sedang bercumbu dengan saudara angkatnya.
Melihat fakta menyakitkan itu, tak lantas membuat Sahira meneteskan airmata apalagi menyerang dua insan yang sedang bermesraan di area basement gedung perhotelan.
Sebaliknya, senyum culas tersungging dibibir nya. Ini adalah permulaan menuju pembalasan sesungguhnya yang telah ia rancang belasan tahun lamanya.
Sebenarnya apa yang terjadi? Benarkah sosok Sahira hanyalah wanita lugu, penakut, mudah ditipu, ditindas oleh keluarga angkatnya? Atau, sifatnya itu cuma kedok semata ...?
"Aku Bersumpah! Akan menuntut balas sampai mereka bersujud memohon ampun! Lebih memilih mati daripada hidup seperti di neraka!" ~ Sahira ~
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ASA : 09
"Sayang ... kau sudah pulang? Mengapa tak ada kasih kabar?” Arimbi terlihat begitu bahagia, melangkah lebar dan langsung memeluk erat suaminya yang sudah lima hari tak ia jumpai.
Thariq mengusap pucuk kepala istrinya, meskipun tak ada cinta dihatinya, ia memperlakukan Arimbi dengan baik. "Siapa yang mengantarmu, asistenmu kah?"
“Iya, Adisty.” Arimbi mengecup dada suaminya dibalik baju, mengeratkan lingkaran tangan pada punggung tegap. "Aku kangen sekali."
“Ayo kita makan malam bersama, saya lapar.” Thariq melepaskan pelukan mereka.
‘Kapan kau bisa mencintaiku Thariq? Setelah semua yang kulakukan, hatimu tetap saja membeku,’ batinnya meratap pilu, tetapi ekspresi wajahnya terlihat biasa, sebiasa ia mendapati perlakuan terkesan dingin suaminya.
Bukan cuma penghuni rumah yang menduduki kursi makan, tapi ketiga asisten rumah tangga juga ikut makan malam bersama. Keluarga Alamsyah, tidak pernah membedakan kasta, mereka menganggap semua orang sama rata statusnya.
Namun, tidak begitu dengan Arimbi, ia terlihat risih bergabung satu meja dengan para pelayan. Pada awal pernikahan dulu, dirinya pernah protes, tetapi langsung diserang Mustika dengan kalimat-kalimat tajam.
Dentingan sendok memenuhi ruang makan, taka ada yang bersuara. Mereka semua menikmati menu lezat olahan nyonya rumah.
Mustika dan Ayda, tidak mempedulikan bagaimana Arimbi mencoba bermanja, meminta disuapi oleh suaminya.
Selesai makan malam, pemilik rumah berpindah duduk di ruang keluarga yang luas, ada televisi berukuran besar dan juga pajangan guci serta potret keluarga.
“Tengok lah ini Ma! Malam Minggu besok kita coba yuk?” Mustika sedang menunjukkan menu baru restoran Nusantara kepada sang ibu, melalui ponsel.
“Kayaknya enak. Sejak kapan restoran terkenal itu mengeluarkan menu baru?” Ayda menatap foto hidangan yang tersaji dengan penuh minat.
“Dalam bulan ini, sudah 4 kali Resto Nusantara membuat menu baru dan langsung menjadi menu favorit. Lihat saja review-nya di media sosial, bintang 5 Ma. Rata-rata komentar para penikmatnya sama ‘Lezat’.” Tika me scroll ponselnya.
“Wajib kita coba ini! Kau tak ingin ikutan, Arimbi?” Ayda menatap menantunya yang memeluk lengan Thariq.
“Malas Ma, semua menu mereka berlemak tak bagus bagi tubuh. Bikin melar, dan kulit tak sehat.” Arimbi menggeleng menolak ajakan ibu mertuanya.
“Tak jauh berbeda dengan Wita resto kan, Kak? Disana pun lebih banyak menu berkuah santan, berlemak, ketimbang masakan sehat menurut versi Kakak,” sindir Mustika tanpa melihat kakak iparnya.
“Sekarang sudah dikurangi, apalagi semenjak kaburnya Sahira_” Arimbi langsung mengerem laju mulutnya, ia keceplosan.
“Kemana rupanya adikmu itu?” kening Ayda mengernyit.
Arimbi mengedikkan bahunya, menjawab acuh tak acuh. “Tak tahulah Ma, mungkin minggat bersama laki-laki. Dari dulu dia itu susah di atur, seenaknya sendiri. Padahal keluarga ku telah begitu baik dan menyayanginya.”
Thariq diam saja, tidak mau ikut pembicaraan yang sepertinya akan berujung perdebatan antara Arimbi dan adiknya, dikarenakan dari dulu jarang akur.
“Baik apanya? Kalian itu sama sekali tak pernah mengikutkan serta dirinya saat acara keluarga ataupun pesta. Sosoknya hanya sebatas nama tanpa rupa, tapi selalu membesar-besarkan dengan mengatakan telah mengangkat anak dan membiayai pendidikan hingga sarjana, agar apa coba? Ingin dipandang sebagai keluarga dermawan kah?” Mustika menatap serius kakak ipar yang wajahnya memerah.
“Jaga ucapan mu, Tika! Dia nya saja tak mau, lebih suka berkumpul dengan teman-teman yang tak jelas asal-usulnya,” cela Arimbi.
“Tak mau atau_”
“Mustika!” Thariq menekankan nama adiknya.
Arimbi tersenyum puas, ia merasa menang karena dibela suaminya, lalu menyandarkan kepala pada lengan Thariq.
“Apa sudah bisa saya menyampaikan kabar berita?” Thariq menegakkan punggung, otomatis sang istri mendongak meminta penjelasan.
“Duduklah yang benar Arimbi!” pintanya.
Raut Arimbi terlihat kesal, tetapi dia menurut, rasa penasaran bercokol di hatinya, tak biasanya sang suami meminta perhatian penuh dari para anggota keluarga.
Thariq menatap lembut sang ibu yang duduk di sampingnya, berbeda sofa. “Ma, dulu saya pernah mengatakan telah merenggut mahkota seorang wanita sebelum menikahi Arimbi, Mama masih ingat kan?”
Bukan cuma Bu Ayda yang terlihat terkejut, tubuh Mustika tegang, dan Arimbi menahan napas.
“Iya, Mama masih ingat. Ada apa Nak?” bila berbicara dengan putra sulungnya, dia menggunakan nada sedang dan kata-kata tertata, tak asal ceplos seperti dengan Mustika dan para pelayan, dikarenakan Thariq sekaku almarhum suaminya.
“Saya telah menemukannya, dan berencana menikahinya dalam waktu dekat,” begitu lugas dia mengutarakan.
“Aku nggak setuju! Takkan sudi dimadu! Batalkan rencana kejam itu Thariq!” Arimbi histeris, ia mengguncang lengan suaminya. "Siapa dia? Beritahu aku siapa Jalang itu!"
"Jaga ucapan mu, Arimbi! Untuk saat ini, belum saatnya kau mengetahui siapa dia!" Rahang Thariq mengetat, tatapannya sangatlah tajam menatap netra bergetar istrinya.
Bu Ayda dan juga Mustika tidak tahu harus menanggapi seperti apa, ekspresi mereka sama terkejutnya.
“Biar ku ingatkan! Dulu dirimu sendiri yang berjanji, bersedia dimadu kalau dia ditemukan,” tatapan Thariq sudah tidak setajam tadi, tapi intonasi nadanya masih datar.
Sebelum menikahi Arimbi, Thariq berterus terang tentang malam panas itu. Baik keluarga Wiguna, ibu dan adiknya, serta Arimbi telah mengetahui dan mereka membuat kesepakatan.
“Aku setuju dikarenakan pada waktu itu pencarianmu tak jua membuahkan hasil. Sekarang dengan kita sudah menikah sekian lama, mana mungkin aku ikhlas menerima wanita lain di dalam rumah tangga kita!” Arimbi memekik, air matanya mengalir deras.
“Aku mohon, jangan perlakukan aku seperti ini Thariq! Tak masalah bila sikapmu kaku, dingin, menjaga jarak, tapi tidak dengan menikah lagi! Aku tak bisa menerimanya.” Ia menangis, meracau seraya memukuli dada bidang suaminya.
Thariq membiarkan saja sang istri melampiaskan kekesalannya. “Keputusan ini sudah bulat, tak bisa lagi diganggu gugat! Janji tetaplah janji yang wajib ditepati. Saya meminta persetujuan mu, bila kau tak mau dan enggan dimadu … silahkan mundur dari pernikahan ini, Arimbi!”
Pernyataan itu bagaikan dentuman keras. Arimbi berhenti memukul dada Thariq, ia menatap tak percaya. “Sampai hati kau berkata seperti itu? Lantas, apa artinya hampir dua tahun pernikahan kita?”
Pria berkemeja abu-abu itu menghela napas panjang, mencoba bersabar dalam memberikan pengertian. Ia paham bila hal ini tak muda bagi istrinya.
“Dari awal kau paham mengapa pernikahan kita bisa terjadi. Saya sudah berusaha menumbuhkan rasa itu, tetapi tetap tak berhasil! Dirimu pun tahu, namun memilih bertahan daripada mencari kebahagiaan di luar sana.”
“Aku mencintaimu, sangat amat mencintaimu! Tak peduli bila perasaan ini tak berbalas, asal kau ada di sisiku sebagai seorang suami. Apa kehadiranku sama sekali tak berarti, Thariq?” Arimbi menutup wajahnya, ia menangis tergugu.
"Rimbi, tak ada yang bisa mengendalikan perasaan seseorang, apalagi memaksanya untuk mencintai, sedangkan hatinya tak merasakan hal tersebut_”
“Aku tak mau dengar!” Arimbi menutup telinganya lalu beranjak, berlari menaiki undakan tangga menuju kamar mereka.
Thariq tetap tenang, tak ingin memaksa apalagi bertindak gegabah.
Bu Ayda berpindah tempat duduk disamping sang putra, tempat yang tadi diduduki oleh Arimbi. “Nak, apa ini hanya sebatas tanggung jawab semata, atau ada rasa yang telah tumbuh?”
Thariq mengelus lengan ibunya, saat mau menjawab, tiba-tiba ponselnya berdering. Ia bergegas mengeluarkan dari saku celana, keningnya berkerut, tidak biasanya Sahira menelepon.
"Halo ….” sapanya lembut.
“Abang bisa datang ke apartemen tidak? Itu, em ….”
Mendengar nada terbata-bata, seperti seseorang menahan sakit, Thariq bertindak diluar kebiasaannya. Melupakan kalau ibu dan adiknya sedang memperhatikan.
“Ada apa? Kau baik-baik saja 'kan? Katakanlah! Jangan buat saya cemas!” cecarnya.
.
.
Bersambung.
Kamu bermain di mana ty???
kaya bunglon 🤓
kaya ada clue
Thoriq sebenarnya sudah tau niat awal Sahira 😃🤔