Nadia mengira melarikan diri adalah jalan keluar setelah ia terbangun di hotel mewah, hamil, dan membawa benih dari Bramantyo Dirgantara—seorang CEO berkuasa yang sudah beristri. Ia menolak uang bayaran pria itu, tetapi ia tidak bisa menolak takdir yang tumbuh di rahimnya.
Saat kabar kehamilan itu bocor, Bramantyo tidak ragu. Ia menculik Nadia, mengurungnya di sebuah rumah terpencil di tengah hutan, mengubahnya menjadi simpanan yang terpenjara demi mengamankan ahli warisnya.
Ketika Bramantyo dihadapkan pada ancaman perceraian dan kehancuran reputasi, ia mengajukan keputusan dingin: ia akan menceraikan istrinya dan menikahi Nadia. Pernikahan ini bukanlah cinta, melainkan kontrak kejam yang mengangkat Nadia .
‼️warning‼️
jangan mengcopy saya cape mikir soalnya heheh
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Celyzia Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
Di gudang tua suasana sangat menegangkan . Larasati sudah menempelkan ujung pisau bedah yang dingin ke permukaan kulit perut Nadia. Nadia memejamkan mata, napasnya tersengal, bersiap menghadapi rasa sakit yang paling mengerikan dalam hidupnya.
Namun, sebelum mata pisau itu merobek kulit, suara raungan mesin helikopter yang sangat rendah menggetarkan atap seng gudang tersebut.
BRAKK!
Pintu besi gudang itu tidak didobrak, melainkan dihantam oleh sebuah mobil SUV hitam yang melaju kencang, menghancurkan engselnya hingga terlempar ke dalam. Debu dan asap mengepul di mana-mana.
Larasati terlonjak kaget, pisau bedahnya terjatuh ke lantai semen. Dari balik asap, muncul sosok yang sangat ia kenal. Bramantyo Dirgantara keluar dari mobil dengan wajah yang tidak lagi mencerminkan manusia beradab. Matanya merah, rahangnya mengeras, dan aura pembunuh terpancar jelas dari setiap langkahnya.
Di belakangnya, David dan sepasukan tim keamanan bersenjata lengkap masuk, langsung melumpuhkan dua anak buah Larasati dalam hitungan detik.
"Bram?" suara Larasati bergetar, mencoba mempertahankan martabatnya. "Kau... bagaimana bisa kau..."
"Kau pikir aku sebodoh itu, Laras?" suara Bramantyo rendah dan bergetar karena amarah yang ditahan. "Aku memasang sub-dermal tracker di bawah kulit Nadia saat dia pingsan setelah diculik pertama kali. Aku tahu setiap koordinat tempat dia berada, bahkan jika dia di dasar laut sekalipun!"
Bramantyo tidak melihat ke arah istrinya. Matanya tertuju pada Nadia yang terikat di kursi, bersimbah darah, dengan luka bakar di lengan dan memar di sekujur wajahnya.
Bramantyo berjalan mendekati Larasati. Larasati mencoba mundur, tetapi punggungnya menabrak meja kayu tua.
"Dia hanya simpanan, Bram! Dia sampah! Aku melakukan ini untuk masa depan anak-anak kita!" teriak Larasati histeris.
PLAK!
Satu tamparan keras dari Bramantyo membuat Larasati tersungkur ke lantai. Ini pertama kalinya Bramantyo menggunakan kekerasan fisik terhadap wanita yang menemaninya selama belasan tahun.
"Kau menyentuh asetku," desis Bramantyo, mencengkeram rahang Larasati dengan satu tangan. "Kau menyiksa wanita yang membawa darah dagingku. Kau bukan lagi istriku, Laras. Kau adalah musuh Dirgantara."
Bramantyo menoleh ke arah David. "Bawa dia. Pastikan dia tidak pernah melihat matahari lagi tanpa seizinku. Serahkan semua bukti penyiksaannya ke pengacara. Aku akan memastikan dia membusuk di penjara paling gelap, dan dia tidak akan mendapatkan satu sen pun dari harta gono-gini."
Larasati diseret keluar sambil berteriak-teriak tidak keruan, meninggalkan Bramantyo dan Nadia di tengah kesunyian gudang yang mencekam.
Bramantyo segera berlutut di depan Nadia. Ia memotong tali yang mengikat tangan Nadia dengan pisau bedah yang tadi dijatuhkan Larasati.
"Nadia... Nadia, lihat aku," panggil Bramantyo, suaranya kini terdengar cemas—sesuatu yang sangat jarang terjadi.
Nadia membuka matanya sedikit. Ia menatap Bramantyo dengan sisa kekuatannya. Bukan rasa terima kasih yang ada di matanya, melainkan kebencian yang mendalam.
"Kau... terlambat..." bisik Nadia parau. Ia memegangi perutnya yang kram hebat. "Semua ini... karena kau..."
Tiba-tiba, Nadia meringis kesakitan yang luar biasa. Darah mulai mengalir lebih banyak dari sela-sela kakinya, membasahi lantai semen yang dingin.
"Dokter! Siapkan tim medis di helikopter sekarang!" teriak Bramantyo panik. Ia mengangkat tubuh lemas Nadia ke dalam pelukannya.
Untuk pertama kalinya, Bramantyo merasa dunianya goyah. Ia tidak peduli lagi pada reputasi atau bisnisnya. Saat ia mendekap tubuh Nadia yang dingin dan bersimbah darah, ia menyadari bahwa jika janin itu hilang—dan jika Nadia pergi—ia tidak akan memiliki apa-apa lagi untuk dikendalikan.
"Jangan mati," bisik Bramantyo di telinga Nadia saat mereka berlari menuju helikopter yang baling-balingnya menderu. "Aku tidak mengizinkanmu mati, Nadia! Kau adalah milikku!"
Helikopter itu lepas landas menembus kegelapan malam Pelabuhan Ratu, membawa Nadia menuju rumah sakit pribadi milik keluarga Dirgantara untuk perjuangan terakhir menyelamatkan nyawa ibu dan anak itu.
Cahaya lampu neon di rumah sakit pribadi Dirgantara terasa menyilaukan saat Nadia perlahan membuka matanya. Bau antiseptik yang tajam menusuk hidungnya. Hal pertama yang ia rasakan adalah kekosongan yang luar biasa di dalam perutnya. Bukan hanya rasa sakit fisik, tapi kekosongan yang menandakan sesuatu telah hilang selamanya.
Seorang dokter senior masuk dengan wajah tertunduk, diikuti oleh Bramantyo yang berdiri di sudut ruangan dengan wajah sepucat kertas.
"Nyonya Nadia..." dokter itu berbisik pelan. "Kami sudah melakukan segalanya. Anda selamat, namun... janinnya tidak bisa dipertahankan. Guncangan fisik dan stres yang dialami tubuh Anda terlalu besar. Kami sangat menyesal."
Nadia tidak menangis. Matanya hanya menatap langit-langit dengan hampa. Ia merasa separuh nyawanya ikut pergi, namun separuhnya lagi kini dipenuhi oleh es yang membeku.
Bramantyo, di sisi lain, tampak seperti gunung berapi yang siap meledak. Tangannya gemetar hebat. Seluruh rencana besarnya, ahli warisnya, dan "proyek" masa depannya hancur berkeping-keping.
"Keluar," perintah Bramantyo pada dokter itu. Suaranya rendah, namun mengandung ancaman yang membuat ruangan itu terasa kekurangan oksigen.
Setelah dokter pergi, Bramantyo mendekati ranjang Nadia. Ia menatap Nadia, mengharapkan kemarahan atau tangisan, tapi Nadia hanya menoleh perlahan dan menatapnya dengan pandangan paling dingin yang pernah ia lihat.
"Puas?" bisik Nadia. "Anakmu sudah mati, Bramantyo. Kau tidak punya apa-apa lagi untuk mengurungku."
Bramantyo tidak menjawab. Ia berbalik dan keluar dari ruangan dengan langkah yang menggetarkan lantai. Di kepalanya, hanya ada satu nama yang bertanggung jawab atas kehancuran ini: Larasati.
Bramantyo tidak membawa Larasati ke polisi. Baginya, hukum negara terlalu lunak untuk membalas hilangnya darah dagingnya. Ia membawa Larasati ke sebuah fasilitas penahanan rahasia di bawah tanah milik keluarganya yang selama ini hanya digunakan untuk musuh-musuh bisnis yang paling berbahaya.
Larasati meringkuk di pojok sel yang lembap saat pintu besi terbuka dengan dentuman keras. Ia melihat Bramantyo masuk dengan pistol di tangan.
"Bram... dengarkan aku..." suara Larasati gemetar. "Kita bisa memulai lagi. Kita masih punya Rio dan Anya. Wanita itu hanya sampah, dia—"
"Tutup mulutmu!" raung Bramantyo. Ia menjambak rambut Larasati dan memaksanya berdiri. "Anakku mati karena tanganmu. Darah dagingku sendiri kau lenyapkan karena kecemburuan butamu."
"Aku istrimu, Bram! Aku melindungimu!"
"Kau bukan siapa-siapa lagi bagiku," desis Bramantyo. Matanya gelap, tidak ada lagi jejak kemanusiaan di sana. "Kau telah membunuh masa depanku, jadi kau tidak punya hak untuk memiliki masa depan."
Tanpa keraguan sedikit pun, Bramantyo menempelkan moncong pistol ke dahi Larasati.
DOOR!
Satu tembakan bergema di dalam ruang bawah tanah itu. Tubuh Larasati ambruk ke lantai, matanya masih terbuka lebar dalam keterkejutan. Bramantyo menatap mayat wanita yang pernah dicintainya itu tanpa ekspresi. Dendamnya telah terbayar, tapi hatinya tetap terasa kosong.
Tiga hari kemudian, Bramantyo kembali ke rumah sakit. Nadia sudah bisa duduk, meski wajahnya masih sangat pucat.
"Dia sudah mati," kata Bramantyo datar saat masuk ke kamar.
Nadia tahu siapa yang dimaksud. "Dan sekarang apa? Kau akan membunuhku juga karena aku tidak berguna lagi?"
Bramantyo duduk di kursi samping ranjang, menuangkan air ke dalam gelas dengan tangan yang kini tenang. "Tidak. Kau tetap istriku secara hukum. Dunia luar tahu Larasati meninggal karena kecelakaan tragis. Sekarang, kau adalah satu-satunya Nyonya Dirgantara."
"Aku tidak menginginkan gelar itu!"
"Kau harus menginginkannya," Bramantyo mencondongkan tubuh, menatap mata Nadia dengan tajam. "Karena mulai hari ini, aku tidak akan lagi mengurungmu di hutan. Aku akan membawamu ke pusat kekuasaanku di Jakarta. Kau akan menjadi ratu di istana yang kubangun, dan kau akan membantuku melahirkan ahli waris baru. Kau tidak punya pilihan lain, Nadia. Jika kau mencoba lari atau bunuh diri, aku akan menghancurkan setiap orang yang pernah kau kenal."
Nadia menatap pria di depannya. Ia menyadari bahwa Bramantyo yang sekarang jauh lebih berbahaya daripada sebelumnya. Kematian anaknya telah mengubah pria itu menjadi monster sejati.
Nadia tersenyum kecil, sebuah senyuman yang mengandung racun. "Baiklah, Bramantyo. Aku akan tinggal. Aku akan menjadi istrimu yang sempurna di depan publik. Tapi ingat ini... aku akan memastikan bahwa setiap detik yang kau habiskan bersamaku adalah pengingat akan darah anak kita yang tumpah. Aku akan menghancurkanmu dari tempat tidurmu sendiri."
Permainan baru dimulai. Di atas pusara anak mereka dan mayat Larasati, sebuah pernikahan yang penuh kutukan akan terus berlanjut membayangi nadia.