Sebuah jebakan kotor dari mantan kekasih memaksa Jenara, wanita karier yang mandiri dan gila kerja, untuk melepas keperawanannya dalam pelukan Gilbert, seorang pria yang baru dikenalnya. Insiden semalam itu mengguncang hidup keduanya.
Dilema besar muncul ketika Jenara mendapati dirinya hamil. Kabar ini seharusnya menjadi kebahagiaan bagi Gilbert, namun ia menyimpan rahasia kelam. Sejak remaja, ia didiagnosis mengidap Oligosperma setelah berjuang melawan demam tinggi. Diagnosis itu membuatnya yakin bahwa ia tidak mungkin bisa memiliki keturunan.
Meskipun Gilbert meragukan kehamilan itu, ia merasa bertanggung jawab dan menikahi Jenara demi nama baik. Apalagi Gilbert lah yang mengambil keperawanan Jenara di malam itu. Dalam pernikahan tanpa cinta yang dilandasi keraguan dan paksaan, Gilbert harus menghadapi kebenaran pahit, apakah ini benar-benar darah dagingnya atau Jenara menumbalkan dirinya demi menutupi kehamilan diluar nikah. Apalagi Gilbert menjalani pernikahan yang dingin.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss_Dew, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sapuluh
“Jadi sekarang, saya yang akan mengambil alih kendali. Saya, Gilbert Rahadiansyah, memaksa untuk bertanggung jawab atas anak ini. Dan caranya hanya satu. Kamu harus menikah denganku.”
Jenara tertawa. Tawa kering, tanpa humor, yang terdengar lebih menyeramkan daripada amarahnya.
“Menikah? Kau gila? Jangan konyol, Tuan Rahadiansyah! Di sini, saya tidak merugikan siapapun. Tidak ada yang menuntut pernikahan! Kecuali… kecuali kamu memang menginginkan hartaku. Tentu kamu sudah menyelidiki siapa saya yang sebenarnya, bukan?”
Seketika, atmosfer ruangan berubah. Tuduhan itu adalah garis merah yang tidak bisa dilintasi. Gilbert geram. Matanya memancarkan kemarahan dingin, jauh lebih dalam daripada sekadar emosi sesaat. Ia menghadapi ras paling kuat di muka bumi ini, wanita yang percaya bahwa semua masalah, bahkan hati manusia, dapat diselesaikan dengan uang. Jenara benar-benar telah membolak-balikkan pikirannya, memecah anggapan bahwa tak hanya pria yang bisa bersikap arogan.
“Baik!” potong Gilbert, suaranya menusuk. “Jika kamu takut saya mengambil hartamu, mari kita buat perjanjian pranikah!”
Gilbert menarik kursi di hadapan Jenara dan duduk, bertindak seolah dia adalah notaris Jenara.
“Kita buat perjanjian pisah harta. Semuanya. Tidak ada satu pun aset pribadimu yang akan menjadi milikku. Tidak ada satu pun saham Digdaya Guna yang akan saya sentuh.” Gilbert melipat tangan di dada. “Kamu bebas meminta nafkah berapapun setelah pernikahan, yang akan saya bayarkan dari rekening pribadiku. Bahkan jika kamu meminta nafkah sepuluh kali lipat dari gajiku sekarang, meskipun itu hal yang mustahil sekalipun, selama Gilbert Rahadiansyah masih bernapas, saya akan mengusahakannya!”
Jenara terdiam, menatap Gilbert tanpa berkedip. Ancaman itu, tantangan itu, justru adalah cara paling efektif untuk membuatnya goyah. Pria ini tidak hanya menolak uangnya, tetapi juga menantang kekuasaannya dengan menawarkan perjanjian hukum yang melindungi penuh kekayaan Jenara, bahkan menempatkan dirinya pada posisi yang harus berjuang keras demi memenuhi tuntutan finansial Jenara.
Tembok tebal yang ia bangun di sekeliling hatinya mulai sedikit retak. Bukan karena cinta, tetapi karena ia menghormati kejujuran brutal dan harga diri Gilbert yang begitu besar.
Jenara menarik napas panjang. Ekspresi kaku di wajahnya melunak, digantikan oleh keraguan yang dalam.
“Mengapa kamu melakukan ini?” tanya Jenara, suaranya sangat lirih, hampir seperti bisikan. Untuk pertama kalinya, Jenara terdengar seperti wanita biasa yang sedang takut.
Gilbert melunak sedikit, tetapi tatapannya tetap tegas. “Karena saya tidak ingin anak saya menjadi korban dari ego dua orang dewasa yang keras kepala. Saya tidak ingin anak saya mendengar cerita bahwa ayahnya dibayar mahal untuk menghilang.”
Jenara menundukkan kepalanya, menatap cek lima miliar itu. “Pernikahan… tanpa cinta… apakah ini akan berhasil? Bahkan pernikahan yang dimulai dengan cinta saja bisa berakhir di tengah jalan.”
Gilbert Rahadiansyah, pria yang dikenal dingin dan rasional, memberikan jawaban yang sangat tegas, tanpa janji romantis yang kosong.
“Biarkan saya yang berjuang untuk membuat pernikahan ini berhasil, Nona Sanjaya. Kamu cukup fokus melahirkan anak saya saja. Sisanya, serahkan padaku. Ini janjiku, janji sebagai seorang pria dewasa.” Kedua mata Gilbert yang matanya dengan tajam memiliki pengaruh yang tersembunyi.
Keheningan kembali menyelimuti ruang privat itu. Keheningan kali ini berbeda. Bukan lagi keheningan yang mematikan karena amarah, melainkan keheningan yang penuh pemikiran.
Jenara Sanjaya terhanyut dalam lamunannya. Selama ini, hidupnya adalah garis lurus yang terencana, penuh dengan meeting dan laporan. Hidup sendiri, ia merasa nyaman. Kini, ia harus berbagi kehidupan dengan orang asing, membangun keluarga yang sama sekali tidak ada dalam rancangan masa depannya. Rasanya asing dan menakutkan.
Di sisi lain, Gilbert Rahadiansyah menatap ke luar jendela London yang gelap. Pikirannya dipenuhi keraguan. Apakah anak itu benar-benar anaknya? Vonis mandul itu, meskipun sudah lama, masih menghantuinya. Tapi apa pun itu, harga dirinya sudah terlanjur dipertaruhkan. Ia akan bertanggung jawab.
Krrroooong!
Bunyi keroncongan nyaring memecah keheningan. Bunyi itu berasal dari perut Jenara, yang baru menyadari bahwa ia lupa kapan terakhir kali ia mengisi perutnya. Wajah Jenara yang kaku seketika memerah karena malu.
Gilbert menoleh ke sumber suara, lalu menatap wajah Jenara yang memerah. Ekspresinya tidak menunjukkan jijik, tetapi juga tidak menunjukkan tawa.
Tanpa berkata apa-apa, Gilbert bangkit dari kursi, mengambil cek lima miliar itu, melipatnya rapi, dan menyimpannya di saku Jenara.
Jenara mendengus kesal. Ia memejamkan mata, prasangka buruknya muncul. Pria itu illfeel. Dia pasti jijik mendengar suara perutku. Dia pasti akan pergi.
Jenara membuka mata. Ruangan itu kosong. Gilbert telah pergi, meninggalkannya sendirian.
Di luar private room, Alexa setia menunggu, berdiri tegak di lorong yang sunyi. Ia tahu, konfrontasi antara bosnya dan Gilbert Rahadiansyah pasti sangat intens.
Pintu terbuka. Gilbert keluar, wajahnya yang tegas sangat berbeda dengan penampilannya saat pertama kali bertemu . Alexa harus menahan senyum melihat penampilan gothic-chic Gilbert yang berantakan itu.
“Alexa,” panggil Gilbert, suaranya tenang. “Tolong pesan makanan. Untuk Nona Sanjaya. Apa makanan kesukaan dia?”
Alexa tersenyum lega. “Wagyu steak dengan tingkat kematangan medium rare dan saus truffle kesukaan Bu Jenara, Tuan.”
Gilbert mengangguk. “Pesan itu. Lalu…” Gilbert terdiam sejenak, wajahnya terlihat berpikir keras. Ia tampak bergumul dengan sesuatu yang tidak nyaman.
“Lalu apa, Tuan?” tanya Alexa.
“Apakah di restoran ini menyediakan masakan Indonesia?” tanya Gilbert, matanya menatap sekeliling dengan harapan yang aneh.
“Tentu, Tuan. Hotel ini adalah cabang dari jaringan hotel internasional, mereka menyediakan menu global. Apakah Anda menginginkan menu Indonesia? Saya bisa memintanya dari dapur.”
“Ya. Tolong sekalian pesan… soto ayam. Yang kuahnya kental. Atau nasi Padang. Harus yang lengkap dengan rendang dan daun singkong rebus. Yang paling pedas kalau bisa,” pinta Gilbert.
Permintaan itu kontras sekali dengan aura Gilbert yang kaku di hadapan Jenara tadi.
Alexa tidak dapat menahan senyumnya, tetapi ia segera menutup mulutnya dengan tangan. Ia mengangguk dengan ekspresi serius yang dibuat-buat.
“Baik, Tuan. Wagyu untuk Bu Jenara, dan soto ayam atau nasi Padang pedas untuk Anda,” kata Alexa.
Meskipun dalam hatinya tertawa puas, Alexa mengira Gilbert sedang mengalami ngidam, gejala khas kehamilan yang sering menular pada calon ayah. Ia segera bergegas melakukan permintaan Gilbert, dengan senyum puas.
Ternyata Gilbert Rahadiansyah tidak sedingin yang terlihat, pikir Alexa.
kesian anaknya kalo kenapa2 😭
btw jen, dia suamimu loo, bapak dari si bayi 😌