"Aku tidak mencintaimu, Raya. Kau hanya pelengkap... sampai dia kembali."
Itulah kalimat pertama yang Raya dengar dari pria yang kini secara sah menjadi suaminya, Arka Xander — CEO dingin yang membangun tembok setebal benteng di sekeliling hatinya.
Raya tak pernah memilih jalan ini.
Di usia yang baru dua puluh tahun, ia dipaksa menggantikan kakak tirinya di altar, menikah dengan pria yang bahkan tak ingin melihat ke arahnya.
Pernikahan mereka adalah rahasia keluarga—dan dunia mengira, kakak tirinya lah yang menjadi istri Arka.
Selama dua tahun, Raya hidup dalam bayang-bayang.
Setiap pagi, ia tersenyum palsu, berusaha tidak berharap lebih dari tatapan kosong suaminya.
Sampai suatu malam, satu kesalahan kecil—sepotong roti—mengubah segalanya.
Untuk pertama kalinya, Arka menatapnya bukan sebagai pengganti... melainkan sebagai wanita yang menggetarkan dunianya.
Namun, ketika cinta mulai mekar di tengah dinginnya hubungan, masa lalu datang menerjang tanpa ampun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Lestary, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch : Enam
"Raya, kau tidak perlu melakukan ini," katanya datar, tanpa menoleh. "Aku tidak memintanya."
"Aku tahu," jawab Raya cepat. Tangannya tetap terangkat, sendok berisi bubur mengarah ke mulut Arka dengan penuh kesabaran.
Melihat Arka tidak juga membuka mulut, Raya menghela napas pelan. Ia menurunkan sendok dan memandang pria itu dengan tatapan getir.
"Baiklah," ucapnya pelan, setengah berbisik. Ia hendak berdiri, namun tiba-tiba Arka menggerakkan kepalanya sedikit, sekilas menatap Raya, lalu dengan enggan membuka mulut.
Raya tersenyum kecil—senyum tipis yang lebih ditujukan untuk dirinya sendiri daripada untuk Arka—ia kembali duduk dan perlahan menyuapkan bubur ke mulut pria itu.
Arka mengunyah pelan, tanpa komentar. Ia kembali menunduk, matanya fokus pada kertas-kertas di tangannya seolah tidak ada yang spesial dari apa yang sedang terjadi.
Suasana menjadi hening, hanya diwarnai suara sendok yang kadang beradu pelan dengan mangkuk. Setiap suapan yang Raya berikan seolah mengikis sedikit demi sedikit jarak yang selama ini membentang di antara mereka—walau Arka berusaha mati-matian mempertahankan dinding tak terlihat itu.
Setelah beberapa suap, Arka akhirnya berkata, tanpa mengangkat wajahnya, "Kau terlalu banyak membuang waktumu untuk sesuatu yang sia-sia."
Raya terdiam mendengar ucapan itu, namun ia memilih untuk tidak menanggapinya. Ia tahu, jika ia menjawab, mungkin dinding itu akan kembali mengeras.
*
Keesokan harinya, Raya hampir tidak pernah jauh dari sisi Arka.
Ketika pagi, sebelum Arka membuka mata, sudah ada secangkir teh hangat dan obat yang terletak rapi di nakas. Ia menemukan Raya tertidur di sofa kamarnya, menggenggam sebuah buku yang belum selesai dibacanya.
Namun tetap saja, Arka memperlakukan semua itu seperti angin lalu. Ia menerima teh hangat itu tanpa sepatah kata, menelan obat dengan wajah tanpa ekspresi, lalu kembali pada dunia pekerjaannya, seakan kehadiran Raya hanyalah bayangan.
Pagi itu, saat Arka baru selesai mandi, ia mendapati setelan bajunya sudah disiapkan di ranjang, lengkap dengan dasi yang sudah dilipat rapi.
Raya berdiri tak jauh, menunduk sedikit, tampak canggung.
"Aku—aku pikir... kau akan lebih nyaman kalau semuanya sudah siap," gumamnya cepat.
Arka hanya melirik sekilas. "Aku tidak butuh perlakuan seperti ini, Raya."
Kalimatnya tajam, membuat udara di antara mereka terasa dingin. Tapi Raya hanya tersenyum kecil, pura-pura tidak terluka.
"Aku tahu," bisiknya lirih. "Tapi aku tetap ingin melakukannya."
Arka menghela napas panjang, kemudian mengenakan pakaiannya tanpa berkata apa-apa lagi.
Siang harinya, saat Arka berkutat dengan laptopnya, Raya diam-diam mengantarkan semangkuk sup hangat ke meja kecil di sudut kamar.
"Kau belum makan siang," katanya sambil meletakkan sendok di samping mangkuk.
"Aku tidak lapar."
Suara Arka dingin dan malas. Ia bahkan tidak mengalihkan pandangannya dari layar laptop.
Raya menunduk, menggenggam jemarinya sendiri yang gemetar kecil. "Baiklah. Aku akan letakkan di sini saja. Kalau kau lapar... kau bisa memakannya."
Tidak ada balasan. Hanya suara ketikan cepat dari laptop yang terdengar.
Raya menarik napas dalam, berusaha menahan perih di dadanya, lalu melangkah mundur perlahan, keluar dari kamar.
Malamnya, ketika Arka akhirnya merasa sedikit pusing karena memaksakan diri bekerja seharian, ia mendapati sebuah lampu aroma terapi menyala redup di kamarnya, menguar wangi lavender yang menenangkan.
Di sebelah nakas, ada secarik catatan bertuliskan tulisan tangan kecil:
"Kalau merasa pusing, jangan dipaksa bekerja, ya. Aku sudah siapkan minuman hangat di dapur."
- Raya
Arka memandang catatan itu lama sekali, sebelum akhirnya meremasnya tanpa ekspresi dan membuangnya ke tempat sampah.
Namun, saat ia melangkah ke dapur, ia tetap mengambil cangkir minuman yang telah disiapkan Raya dan meneguknya perlahan dalam diam.
Entah kenapa, malam itu, Arka tidur sedikit lebih nyenyak.
*
Hari kedua cuti Raya. Matahari belum tinggi saat ia sudah sibuk di dapur apartemen. Aroma roti panggang dan kaldu rebusan perlahan memenuhi ruangan, menciptakan kehangatan yang lembut.
Di kamar, Arka membuka matanya perlahan. Tanpa sadar, matanya menatap ke arah nakas. Tak ada cangkir teh di sana pagi ini. Tidak juga suara langkah kaki lembut atau ketukan pelan di pintu.
Awalnya ia tidak peduli. Tapi saat menit demi menit berlalu, ada yang terasa berbeda. Bukan karena ia membutuhkan kehadiran Raya, tentu tidak. Tapi karena keheningan itu... terasa asing. Padahal selama dua tahun ini mereka hidup dalam kesunyian.
Dengan malas, Arka duduk dan menoleh ke arah pintu yang masih tertutup. Sedangkan kemarin, di waktu seperti ini, Raya akan masuk dengan segelas air hangat atau sekadar bertanya apakah ia sudah bangun.
Hari ini tidak.
Ia mengalihkan pandangan, meraih laptopnya. Namun jemarinya tidak langsung menyentuh keyboard. Entah mengapa pikirannya tidak bisa fokus.
Arka bangkit.
Ia membuka pintu kamar dan melangkah ke luar, menelusuri lorong apartemen dengan langkah tenang—sedikit enggan, tapi tetap berjalan.
Di dapur, ia mendapati Raya sedang berdiri membelakanginya, menyendok bubur ke dalam mangkuk. Rambutnya ia gulung seadanya, dan kaus yang ia kenakan terlihat kebesaran, seperti kebiasaan lama yang dulu sering diabaikan Arka.
“Kau tidak tidur lagi?” tanya Arka, suaranya lebih pelan dari biasanya, meski masih terdengar datar.
Raya menoleh cepat, sedikit terkejut. “Ah... aku pikir, kau akan lebih suka sarapan pagi-pagi.”
Arka tidak menjawab. Ia hanya menatap Raya sebentar, lalu duduk di kursi makan, sikapnya masih tenang, tapi tak seacuh biasanya.
Raya menghidangkan bubur di depannya tanpa banyak bicara.
“Aku tahu kau tak suka hal manis di pagi hari, jadi aku buat versi tawar.”
Ia lalu berjalan mengambil gelas untuk dirinya sendiri, duduk agak jauh dari Arka. Mereka makan dalam diam, tapi anehnya, keheningan itu tidak setegang biasanya. Justru terasa... ringan.
Sore harinya, saat Arka sibuk menelpon seseorang di ruang kerjanya, Raya masuk sebentar hanya untuk mengambil selimut yang sempat tertinggal.
Arka sempat menoleh.
"Besok kau kembali bekerja?" tanyanya singkat saat telepon ditutup.
Raya mengangguk. “Iya. Masa cutiku habis.”
Tak ada balasan dari Arka. Ia hanya menatap layar laptop lagi.
Raya hendak keluar, tapi sebelum ia benar-benar meninggalkan ruangan, Arka membuka suara lagi—nyaris seperti gumaman.
“Kalau... kau butuh tambahan cuti, bilang saja ke Pak Edwin. Dia mudah diajak bicara.”
Raya terdiam di ambang pintu. Kalimat itu bukan permintaan. Juga bukan perhatian yang jelas.
Ia menoleh sebentar. “Baik. Terima kasih.”
Seperti biasanya, Arka tidak menjawab.
Tapi saat pintu tertutup kembali, senyum kecil muncul di wajah Raya.
Dan di belakang meja kerjanya, Arka menatap layar kosong cukup lama sebelum akhirnya kembali mengetik.
To Be Continued >>>
km sbg suaminya raya sja tak mmberinya kpastian tentang posisi raya... apa lgi km jga GAJE... mmbiarkn masa lalumu hidup bebas dlm satu atap dgnmu dan raya....
rmh tangga macam apa ini arka........