Shanaira Monard tumbuh dalam keluarga kaya raya, namun cintanya tak pernah benar-benar tumbuh di sana. Dicintai oleh neneknya, tapi dibenci oleh ayah kandungnya, ia menjalani hidup dalam sepi dan tekanan. Ditengah itu ada Ethan, kekasih masa kecil yang menjadi penyemangatnya yang membuatnya tetap tersenyum. Saat calon suaminya, Ethan Renault malah menikahi adik tirinya di hari pernikahan mereka, dunia Shanaira runtuh. Lebih menyakitkan lagi, ia harus menghadapi kenyataan bahwa dirinya tengah mengandung anak dari malam satu-satunya yang tidak pernah ia rencanakan, bersama pria asing yang bahkan ia tak tahu siapa.
Pernikahannya dengan Ethan batal. Namanya tercoreng. Keluarganya murka. Tapi ketika Karenin, pria malam itu muncul dan menunjukkan tanggung jawab, Shanaira diberi pilihan untuk memulai kembali hidupnya. Bukan sebagai gadis yang dikasihani, tapi sebagai istri dari pria asing yang justru memberinya rasa aman.
Yuk ikuti kisah Shanaira memulai hidup baru ditengah luka lama!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Volis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6. Karenin, Pria Malam Itu
Claira berdiri di balkon kamarnya yang mewah, lantai atas hotel tempat pesta pernikahan baru saja usai. Gaun putih berkilau membalut tubuhnya, mahkota kecil di kepala masih terpasang sempurna. Tapi senyuman di wajahnya mulai menghilang, terganti dengan ekspresi yang lebih kompleks—seperti kepuasan yang belum sepenuhnya tuntas.
Di dalam kamar, ibunya, Refina, sedang menyimpan hadiah-hadiah dari para tamu dengan cermat. Suara pintu balkon dibuka perlahan menarik perhatian sang ibu.
"Claira, kenapa kamu di luar? Kau baru saja jadi pengantin! Seharusnya kau bahagia."
Claira menoleh, matanya tajam. “Aku bahagia, Bu. Tapi juga tidak.”
Refina mengerutkan dahi. “Apa maksudmu?”
Claira menoleh kembali ke langit malam. “Karena meski aku yang berdiri di pelaminan tadi… dia tetap tidak melihatku. Matanya… selalu mencari Shanaira.”
Refina mendekat, suaranya merendah, menenangkan. “Itu hanya karena dia belum terbiasa. Lama-lama, dia akan lupa Shanaira. Sekarang dia suamimu, bukan dia.”
Claira mendesah. “Tapi aku tahu Ethan. Dia terlalu jujur pada perasaannya… dan aku tidak tahu berapa lama aku bisa berpura-pura menjadi orang yang dia cintai.”
Refina terdiam sejenak, lalu dengan suara penuh strategi, dia berkata, “Kalau dia tidak bisa melupakan Shanaira… maka kau harus memastikan dia tidak pernah bisa kembali padanya.”
Claira menoleh pelan. “Maksud Ibu?”
“Kau hamililah, Claira. Secepatnya. Buat dia merasa bertanggung jawab, buat dia yakin bahwa keluargamu adalah masa depannya. Dengan begitu, Shanaira hanya akan jadi masa lalu yang memalukan.”
Claira menelan ludah, hatinya campur aduk antara takut dan tekad. Ia mengangguk perlahan. “Baik, Bu… aku akan pastikan Ethan tidak pernah pergi dari sisiku.”
Tapi jauh di dalam hatinya, Claira tahu: selama nama itu masih hidup di hati Ethan… pernikahan ini hanyalah kemenangan semu.
***
Setelah Ethan pergi dengan wajah muram dan langkah penuh amarah, Shanaira berdiri terpaku. Jiwanya terasa seperti sobek dari segala arah. Angin malam menyentuh kulitnya, membawa hawa dingin yang tidak seberapa dibandingkan kehampaan di dalam dadanya.
Tak lama, langkah tenang terdengar kembali di belakangnya.
“Apa aku boleh duduk di sini lagi?”
Shanaira menoleh. Pria yang tadi menemaninya—dengan jas chef rapi dan wajah blasteran yang teduh—berdiri di dekat bangku taman itu. Tidak ada tekanan dalam suaranya, hanya ketulusan yang anehnya menenangkan.
Shanaira mengangguk pelan, dan pria itu duduk di sampingnya, menjaga jarak sopan.
Mereka terdiam sejenak. Lalu, pria itu membuka suara, lembut tapi jujur.
“Aku tidak tahu banyak tentang apa yang sedang kau alami… tapi kurasa, kau tidak pantas diperlakukan seperti tadi.”
Shanaira menunduk, menyeka air mata yang tak mampu ia bendung. “Terima kasih… kamu bahkan tidak mengenalku…”
Pria itu tersenyum tipis. “Mungkin sudah waktunya kita saling mengenal, ya?”
Ia mengulurkan tangan, hangat dan mantap.
“Namaku Karenin Alexandrovich.”
Shanaira menatap tangannya sejenak sebelum akhirnya menyambutnya. “Shanaira… Monard.”
Mereka berjabat tangan. Untuk pertama kalinya malam itu, Shanaira merasa sedikit lebih ringan karena ada orang di sampingnya.
Malam semakin larut, dan hanya suara langkah kaki yang jauh serta angin malam yang berdesir lembut terdengar di sekitar mereka. Shanaira masih duduk di bangku taman, tangannya terlipat di pangkuannya. Meski di sekelilingnya suasana pesta masih meriah, di dalam hatinya ada jurang kehampaan yang tak tertahankan.
Karenin tetap duduk di sampingnya, menjaga jarak, namun kehadirannya memberinya rasa tenang yang tak bisa dijelaskan. Meski begitu, ada sesuatu yang ingin ia sampaikan—sesuatu yang penting bagi masa depan mereka.
Shanaira menoleh sedikit ke arah Karenin, merasa ada yang aneh dengan pria ini yang belum pergi juga dan tidak berbicara lagi setelah memperkenalkan diri. "Kenapa kamu masih di sini? Apakah kamu tidak sibuk?" tanyanya pelan, heran karena pria ini seorang chef seharusnya dia sibuk di dapur.
Karenin tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap ke depan, lalu mengalihkan pandangannya ke Shanaira. Tidak ada banyak kata yang keluar dari mulutnya, hanya sebuah tatapan yang penuh tekad. Ia jelas tidak suka banyak bicara.
Setelah beberapa saat keheningan, Karenin akhirnya membuka mulut. Suaranya tegas, namun tetap lembut. "Shanaira," katanya, mengarahkan pandangannya padanya. "Aku ingin menikahimu."
Shanaira mendongak, terkejut. "Apa?" Suaranya tercekat, tidak bisa mencerna kalimat itu. "Kenapa? Kenapa kamu ingin menikahiku?" tanya Shanaira bingung, matanya membelalak, seolah tidak percaya.
Karenin menatapnya tanpa ragu. "Kamu tidak bisa membiarkan anak ini lahir tanpa ayah. Itu kalau kau ingin menyimpannya," jawabnya singkat dan tegas.
Shanaira terguncang, kepalanya berputar. "Tapi, kita… kita baru saja bertemu dan tidak saling mengenal, kenapa kamu ingin menikah denganku?" tanya Shanaira, suaranya hampir putus-putus karena kebingungannya. "Kita hanya orang asing. Kamu juga bukan ayah bayi dalam kandungan ku. Aku juga tidak tahu harus mempertahankannya atau menggugurkannya"
Karenin tidak langsung menjawab. Ia tetap menatap Shanaira dengan tatapan yang penuh tekad, tidak ada sedikit pun keraguan dalam dirinya. Lalu, ia akhirnya membuka suara dengan suara rendah, namun tegas. "Aku adalah pria malam itu," jawabnya dengan tegas.
Shanaira terkejut, seolah dunia tiba-tiba berhenti berputar. "Apa?" kata Shanaira pelan, suaranya hampir hilang. "Kamu yang… kamu yang ada di sana?" tanya Shanaira dengan mata yang membelalak. "Kamu yang—"
"Ya," jawab Karenin tegas, tanpa ragu. "Aku yang ada di sana malam itu. Aku tidak bisa membiarkanmu begitu saja, dan aku tidak bisa membiarkan anak ini lahir tanpa ayah. Jadi, aku akan menikahimu."
Shanaira terdiam. Air mata mulai menggenang di matanya, kebingungan dan rasa sakit yang mendalam muncul dalam dirinya. "Aku… aku bahkan tidak ingat apa yang terjadi malam itu," kata Shanaira pelan, mencoba menahan gejolak perasaan yang mulai merasuki dirinya. "Aku tidak tahu apa yang terjadi. Semua ini terasa sangat kacau."
Karenin menatapnya dengan tatapan yang penuh pengertian, namun tetap dengan keputusan yang tak tergoyahkan. "Aku tahu ini tidak mudah," katanya dengan suara rendah, tetap penuh keyakinan. "Tapi aku akan bertanggung jawab, Shanaira. Ini bukan hanya tentang bayi itu, ini tentang kamu juga."
Shanaira mencoba menahan emosinya. "Aku… aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan sekarang," katanya, air mata yang tak tertahan akhirnya mengalir.
Karenin menghela napas pelan, meskipun suaranya tetap tegas, "Kau tidak perlu melalui ini sendirian. Aku akan ada di sini. Aku akan menikahimu. Tidak ada yang perlu kau khawatirkan. Aku akan bertanggung jawab. Aku hanya butuh persetujuanmu."
"Bagaimana kalau aku tidak menginginkan bayi ini?" Shanaira bertanya balik.
"Aku akan mendukungmu. Kau mau melahirkan atau menggugurkan terserah kamu. Kau mau menikah atau tidak aku siap. Semua terserah keinginan kamu." Karenin menjawab dengan lembut, tapi tetap tegas.
Shanaira terdiam, otaknya masih berputar, berusaha mencerna kata-kata itu. Meski hatinya penuh dengan kebingungan, ada sesuatu dalam diri Karenin yang memberinya sedikit rasa aman. Mungkin ia belum bisa menerima sepenuhnya, tapi ada sesuatu dalam keputusan yang tegas ini yang membuatnya merasa, setidaknya, tidak sendirian.
shanaria biar ketemu bapak dari adek bayi yang ada diperutnya 😌
baca pelan2 ya sambil rebahan 🤭
salam kenal dari 'aku akan mencintaimu suamiku,' jangan lupa mampir 🤗
jangan lupa mampir jg di Menaklukan hati mertua mksh