NovelToon NovelToon
Life After Marriage: My Annoying Husband

Life After Marriage: My Annoying Husband

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Seiring Waktu / Enemy to Lovers / Cintapertama
Popularitas:46
Nilai: 5
Nama Author: Aluina_

Keira Anindya memiliki rencana hidup yang sempurna. Lulus kuliah, kerja, lalu menikah dengan pria dewasa yang matang dan berwibawa. Namun rencana itu hancur lebur saat ayahnya memaksanya menikah dengan anak rekan bisnisnya demi menyelamatkan perusahaan.
Masalahnya calon suaminya adalah Arkan Zayden. Pria seumuran yang kelakuannya minus, tengil, hobi tebar pesona, dan mulutnya setajam silet. Arkan adalah musuh bebuyutan Keira sejak SMA.

"Heh Singa Betina! Jangan geer ya. Gue nikahin lo cuma biar kartu kredit gue gak dibekukan Papa!"

"Siapa juga yang mau nikah sama Buaya Darat kayak lo!"

Pernikahan yang diawali dengan 'perang dunia' dan kontrak konyol. Namun bagaimana jika di balik sikap usil dan tengil Arkan, ternyata pria itu menyimpan rahasia manis? Akankah Keira luluh atau justru darah tingginya makin kumat?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aluina_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

18

Pagi hari yang cerah di hari Minggu seharusnya menjadi waktu yang tepat untuk bersantai sambil menikmati kopi dan koran. Namun di meja makan keluarga Zayden, suasana damai adalah sebuah kemewahan yang langka.

Arkan duduk di kursinya dengan wajah ditekuk. Di pipi kanannya tercetak jelas jejak merah berbentuk lima jari yang sempurna. Bekas tamparan Keira semalam rupanya cukup awet dan belum hilang sepenuhnya meskipun dia sudah mengompresnya dengan es batu selama lima belas menit.

Mama Rina yang baru turun dari tangga langsung memekik heboh saat melihat wajah putra kesayangannya.

"Ya ampun Arkan! Pipi kamu kenapa merah begitu? Kayak habis ditampar orang sekampung," tanya Mama Rina sambil memegang dagu Arkan dan memutar wajahnya ke kiri dan ke kanan.

Keira yang sedang mengoles selai nanas di rotinya langsung tersedak. Dia batuk-batuk kecil sambil melirik Arkan dengan tatapan memohon. Jangan bilang yang sebenarnya, isyarat mata Keira berteriak.

Arkan melirik Keira sekilas lalu tersenyum miring. Ide jahil langsung muncul di otak kreatifnya.

"Oh ini Ma. Biasalah. Tanda cinta dari Keira. Semalam Keira gemas banget sama Arkan. Saking semangatnya mau nyium pipi Arkan, eh malah kebablasan jadi nampar sedikit. Namanya juga pengantin baru Ma. Masih kikuk," jawab Arkan dengan nada bangga yang dibuat-buat.

Keira melotot horor. Dia ingin sekali menyumpal mulut Arkan dengan roti tawar utuh.

Mama Rina bukannya marah malah tertawa terbahak-bahak sampai memukul lengan Papa Wijaya yang sedang anteng minum kopi.

"Aduh Pa! Denger tuh. Menantu kita agresif banget ternyata. Bagus itu Keira. Lanjutkan. Arkan itu emang kadang mukanya minta ditampar biar sadar kalau dia udah punya istri," dukung Mama Rina sepenuh hati.

Papa Wijaya hanya geleng-geleng kepala sambil tersenyum simpul. "Pelan-pelan Ra. Kasihan aset berharga Arkan kalau lecet. Nanti nilai jualnya turun."

Keira hanya bisa tersenyum kaku sambil mengunyah rotinya dengan dendam. Awas lo Arkan. Nanti malam gue tampar pipi kirinya biar seimbang.

"Nah karena kalian sudah bangun dan terlihat sangat bersemangat, hari ini kita akan pergi jalan-jalan," umum Mama Rina tiba-tiba.

"Jalan-jalan ke mana Ma? Ke Puncak? Macet Ma. Males," keluh Arkan.

"Bukan ke Puncak. Kita ke mall. Mama mau belanja perlengkapan bayi. Mama mau nyicil beli baju cucu biar nanti pas hamil enggak repot," kata Mama Rina dengan mata berbinar.

Sendok di tangan Keira jatuh berdenting ke piring. Hamil saja belum, benihnya saja belum ditanam, ini sudah mau beli baju? Mertuanya ini benar-benar visioner tingkat dewa.

"Ma, pamali atuh beli baju bayi sebelum hamil. Nanti aja kalau udah tujuh bulan," tolak Arkan berusaha logis.

"Enggak ada pamali-pamalian. Ini namanya doa dan afirmasi positif. Pokoknya kalian harus ikut. Mama mau pilihin kereta bayi yang paling bagus buat cucu Mama nanti," tegas Mama Rina tidak mau dibantah.

Arkan dan Keira saling pandang lalu menghela napas panjang secara bersamaan. Minggu tenang mereka resmi dibatalkan.

Dua jam kemudian mereka sudah berada di salah satu pusat perbelanjaan mewah di Jakarta Pusat. Mama Rina berjalan paling depan dengan semangat empat lima, menggandeng Papa Wijaya yang pasrah. Sementara Arkan dan Keira berjalan gontai di belakang seperti dua anak TK yang dipaksa ikut ibunya arisan.

Arkan memakai kaos polo putih dan celana pendek selutut, memamerkan betisnya yang berbulu halus. Keira memakai gaun santai selutut bermotif bunga-bunga. Mereka terlihat serasi, pasangan visual yang membuat beberapa pengunjung mall menoleh kagum.

"Ra, kalau nanti Mama nyuruh lo nyobain baju hamil, pura-pura pingsan aja ya. Biar kita bisa pulang cepet," bisik Arkan merencanakan strategi kabur.

"Lo aja yang pingsan. Badan lo kan gede, pasti Mama panik kalau lo ambruk. Kalau gue yang pingsan paling cuma dikasih minyak kayu putih terus disuruh lanjut belanja," balas Keira logis.

Mereka sampai di sebuah toko perlengkapan bayi yang sangat besar dan mewah. Isinya barang-barang bermerek yang harganya bisa buat bayar cicilan rumah subsidi.

"Wah lucu-lucu banget!" pekik Mama Rina saat melihat deretan sepatu bayi mungil.

Mama Rina langsung sibuk memilih-milih baju jumpsuit bergambar hewan. Dia mengambil satu yang bergambar jerapah.

"Arkan, Keira, sini liat. Lucu kan? Bayangin kalau anak kalian pakai ini. Pasti gemes banget," kata Mama Rina sambil menempelkan baju kecil itu ke dada bidang Arkan.

Arkan menatap baju jerapah itu dengan tatapan datar.

"Ma, ini leher jerapahnya kepanjangan. Nanti anak Arkan dikira ondel-ondel," komentar Arkan asal.

"Hus! Mulutnya. Ini fashion. Keira, kamu suka warna apa? Pink atau biru? Kita beli dua-duanya aja ya buat jaga-jaga kalau kembar," tanya Mama pada Keira.

Keira tersenyum canggung. Dia memegang kain baju bayi yang lembut itu. Entah kenapa, hatinya berdesir aneh. Membayangkan ada mahluk kecil perpaduan dirinya dan Arkan memakai baju ini.

"Warna kuning aja Ma. Netral. Bisa cowok bisa cewek," usul Keira pelan.

"Pinter! Mama ambil lusinan warna kuning!" Mama Rina langsung memborong rak itu.

Mereka beralih ke bagian kereta bayi atau stroller. Di sana terpajang stroller canggih dengan berbagai fitur. Ada yang rodanya besar seperti roda traktor, ada yang bisa dilipat jadi tas jinjing, bahkan ada yang berlapis emas.

Mata Mama Rina langsung tertuju pada stroller berwarna emas yang mentereng di tengah ruangan.

"Nah ini dia! Ini cocok buat cucu keluarga Zayden. Elegan dan mewah," seru Mama Rina.

Arkan mendekat dan melihat label harganya. Matanya membelalak.

"Tiga puluh juta? Ini kereta bayi apa mobil bekas? Mahal amat Ma. Rodanya dari apa? Dari vibranium?" protes Arkan pelitnya kumat.

"Arkan, cucu Mama itu harus diperlakukan seperti raja. Tiga puluh juta itu murah dibanding kenyamanan anak kamu nanti. Liat nih suspensinya empuk banget," Mama Rina menggoyang-goyangkan kereta itu.

"Tapi Ma, bayi itu cuma tidur doang kerjaannya. Ditaruh di keranjang pasar juga tidur dia," kata Arkan lagi.

Keira mencubit pinggang Arkan. "Jangan malu-maluin. Masa anak lo mau ditaruh di keranjang pasar. Emangnya anak kucing."

"Ya maksud gue enggak usah yang emas juga kali Ra. Norak. Nanti diculik orang dikira harta karun berjalan," bela Arkan.

Tiba-tiba seorang pramuniaga datang menghampiri mereka.

"Selamat siang Pak, Bu. Ada yang bisa dibantu? Ini model terbaru limited edition. Kalau Bapak mau coba, silakan," tawar pramuniaga itu ramah.

"Coba gimana Mbak? Kan enggak ada bayinya," tanya Arkan polos.

"Bisa pakai boneka peraga Pak. Sebentar saya ambilkan," pramuniaga itu mengambil sebuah boneka bayi seukuran asli yang agak menyeramkan karena matanya melotot terus.

"Nih Pak Arkan, coba didorong-dorong. Latihan jadi bapak siaga," kata pramuniaga itu menyerahkan kereta bayi.

Arkan dengan ragu memegang gagang kereta bayi itu. Dia mulai mendorongnya pelan keliling toko. Keira memperhatikannya dari samping.

Arkan yang tinggi tegap, bertato kecil di lengan, mendorong kereta bayi emas dengan wajah serius. Pemandangan itu terlihat... manis. Sangat manis.

Arkan berhenti di depan cermin besar. Dia menatap pantulan dirinya dan kereta bayi itu. Dia membayangkan jika di dalamnya ada bayi sungguhan. Bayi yang memiliki mata bulat seperti Keira dan hidung mancung sepertinya.

Senyum tipis terbit di bibir Arkan.

"Gimana Pak? Cocok kan?" tanya pramuniaga.

"Lumayan. Manuvernya oke. Bisa buat nge-drift di tikungan enggak Mbak?" tanya Arkan bercanda.

"Jangan aneh-aneh Arkan. Bayi orang bisa muntah kalau lo ajak nge-drift," omel Keira yang sudah berdiri di sebelahnya.

Arkan menoleh ke Keira. "Ra, lo mau nyoba dorong enggak?"

Keira menggeleng. "Enggak ah. Gue takut nabrak etalase."

"Sini gue ajarin," Arkan menarik tangan Keira dan meletakkannya di gagang kereta. Arkan berdiri di belakang Keira, melingkarkan tangannya untuk memegang gagang yang sama. Posisi mereka seperti sedang berpelukan dari belakang.

Jantung Keira berpacu cepat. Toko itu ramai, tapi dia merasa dunia hanya milik berdua. Arkan menumpukan dagunya di bahu Keira.

"Berat enggak?" bisik Arkan di telinga Keira.

"Enggak. Enteng banget," jawab Keira gugup.

"Nanti kalau udah ada isinya pasti lebih berat. Tapi gue janji gue yang bakal dorong terus. Lo tinggal jalan cantik aja di sebelah gue sambil bawa tas belanjaan," kata Arkan.

Keira tertawa kecil. "Enak aja. Lo pikir gue asisten lo."

Mama Rina dan Papa Wijaya memperhatikan mereka dari kejauhan dengan senyum lebar.

"Liat Pa. Mereka cocok banget kan? Mama yakin sebentar lagi doa Mama terkabul," bisik Mama Rina haru.

Papa Wijaya mengangguk setuju. "Biarkan mereka menikmati prosesnya Ma. Jangan terlalu dipaksa."

Acara belanja itu berakhir dengan Mama Rina memborong setengah isi toko. Baju bayi, sepatu, topi, selimut, mainan gigit, sampai stroller emas itu pun dibeli dan minta dikirim ke rumah. Arkan hanya bisa pasrah melihat notifikasi tagihan kartu kredit papanya yang jebol.

Saat makan siang di food court, kejadian konyol terjadi lagi. Mereka duduk di meja panjang. Di sebelah meja mereka ada seorang ibu muda yang sedang kerepotan menyuapi anaknya yang balita. Anak itu rewel dan melempar makanannya ke mana-mana.

Tiba-tiba sebuah wortel rebus melayang dan mendarat tepat di jidat Arkan.

Arkan kaget. Dia mengambil wortel itu dari jidatnya. Dia menoleh ke arah balita tersangka pelemparan itu. Balita itu malah tertawa senang melihat Arkan.

"Heh Bocil. Lo punya masalah apa sama gue? Kenapa lo lempar gue pakai wortel? Gue bukan kelinci," omel Arkan pada balita itu.

Ibu muda itu buru-buru minta maaf. "Maaf Mas. Anak saya lagi aktif-aktifnya. Maaf ya."

"Enggak apa-apa Mbak. Anak Mbak punya bakat jadi atlet lempar lembing kayaknya. Akurasinya tinggi," jawab Arkan santai sambil mengelap jidatnya dengan tisu.

Keira tertawa melihat kejadian itu. "Tuh kan, anak kecil aja gemes sama jidat lo yang lebar itu."

Arkan cemberut. Dia mengambil wortel itu dan memainkannya.

"Liat aja nanti. Anak gue bakal gue ajarin sopan santun sejak dalam kandungan. Kalau dia lempar makanan, gue lempar balik pakai duren," canda Arkan.

"Sadis amat jadi bapak. Dilaporin Komnas Anak baru tau rasa," kata Keira.

Tiba-tiba balita itu menangis kencang karena mainannya jatuh. Ibunya berusaha menenangkan tapi gagal. Suara tangisannya membahana membuat pengunjung lain terganggu.

Arkan yang tidak tahan mendengar suara tangisan berdiri. Dia menghampiri meja sebelah. Dia mengambil mainan mobil-mobilan yang jatuh itu.

Lalu Arkan mulai melakukan aksi konyol. Dia membuat wajah jelek, menjulurkan lidah, dan memutar matanya ke atas. Dia menari-nari kecil seperti monyet sirkus di depan balita itu.

"Ciluk ... Baaa! Liat Om Ganteng nih! Uuu ... Tayo mau lewat! Ngeeeng!" Arkan menirukan suara mobil.

Ajaibnya, balita itu berhenti menangis. Dia menatap Arkan dengan mata bulatnya yang basah, lalu tertawa kikik.

"Hahaha! Om aneh! Om lucu!" celoteh balita itu.

Ibu muda itu bernapas lega. "Wah makasih ya Mas. Mas jago banget ngadepin anak kecil. Pasti udah punya anak ya?"

Arkan tersenyum bangga sambil menyugar rambutnya. "Belum Mbak. Lagi proses produksi. Doain aja pabriknya lancar beroperasi."

Keira yang mendengar itu langsung menendang kaki Arkan di bawah meja. Arkan meringis tapi tetap tebar pesona.

Setelah kembali duduk, Papa Wijaya menepuk bahu Arkan.

"Kamu punya bakat jadi ayah yang baik Arkan. Papa bangga," kata Papa Wijaya tulus.

Arkan tersipu malu dipuji papanya. "Ah Papa bisa aja. Arkan cuma enggak suka liat orang nangis Pa. Berisik."

Keira menatap Arkan lamat-lamat. Hari ini dia melihat sisi lain Arkan lagi. Sisi kebapakan yang hangat dan menyenangkan. Arkan mungkin tengil, usil, dan menyebalkan. Tapi dia juga penyayang dan bertanggung jawab.

Keira merasa dinding hatinya semakin runtuh. Dia mulai membayangkan masa depan bersama Arkan. Masa depan yang nyata, bukan sekadar kontrak di atas kertas.

"Ra, kenapa liatin gue gitu? Terpesona lagi?" tanya Arkan menyadari tatapan Keira.

"Dikit. Dikit banget kayak upil," jawab Keira gengsi.

"Halah ngaku aja. Nanti malem mau dipijitin lagi enggak? Gratis buat istri sholehah," tawar Arkan.

"Boleh. Tapi jangan pakai minyak tawon lagi. Bau kakek-kakek," kata Keira.

Mereka tertawa bersama. Mama Rina tersenyum puas melihat kemesraan itu. Program belanja hari ini sukses besar. Bukan karena barang yang dibeli, tapi karena ikatan yang semakin kuat terjalin di antara anak dan menantunya.

Namun mereka tidak tahu, di balik kebahagiaan itu, ada masalah baru yang menanti di rumah. Sesuatu yang berhubungan dengan masa lalu Keira yang belum selesai. Seseorang dari masa lalu Keira sedang menunggu di depan pagar rumah mereka saat ini.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!