Ketika Cinta Tak Mampu Berdusta

Wita dan Mila sengaja merahasiakan penyakit ibunya kepada warga desa dan sanak saudara. Karena mereka tidak siap saat warga desa kembali mengatakan jika penyakit ibunya merupakan azab ilahi. Hampir seluruh warga desa sudah mengatakan kematian Heru yang mendadak dan perceraian kedua putrinya merupakan azab pedih dari Tuhan akibat kesombongan Heru Susanto.

Tangis kesedihan Wita rupanya terdengar di telinga Wirda Agustina.

"Wita. Putri ku, kemari lah Nak!" panggilan lembut dari sang ibu.

"I...Iyah Bu?" Wita bergegas bangkit dan menghapus cepat airmatanya.

"Ibu mau perlu apa?" tanya lembut Wita menghampiri ibundanya.

"Wita. Mila itu adalah satu-satunya adik juga teman yang bisa kau percayai saat ini. Jadi kalian jangan sampai bertengkar."

"Iyah Bu. Apa ibu mendengar semua percakapan kami?" tanya polos Wita.

Wirda mengangguk.

"Ibu tidak apa-apa, Nak. Jika tidak sanggup membeli obat, jangan kalian paksakan?"

"Ibu jangan khawatir. Kami akan berjuang untuk membeli obat ibu," jawaban sedih Wita dengan dua bola matanya yang berkaca-kaca.

"Apa yang harus dikhawatirkan?" tanya Wirda.

"Kami masih membutuhkan Ibu?" Airmata janda anak satu itu akhirnya menetes di kedua pipinya dan langsung memeluk tubuh ibunya dengan rasa sedih.

Wirda mengelus-elus lembut rambut putri sulungnya itu sambil memberikan kata-kata nasihat.

"Kematian itu sudah tertulis Nak. Tidak ada satu manusia pun yang sanggup menolaknya.

Wita putriku yang cantik, kamu harus tabah, ikhlas, jangan banyak mengeluh. Di masa lalu, Allah sudah memberikan harta berlimpah buat kita. Kenapa kamu menyerah dengan kesulitan yang baru beberapa tahun ini. Sabar dan jalani saja, Nak. Kamu tidak tau seperti apa cerita masa depan mu."

"Wita hanya bisa mengangguk dalam pelukan ibunya.

Wirda Agustina dijuluki seperti Asiyah istri Fir'aun di desa itu. Sholehah dan sangat sabar menghadapi tingkah laku suaminya yang beraneka ragam. Wita dan Mila merupakan didikan dari Wirda Agustina.

Mila kembali berpikir keras. Pekerjaan apa yang harus ia lakukan untuk mencari tambahan-tambahan penghasilan. Sore itu Mila tidak Langsung pulang ke rumah. Sejenak ia berada di balai desa yang letaknya tidak jauh dari puskesmas untuk mencari informasi apapun terutama lowongan pekerjaan yang sangat di butuhkan.

Perempuan itu mulai membaca satu per satu informasi yang ada di balai desa. Lagi-lagi Mila menatap foto Bagas dan Yoga serta informasi Tani unggulan yang memenuhi majalah dinding.

"Eh ada Mila. lagi cari informasi apa, sayang?" tegur salah satu staf disana dalam tatapan menggoda.

"Em, lagi cari info lowongan kerja sampingan mas Budi!" jawab lembut Mila.

Suasana balai desa terlihat sepi.

"Mm...kalau jadi istri kedua Mas Budi saja gimana. Lagi buka lowongan nih," ucap genit pria itu mencolek dagu Mila dengan ujung jarinya.

Mila begitu terkejut dan menampilkan wajah marahnya lalu pergi meninggalkan pria yang memang sangat senang menggodanya.

"Hahahaha!" tawa puas pria itu.

Di sepanjang perjalanan pulang. Kedua bola mata Mila berkaca-kaca. Dia benar-benar sedih dan kesal.

"Begini amat yah jadi janda. Kalau tidak dilecehkan. Apa-apa langsung ditawari jadi istri kedua, simpanan bahkan ditawari jadi pacar bocah ingusan!"

Kesedihan itu semakin larut ketika Mila kembali mengingat sang kakak yang terpikir untuk bekerja menjadi cuci gosok di rumah orang.

"Aku harus mencari pekerjaan lagi, berangkat ke luar negeri juga tidak masalah. Jangan sampai kakak menjadi babu di rumah orang. kasihan dia," gumam Mila.

Tiba-tiba segerombolan warga berlarian menuju sebuah rumah, terlihat heboh dan ramai.

Beberapa warga tidak sengaja menyenggol Mila.

"Eh...eh...!" seruan panik Mila saat kehilangan keseimbangan di atas sepeda motornya.

Akhirnya Mila berhenti dan berdiam diri di pinggir sambil memperhatikan orang-orang berlarian menuju satu rumah. Mila berusaha mencari sosok yang dia kenal untuk disapa.

"Bu Sri!" teriak Mila.

"Eh Mila!"

"Ada apa yah Bu! Kok pada rame-rame?" tanya penasaran Mila.

"Yah ampun, jadi kamu belum tau kabar?"

Mila menggeleng

"Kabar apa Bu?"

"Istrinya Bagas meninggal!" ucap Bu Sri dengan mata membesar.

"Astaghfirullah!" Mila begitu terkejut sampai bulu kuduknya merinding dan kakinya terasa bergetar.

"Itu...Anu...katanya sih, habis melahirkan langsung meninggal?"

"Yang benar Bu?"

"Padahal di rumah sakit canggih dan mahal, mungkin sudah ajalnya kali yah?" ucap Sri.

Mila masih terlihat bengong mendengar berita kematian itu. Sama sekali tidak percaya dengan kematian istri Bagas yang begitu cepat.

"Yah wes, saya mau ke rumah Bu Hartati (Ibunda Bagas) dulu yah! Karena ada dua Bus yang langsung berangkat ke Jakarta!"

"Baiklah. Nanti Mila dan mbak Wita juga kesana yah Bu!" ucap Mila bergegas memutar sepeda motornya dan segera pulang.

Dan tidak lama kemudian terdengar pengumuman kabar meninggal di setiap masjid-masjid desa Suka Warna.

Mila mempercepat laju sepeda motornya, ia tidak sabar ingin segera memberitahukan kepada keluarganya.

"Mbak!" Mila berlari mendapati Wita di kandang Ayam. Sang kakak tengah sibuk bercakap-cakap dengan ayam-ayam yang siap bertelur, sehingga ia tidak mendengar pengumuman orang meninggal.

"Mbak? Huh!" Mila terlihat masih ngos-ngosan mengatur ritme nafasnya.

"Mila, kamu kenapa?" tanya heran Wita.

"Istrinya Mas Bagas meninggal!"

"Ah, Ngawur kamu!" celoteh Wita yang sama sekali tidak percaya.

"Ini berita benar warga desa sudah heboh!"

"Ya Allah. Kasihan sekali Bagas. Orang baik memang selalu mendapatkan cobaan yang berat!" ucap Wita turut merasakan kesedihan yang cukup dalam.

"kita ke rumah Bu Hartati yok mba!" ajak semangat Mila.

"Anaknya Bagas bagaimana? Selamat?" tanya polos Wita.

"Soal itu Mila belum tau!"

"Yah sudah. Mbak mandi dulu yah. Masih bau tai Ayam!" ucap Wita bergegas menuju kamar mandi.

"Ih, agen skincare kok parfumnya tai Ayam terus!" celoteh senyum Mila. Ia langsung melihat menu masakan kakaknya di atas meja makan.

Rumah sakit.

Suasana rumah sakit begitu gempar dan heboh setelah kematian Tyas. Seluruh tim medis dan keluarga begitu panik.

"Gubrak!" Bagas menendang sebuah kursi.

"Anj*Ng...!" teriak Bagas mengamuk besar hingga mengeluarkan kata makian-makian kasar kepada seluruh tim medis. Bagas menarik salah satu kerah baju dokter sambil berkata;

"Kembalikan nyawa istriku atau kau akan ku bunuh?" ucap bengis Bagas dengan mata memerah penuh amarah dengan kekecewaan atas kematian Tyas yang awalnya di duga hanya tertidur saja.

"Ampun Tuan. Kami juga tidak menduganya!" jawab sang Dokter.

"Aaa. Bacot kau!" Bagas bersiap hendak menancapkan pisau tajam ke jantung sang Dokter. Semua yang berada disana sontak histeris menjerit panik.

"Aaa!"

Yoga dengan cepat menangkap tangan Bagas lalu membuang pisau itu.

"Lepaskan aku!" teriak Bagas.

"Bagas sadarlah!"

"Bruk!" Bagas meninju Yoga hingga ambruk. Tapi dengan cepat Yoga bangkit dan mendekap kuat tubuh Bagas dari belakang.

"Lepaskan aku, aku harus membunuh dokter abal-abal ini!" ucap Bagas terlihat kesetanan.

"Bagas sadarlah, lihat anakmu!"

Yoga menarik paksa Bagas menunjukkan ke arah seorang bayi mungil yang baru lahir berjenis kelamin perempuan. Ia tampak sedang menguap, terlihat sangat lucu, cantik dan menggemaskan.

"Bagas, kau jangan bodoh. Jika kau membunuh Dokter itu. Kau akan masuk penjara lantas bagaimana nasib anakmu? Pikirkan itu!" Bentak keras Yoga menyadarkan Bagas.

Bagas terdiam dan terbengong.