Kala Azure adalah seorang kapten agen rahasia legendaris yang ditakuti musuh dan dihormati.
Namun, karier cemerlangnya berakhir tragis, saat menjalankan operasi penting, ia dikhianati oleh orang terdekatnya dan terbunuh secara mengenaskan, membawa serta dendam yang membara.
Ajaibnya, Kala tiba-tiba terbangun dan mendapati jiwanya berada dalam tubuh Keira, seorang siswi SMA yang lemah dan merupakan korban bullying kronis di sekolahnya.
Berbekal keahlian agen rahasia yang tak tertandingi, Kala segera beradaptasi dengan identitas barunya. Ia mulai membersihkan lingkungan Keira, dengan cepat mengatasi para pembuli dan secara bertahap membasmi jaringan kriminal mafia yang ternyata menyusup dan beroperasi di sekolah-sekolah.
Namun, tujuan utamanya tetap pembalasan. Saat Kala menyelidiki kematiannya, ia menemukan kaitan yang mengejutkan, para pengkhianat yang membunuhnya ternyata merupakan bagian dari faksi penjahat yang selama ini menjadi target perburuannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Uswatun Kh@, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kehangatan Di Tepi Sungai
Vespa tua itu menderu pelan, membelah jalanan kota dengan irama mesin yang khas. Di atas jok kulit yang mulai retak dimakan usia, Keira memeluk erat ayahnya. Ia menyandarkan pipi di punggung Marvin, merasakan kehangatan yang selama ini hanya hadir dalam mimpi-mimpi sepinya.
Udara siang itu bersahabat. Langit biru membentang tanpa awan yang mengancam, membiarkan angin semilir menyapu wajah mereka, membawa aroma aspal hangat dan sisa hujan semalam. Di balik bingkai kacamatanya, sebulir air mata Keira luruh begitu saja, bukan karena sedih, melainkan karena rasa syukur. Ia memejamkan mata, merekam setiap getaran mesin motor dan dekapan tangannya di pinggang sang ayah sebagai memori abadi.
Tujuan mereka adalah Sungai Matano, jantung kota yang selalu menjadi pelarian bagi jiwa-jiwa yang lelah. Begitu roda motor berhenti di area parkir, Keira tak lagi mampu membendung antusiasmenya. Ia berlari kecil menuju tepian sungai, meninggalkan Marvin yang masih sibuk melepas helm.
"Yah! Cepatlah! Tempatnya indah banget!" teriak Keira riang. Ia melompat-lompat kecil sambil melambai penuh semangat, bayangannya terpantul di permukaan air yang berkilauan diterpa cahaya matahari.
Marvin membalas lambaian itu dengan senyum tipis. Di tangannya, ia menjinjing tikar pandan dan tas bekal sederhana. Matanya menyisir area sekitar hingga menemukan sebuah pohon rindang.
Saat Keira menghampiri, segala persiapan sudah tertata rapi di atas tikar. Gadis itu terpaku sejenak. Ada sesak yang manis di dadanya saat melihat kotak-kotak makanan itu.
'Apa ini yang namanya piknik?' batinnya lirih. 'Aku ... aku baru pertama kali merasakannya.'
Keira duduk bersila di hadapan Marvin, menatap wajah ayahnya dengan binar mata yang tak sanggup menyembunyikan rasa haru. "Makasih, Yah. Makasih sudah bawa aku piknik hari ini."
Marvin terhenti sejenak dari aktivitasnya menyusun piring. Ia menatap putrinya, menyadari betapa banyak waktu yang telah terbuang sia-sia.
Dengan tangan yang sedikit gemetar namun penuh kasih, ia menyodorkan piring berisi nasi hangat dan ayam goreng yang aromanya menggugah selera.
"Tidak perlu berterima kasih, Sayang," suara Marvin merendah, ada nada penyesalan yang tulus di sana. "Justru Ayah yang harus minta maaf. Maaf karena baru sekarang Ayah bisa mengajakmu piknik seperti ini."
Keira menyambut piring itu dengan binar mata penuh syukur. Sebuah senyum merekah di bibirnya saat ia mulai melahap makanan tersebut, seolah rasa ayam goreng itu adalah hal termewah yang pernah ia cicipi.
Melihat keceriaan putrinya kembali, separuh beban di pundak Marvin rasanya luruh. Ia berbalik membelakangi Keira, menumpukan tubuhnya pada kedua tangan sambil menatap aliran sungai yang tenang. Di atas sana, langit biru membentang tanpa batas, kontras dengan hatinya yang selama ini terpenjara.
"Andai saja," Marvin menghela napas panjang, sebuah desahan yang sarat akan pengandaian pahit. "Andai dulu Ayah mendengarkanmu dan Ibumu, mungkin saat ini kita masih bisa piknik bertiga."
Gerakan mengunyah Keira melambat. Ia terdiam, tatapannya kini terkunci pada punggung lebar ayahnya yang tampak rapuh.
Marvin menoleh, menampakkan manik mata yang bergetar hebat. "Ayah terlalu pengecut, Keira. Ayah memilih melarikan diri. Ayah terus memikul beban bahwa kematian lawan Ayah di ring itu adalah kesalahan Ayah sepenuhnya. Rasa bersalah itu menghantui setiap malam Ayah ... jadi, tolong maafkan ayahmu yang malang ini, ya?"
Penyesalan itu memang telah menghancurkan segalanya. Marvin merelakan impiannya, mundur dari dunia MMA yang telah membesarkan namanya, dan membiarkan kariernya mati. Namun, harga yang harus dibayar ternyata jauh lebih mahal.
Istrinya pergi karena tak tahan melihat Marvin yang keras kepala dan kehilangan semangat hidup selama berbulan-bulan. Hanya Keira yang memilih tinggal, bertahan di sisi ayahnya bukan hanya karena cinta, tapi juga karena rasa iba.
Keira yang merasakan kepedihan Marvin, meletakkan piringnya dan mendekat. Di peluknya erat tubuh Marvin memberikan rasa nyaman dan tenang pada pria bertubuh tambun itu.
"Tidak apa-apa Yah. Yang lalu biarlah berlalu. Yang penting mulai sekarang kita harus terus sama-sama dan saling mendukung, ya kan," jelasnya dengan senyum lebar.
Marvin mengusap puncak kepala Keira dan mengecupnya singkat.
Untuk pertama kali hubungan mereka semakin dekat dan saling menguatkan. Suasana siang itu semakin hangat. Namun, di tengah kebahagiaan itu ada kekhawatiran yang menggerogoti hati Marvin.
Wajahnya yang semula sumringah tiba-tiba berubah serius. "Oh, iya sayang. Bagaimana sekolahmu, masa depanmu. Ayah carikan sekolah baru ya."
Keira meluruskan kakinya mencoba santai meski hatinya tampak ragu. "Tenanglah Yah. Aku akan coba cari sendiri sekolah yang mau menerimaku, lagi pula itu bukan sepenuhnya salahku."
"Iya sayang. Kamu pasti di terima, anak ayah ini kan pintar mereka pasti nyesel gak menerimamu," ujarnya penuh semangat. "Kamu hanya perlu fokus cari sekolah baru, kalau untuk uang biaya rumah sakit Audrey ayah akan usahakan sebisa ayah."
Keira mengangguk. Namun, ia tak akan biarkan Marvin melakukan semuanya sendiri. Ia akan cari cara untuk melunasi semuanya.
Matahari mulai condong ke barat, membiaskan warna oranye keemasan di permukaan sungai. Marvin dan Keira mulai mengemasi sisa-sisa piknik mereka. Meski hanya beralaskan tikar sederhana dan bekal seadanya, langkah kaki mereka saat berjalan menuju motor tua milik Marvin terasa jauh lebih ringan daripada saat mereka datang tadi.
Drrt! Drrt!
Getaran ponsel di dalam ranselnya menghentikan langkah Keira seketika. Ia merogoh tasnya, menarik keluar benda pipih itu, dan membaca pesan yang baru saja masuk. Detik itu juga, napasnya seolah tertahan. Sebuah kalimat singkat muncul di layar, tatapannya berubah dingin.
.
[Tugas siap dieksekusi!]
Keira terdiam sejenak. Sudut bibirnya terangkat, membentuk senyum tipis yang sulit diartikan. Jemarinya bergerak lincah di atas layar, mengetik balasan dengan penuh keyakinan.
[Cepat kirim alamatnya.]
Ia segera memasukkan ponselnya kembali dan berlari kecil menyusul Marvin yang sudah menunggunya di atas motor tua mereka. Marvin, yang memiliki insting tajam seorang mantan petarung, menangkap gurat ketegangan yang tertinggal di wajah putrinya.
"Ada apa, Sayang? Apa ada sesuatu yang penting?" tanya Marvin cemas, matanya memicing mencoba membaca pikiran Keira.
Keira segera menggeleng cepat. "Tidak, Ayah. Tidak ada apa-apa. Hanya saja ... aku harus pergi ke suatu tempat sekarang. Larisa mendadak ngajak ketemuan. Tidak apa-apa kan, kalau Ayah pulang sendiri?"
Marvin tampak ragu sejenak, namun ia selalu percaya pada putrinya. "Baiklah, kalau begitu. Tapi kamu harus hati-hati, ya? Langsung kabari Ayah kalau ada apa-apa atau jika kamu pulang terlambat."
"Pasti, Yah," sahut Keira sambil mengangguk patuh.
Ia berdiri di tepian jalan, menatap punggung ayahnya yang perlahan menjauh dan hilang di telan arus lalu lintas. Begitu sang ayah tak lagi terlihat, raut wajah patuhnya luruh. Ia kembali merogoh ponsel, memeriksa pesan masuk yang baru saja berdenting.
[Apartemen Plaza di Jalan Metropola.]
Melihat alamat itu, senyum puas terukir di wajah Keira. Jalan Metropola, kawasan elit di pusat kota yang dipenuhi kemewahan.
"Keira ... sebentar lagi janjiku akan kupenuhi," bisiknya, seolah berbicara pada bayangan dirinya sendiri yang lama.
"Aku akan membalas setiap tetes rasa sakit yang kau rasakan selama ini. Mereka harus membayar semuanya. Tanpa sisa."
Aku jadi inget sama YML, dia kan dibunuh gegara memegang kunci rahasia besar.
Semoga tiada yang curiga kalau Keira masih hidup, dan matilah kamu wahai Dewa Agung
wuuu bara api mulai menyala.. ayo, hab*skan dan hanc*rkan semua yang menyakiti..