NovelToon NovelToon
Bisikan Hati

Bisikan Hati

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Matabatin / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:652
Nilai: 5
Nama Author: DessertChocoRi

Terkadang orang tidak paham dengan perbedaan anugerah dan kutukan. Sebuah kutukan yang nyatanya anugerah itu membuat seorang Mauryn menjalani masa kecil yang kelam.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DessertChocoRi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 5- Bayangan yang mengintai

Pasar mulai lengang sore itu. Mauryn baru saja menutup lapak ketika Revan muncul lagi, kali ini dengan wajah lebih pucat dari biasanya.

Jas lusuhnya basah oleh keringat meski udara tidak panas. Ia berdiri di sudut, matanya gelisah menyapu setiap arah.

Mauryn langsung tahu ada sesuatu yang salah. Suara hatinya terdengar berantakan.

“Jangan sampai mereka menemukanku. Tidak di sini. Tidak bersamanya.”

Ia menatap Revan tajam.

“Ada apa?”

Revan menoleh cepat, lalu berjalan mendekat.

“Kita harus bicara. Sekarang.”

“Kamu kelihatan panik. Apa kamu diikuti?”

Revan tidak menjawab. Ia hanya menarik napas panjang, lalu berkata pelan.

“Ikut aku. Jangan tanya dulu.”

Mereka berjalan keluar pasar, melewati gang sempit. Mauryn bisa merasakan jantung Revan berdetak cepat. Suara hatinya penuh peringatan

“Jangan menoleh. Mereka ada di belakang.”

Mauryn akhirnya berbisik.

“Siapa mereka?”

Revan melirik singkat, lalu mempercepat langkah.

“Orang-orang yang tidak boleh tahu kamu ada di pihakku.”

“Kenapa?”

“Karena kalau mereka tahu, kamu tidak akan bisa hidup tenang lagi.”

Mauryn terdiam. Ia ingin marah karena diseret tanpa penjelasan, tapi nada serius Revan membuatnya menahan diri.

Tiba-tiba, dari kejauhan, langkah-langkah cepat terdengar. Dua pria berpakaian hitam muncul di ujung gang, berjalan mendekat dengan tatapan mencurigakan.

Mauryn menahan napas. Suara hati mereka langsung masuk ke kepalanya.

“Target bersama gadis. Perintah jelas: jangan biarkan lolos.”

Matanya melebar. Ia berbisik tegas.

“Mereka datang untukmu.”

Revan menoleh tajam

“Kamu dengar apa?”

“Mereka menyebutmu target. Dan aku—” Mauryn menelan ludah.

“Aku juga disebut.”

Revan mengumpat pelan.

“Sial. Aku tak ingin kamu terlibat secepat ini.”

Dua pria itu semakin dekat. Salah satunya berbicara dengan nada datar.

“Malam, Tuan Revan. Tidak biasanya Anda jalan-jalan di gang sempit begini.”

Revan berdiri tegak, berusaha tenang.

“Hanya mencari jalan pintas.”

“Jalan pintas… atau tempat persembunyian?” Pria itu tersenyum tipis.

Mauryn bisa mendengar isi hati mereka yang jauh lebih jahat dari senyuman mereka.

“Tangkap dia. Bunuh kalau perlu. Jangan biarkan gadis itu lari.”

Tangannya bergetar. Ia berbisik pada Revan

“Mereka benar-benar ingin menghabisimu. Dan aku ikut jadi sasaran.”

Revan menatapnya sekejap, lalu mendekatkan bibir ke telinganya.

“Kalau aku bilang lari, lari. Jangan pedulikan aku.”

“Tidak!” Mauryn menolak cepat.

“Kalau aku pergi, mereka akan tetap mencariku. Lebih baik aku tahu apa yang sebenarnya terjadi sekarang juga!”

Pria hitam itu semakin dekat, suaranya dingin.

“Serahkan diri Anda dengan tenang, Tuan Revan. Atau kami akan memaksa.”

Revan menjawab dengan nada tenang, tapi penuh ancaman.

“Kalian tahu aku tidak akan menyerah begitu saja.”

Mauryn bisa merasakan suasana semakin panas. Orang-orang di sekitar pasar sudah pulang, menyisakan gang sepi. Hanya ada mereka berempat.

Ia menggenggam syalnya erat. Suara hati dua pria itu menusuk kepalanya, jelas sekali.

“Hancurkan dia. Jangan biarkan rahasianya keluar. Gadis itu,buang saja setelah selesai.”

Mauryn tiba-tiba bersuara lantang, meski tubuhnya gemetar.

“Jangan coba-coba! Aku tahu apa yang kalian pikirkan!”

Dua pria itu tertegun, menatapnya kaget.

“Apa maksudmu, gadis kecil?”

Mauryn menatap balik dengan mata berani.

“Kalian ingin membunuhnya. Kalian juga ingin membuangku. Benar, kan?”

Mereka saling pandang. Salah satu tertawa pendek.

“Hm, sepertinya bocah ini sudah tahu terlalu banyak.”

Revan segera bergerak, berdiri di depan Mauryn, melindunginya.

“Kalau begitu, kalian harus melewatiku dulu.”

Suasana menegang. Mauryn tahu perkelahian bisa pecah kapan saja. Ia menggenggam lengan Revan.

“Kamu tidak bisa lawan mereka berdua sendirian.”

Revan menatapnya sekilas.

“Aku tidak punya pilihan.”

Mauryn menelan ludah. Aku juga tidak bisa diam.

Ia menatap dua pria itu, lalu berkata dengan suara lantang

“Kalau kalian mendekat, aku akan membuka semua isi hati kalian di depan siapa pun yang lewat! Semua kebusukan, semua rahasia yang kalian sembunyikan. Kalian pikir orang-orang tidak akan percaya? Mereka akan menertawakan kalian, mungkin bahkan menyerahkan kalian pada polisi!”

Dua pria itu tampak ragu. Suara hati mereka terdengar kacau

“Apa benar gadis ini bisa membaca kita? Kalau dia buka mulut, kita habis.”

“Bocah sial…” Salah satu mendesis

Revan menatap Mauryn tak percaya.

“Apa yang kamu lakukan?”

“Menakuti mereka balik,” bisik Mauryn cepat.

“Mereka tidak tahu sejauh apa kemampuanku. Itu keuntungan kita.”

Pria hitam itu akhirnya melangkah mundur.

“Kita akan berjumpa lagi, Revan. Dan saat itu, gadis ini tidak akan bisa melindungimu.”

Gang itu kembali sepi. Angin dingin menyapu, membawa bau sampah dan tanah basah. Tapi bagi Mauryn, sepi itu bukan ketenangan justru sebaliknya. Sunyi terasa lebih berbahaya, karena ia tahu bayangan masih mengintai.

Mauryn menyandarkan tubuhnya ke dinding bata, tangannya gemetar.

“Aku… aku tidak pernah menghadapi hal seperti ini.”

Revan mendekat, menatapnya dengan wajah penuh rasa bersalah.

“Maaf. Aku seharusnya tidak menyeretmu sejauh ini. Tapi begitu mereka tahu kamu ada, semuanya berubah. Mereka tidak akan berhenti.”

Mauryn menatapnya tajam, matanya masih basah.

“Kenapa mereka mengejarmu? Apa sebenarnya yang kamu sembunyikan?”

Revan menghela napas panjang. Ia menunduk, lalu berkata pelan

“Aku punya bukti. Sesuatu yang bisa menjatuhkan orang-orang paling berkuasa di kota ini. Mereka akan lakukan apa saja untuk menghentikanku.”

“Bukti apa?” desak Mauryn.

“Korupsi. Perdagangan gelap. Dan lebih buruk lagi…”

Revan menatapnya lurus, suaranya menurun jadi bisikan.

“Pembunuhan yang disamarkan sebagai kecelakaan.”

Mauryn merinding. Suara hatinya terdengar jelas

“Aku tidak bisa gagal lagi. Nyawa terlalu banyak yang dipertaruhkan.”

Mauryn menelan ludah.

“Dan kamu ingin aku… membantumu memastikan siapa musuhmu, siapa sekutumu?”

“Ya. Kamu bisa dengar isi hati mereka. Kamu bisa tahu siapa yang bisa dipercaya.” Revan mengangguk

Mauryn menunduk, menarik napas panjang.

“Tapi itu berarti aku akan selalu dikejar-kejar. Mereka sudah tahu wajahku. Mereka tidak akan membiarkanku hidup tenang lagi.”

Revan menatapnya dengan tatapan penuh tekad.

“Aku janji, selama aku masih hidup, aku tidak akan biarkan mereka menyentuhmu.”

Mauryn mendengus, separuh getir, separuh gugup.

“Janji itu terdengar indah… tapi aku sudah terlalu sering dengar janji. Semuanya berakhir sama, pengkhianatan.”

Revan menggertakkan gigi, lalu mendekat.

“Kalau aku juga berkhianat, kamu pasti bisa mendengarnya, bukan? Kamu bisa tahu isi hatiku sekarang.”

Mauryn terpaku. Ia mendengar dengan jelas. Tidak ada kebohongan. Hanya luka, kemarahan, dan niat tulus.

“Aku tidak ingin dia terluka. Aku butuh dia… lebih dari yang bisa kukatakan.”

Aruna memalingkan wajah, berusaha menutupi getar di dadanya.

\~\~

Mereka berjalan keluar gang, menuju jalan utama. Mauryn memperhatikan sekitar dengan waspada. Bayangan orang-orang tadi masih terasa, seolah setiap langkah mereka diawasi.

“Apa mereka akan kembali?” tanya Aruna pelan.

“Pasti,” jawab Revan singkat.

“Mereka hanya mundur untuk sekarang. Tapi mereka akan datang lagi, lebih siap, lebih banyak.”

Mauryn menahan napas.

“Jadi… ini bukan sekadar masalah kecil. Ini perang, ya?”

Revan menatapnya sekilas, lalu tersenyum getir.

“Perang yang sudah lama dimulai, bahkan sebelum kau tahu aku ada.”

Mauryn berhenti berjalan.

“Dan sekarang aku ikut terjebak di dalamnya.”

Revan ikut berhenti. Ia menatapnya lekat-lekat, seakan mencari sesuatu di mata Mauryn.

“Kalau kamu ingin pergi sekarang, aku tidak akan menghentikanmu. Kamu bisa pura-pura tidak pernah bertemu aku.”

Mauryn terdiam lama. Suara hatinya penuh pertentangan

“Pergi. Selamatkan dirimu. Jangan ulangi kesalahan percaya orang lain.”

Tapi ada suara lain yang lebih lembut

“Untuk pertama kalinya, ada orang yang benar-benar membutuhkanmu. Jangan lari lagi.”

Akhirnya ia berkata, dengan suara gemetar namun tegas,

“Aku benci ini. Aku benci ketakutan yang mereka bawa. Tapi aku lebih benci lagi kalau aku hanya diam sementara kamu melawan sendirian.”

“Mauryn…” Revan terperanjat.

“Aku tidak janji bisa bertahan lama. Aku bahkan tidak tahu apakah aku cukup kuat untuk ini. Tapi kalau memang benar kamu butuh aku..” ia menatapnya lurus

“..maka aku akan mencoba.”

Revan menghela napas, seakan beban besar sedikit terangkat. Senyum tipis muncul di wajahnya.

“Itu lebih dari cukup. Aku tidak minta kamu jadi pahlawan. Aku hanya minta kamu tetap di sisiku.”

Mauryn mengerutkan kening, menahan debar yang aneh di dadanya.

“Jangan bilang hal-hal aneh. Aku belum tentu tahan lama.”

Revan tertawa kecil, tapi tawanya getir.

“Kamu sudah lebih berani daripada siapa pun yang pernah kukenal.”

Mereka berjalan lagi, kali ini lebih cepat.

Tapi di sudut jalan, Mauryn sempat menoleh ke belakang. Dan ia melihatnya.. sebuah bayangan hitam bergerak cepat, lalu lenyap di balik dinding.

Ia menggenggam syalnya erat. Suara hati samar masuk ke kepalanya

“Mereka sudah ditandai. Tidak akan lama sebelum mereka jatuh.”

Mauryn menelan ludah, lalu menatap Revan.

“Kita harus bersiap. Mereka masih mengikuti kita.”

“Kalau begitu, mulai sekarang kita tidak punya waktu lagi untuk ragu.” Ucap Revan sambil menatapnya tajam.

Mauryn mengangguk perlahan. Untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa setiap langkahnya bukan hanya miliknya sendiri.

Malam jatuh. Langkah mereka berdua bergema di jalanan kota yang sepi. Dari balik jendela, beberapa mata mengintai, penuh rahasia.

Dan di dada Mauryn, perasaan bercampur.. takut, marah, tapi juga sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya, keberanian yang lahir dari kebersamaan.

Di telinganya, suara hati Revan bergema lagi, jernih dan tulus.

“Selama dia bersamaku, aku masih punya harapan.”

Mauryn menggenggam syalnya lebih erat. Untuk pertama kalinya, ia tidak menutup telinganya dari bisikan hati seseorang.

Bersambung..

Hay hay semua para raiders mohon bantuannya yah, jangan lupa Votenya juga.

Terimakasih sudah mampir 🫰🏻

1
Anonymous
Semangat thor
Syalala💋 ig: @DessertChocoRi: Hai hai.. terimakasih sudah mampir, tunggu update selanjutnya ya 🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!