NovelToon NovelToon
Fragmen Yang Tertinggal

Fragmen Yang Tertinggal

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Seiring Waktu / Romansa / Enemy to Lovers / Cintapertama / Cinta Murni / Berbaikan
Popularitas:27
Nilai: 5
Nama Author: tanty rahayu bahari

​Di antara debu masa lalu dan dinginnya Jakarta, ada satu bangunan yang paling sulit direnovasi: Hati yang pernah patah.
​Lima tahun lalu, Kaluna Ayunindya melakukan kesalahan terbesar dalam hidupnya: meninggalkan Bara Adhitama—pria yang memujanya—dan cincin janji mereka di atas meja nakas tanpa sepatah kata pun penjelasan. Ia lari ke London, membawa rasa bersalah karena merasa tak pantas bersanding dengan pewaris tunggal Adhitama Group.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon tanty rahayu bahari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 3: Hantu dari Masa Lalu

​Jarum jam di dinding Archineer Studio sudah menunjuk angka dua dini hari.

​Lantai kantor yang biasanya sibuk kini sunyi senyap, hanya diterangi oleh lampu meja di kubikel Kaluna dan cahaya layar laptop yang berpendar menyakitkan mata. Di luar jendela, Jakarta masih belum tidur sepenuhnya. Cahaya lampu gedung pencakar langit berkerlap-kerlip menembus tirai hujan gerimis, tampak seperti ribuan mata yang mengawasi kesendirian Kaluna.

​Kaluna memijat pangkal hidungnya yang berdenyut. Di hadapannya, lembaran Gantt Chart—jadwal proyek—yang sudah direvisi terhampar penuh coretan.

​"Enam bulan..." gumamnya pada kesunyian. "Dia benar-benar gila."

​Memadatkan pekerjaan restorasi detail yang seharusnya setahun menjadi enam bulan adalah bunuh diri profesional. Tapi Kaluna tahu, Bara tidak peduli pada logikanya. Pria itu hanya peduli pada hukuman. Setiap tenggat waktu yang mustahil ini adalah cambuk yang dilayangkan Bara untuk membalas rasa sakitnya lima tahun lalu.

​Kaluna meraih mug kopinya yang sudah dingin. Saat bibirnya menyentuh keramik itu, pandangannya jatuh pada sketsa kasar di ujung meja. Itu sketsa Grand Staircase Hotel Menteng yang tadi siang ditendang Bara.

​Tanpa sadar, tangan Kaluna bergerak mengambil pensil. Alih-alih memperbaiki detail teknis tangga itu, tangannya justru menarik garis-garis lain di kertas kosong. Sebuah garis rahang yang tegas namun lembut. Mata yang menyipit saat tertawa. Rambut yang sedikit berantakan tertiup angin.

​Dalam hitungan menit, wajah Bara—Bara yang dulu—muncul di kertas itu.

​Bukan Bara yang tadi siang menatapnya dengan kebencian di antara debu reruntuhan. Tapi Bara yang lima tahun lalu. Bara yang belum menjadi CEO dingin. Bara yang hanya seorang lelaki sederhana yang mencintai Kaluna dengan ugal-ugalan.

​Ingatan itu datang tanpa permisi, menyeret Kaluna kembali ke sebuah sore di bulan November, lima tahun yang lalu.

​[Flashback: 5 Tahun Lalu]

​"Kamu yakin mau makan di sini? Kemejamu bisa bau asap, Bar."

​Kaluna menatap ragu ke arah warung tenda Sate Padang di pinggir jalan Barito yang penuh sesak. Asap pembakaran sate mengepul tebal, bercampur dengan aroma bumbu rempah yang menggugah selera.

​Bara tertawa. Suaranya renyah dan lepas, tanpa beban. Ia mengenakan kaos oblong putih polos yang sedikit kusam dan celana jeans sobek di lutut—pakaian "pemberontakan"-nya setiap kali berhasil kabur dari acara formal keluarganya.

​"Biarin," jawab Bara santai, menarik tangan Kaluna untuk duduk di bangku plastik panjang. "Biar orang rumah tahu kalau anak bungsu Adhitama ini baunya kayak rakyat jelata, bukan kayak parfum Prancis koleksi Mama."

​Kaluna terkekeh, membiarkan Bara memesan dua porsi sate dengan ketupat ekstra. Saat itu, Bara masih bekerja sebagai staf magang di divisi operasional perusahaan ayahnya. Dia menolak fasilitas mewah, bersikeras ingin memulai dari bawah meski semua orang tahu dia adalah pewaris takhta.

​"Kamu berantem lagi sama Ibumu?" tanya Kaluna pelan saat pesanan mereka datang.

​Senyum Bara sedikit memudar, tapi tangannya dengan cekatan memotongkan ketupat di piring Kaluna menjadi potongan-potongan kecil—kebiasaan kecil yang selalu membuat hati Kaluna meleleh.

​"Biasa," jawab Bara sambil mengangkat bahu. "Ibu mau menjodohkan aku lagi. Kali ini sama anak pemilik tambang batu bara. Katanya supaya 'saham kita aman'." Bara mendengus, lalu menatap Kaluna lekat. "Padahal aku sudah bilang, aku sudah punya arsitek cantik yang bakal bangun masa depan aku."

​Wajah Kaluna memanas. "Bar, jangan mulai deh. Aku cuma mahasiswa tingkat akhir yang lagi pusing skripsi."

​"Dan aku serius, Kaluna Ayunindya."

​Bara meletakkan sendoknya. Di tengah hiruk-pikuk warung tenda, di antara suara pengamen jalanan yang menyanyikan lagu Sheila on 7 dengan fals, Bara merogoh saku celana jeans-nya.

​Jantung Kaluna berdegup kencang. "Bara, kamu mau ngapain?"

​Bara mengeluarkan sebuah kotak kecil beludru biru. Bukan kotak cincin mahal dari Tiffany & Co atau Cartier. Kotak itu terlihat agak tua.

​"Ini bukan cincin baru," kata Bara, membuka kotak itu. Isinya adalah sebuah cincin perak sederhana dengan ukiran motif daun yang halus. Tidak ada berlian besar. Hanya sebuah batu moonstone kecil yang berkilau lembut. "Ini cincin nenekku. Satu-satunya wanita di keluarga Adhitama yang menikah karena cinta, bukan karena merger perusahaan."

​Kaluna menutup mulutnya dengan tangan, matanya berkaca-kaca.

​"Nenek kasih ini ke aku sebelum beliau meninggal," lanjut Bara, suaranya melembut. Ia mengambil tangan Kaluna, mengusap punggung tangannya dengan ibu jari. "Beliau bilang, kasih ini ke perempuan yang bikin kamu merasa 'pulang'. Bukan ke perempuan yang bikin kamu merasa sedang dalam rapat bisnis."

​"Bar..." suara Kaluna tercekat.

​"Aku tahu aku belum jadi apa-apa, Lun," ucap Bara sungguh-sungguh. Tatapan matanya hangat, penuh pemujaan, seolah Kaluna adalah satu-satunya hal berharga di dunia yang bising ini. "Aku masih di bawah bayang-bayang Ayah. Ibuku mungkin bakal jadi mimpi buruk buatmu. Tapi aku janji, kalau kamu pakai cincin ini... aku bakal jadi tameng buat kamu. Kita hadapi dunia bareng-bareng. Ya?"

​Air mata Kaluna menetes. Bukan karena sedih, tapi karena bahagia yang meluap-luap. Saat itu, dia percaya. Dia percaya bahwa cinta Bara cukup kuat untuk menahan badai apa pun. Dia percaya bahwa mereka bisa melawan restu orang tua, status sosial, dan perbedaan kasta.

​"Ya," bisik Kaluna. "Aku mau."

​Bara tersenyum lebar—senyum paling bahagia yang pernah Kaluna lihat—dan menyematkan cincin itu di jari manis Kaluna. Pas. Sempurna.

​Bara kemudian mengangkat tangan Kaluna, mengecup punggung tangannya tepat di atas cincin itu, lalu beralih mengecup kening Kaluna lama sekali, mengabaikan tatapan pengunjung warung lain yang bersorak menggoda mereka.

​"Mulai sekarang, kamu rumahku, Kaluna," bisik Bara di telinganya.

​Sore itu, di bawah tenda terpal oranye yang bolong-bolong, dengan bau asap sate dan suara bising knalpot bajaj, Kaluna merasa menjadi wanita paling beruntung di dunia.

​Dia tidak tahu bahwa dua bulan kemudian, dia akan melepaskan cincin itu.

Dia tidak tahu bahwa dia akan meninggalkannya di atas meja nakas kayu jati di kamar Bara, di samping secarik kertas yang hanya bertuliskan: Maaf, aku tidak bisa.

​[Kembali ke Masa Kini]

​Bunyi notifikasi email di laptop menyentak Kaluna kembali ke realitas yang dingin.

​Sketsa wajah Bara di kertas itu kini basah oleh satu tetes air mata yang jatuh tanpa Kaluna sadari. Ia buru-buru menghapusnya dengan punggung tangan, tapi noda air itu sudah membuat tinta pensilnya meleber, membuat wajah Bara di gambar itu terlihat seperti sedang menangis.

​Kaluna meremas kertas itu, lalu membuangnya ke tempat sampah.

​"Bodoh," rutuknya pada diri sendiri. "Berhenti mengingatnya. Dia sudah mati. Bara yang itu sudah mati."

​Pria yang ia temui di hotel tadi siang bukanlah pria yang memberinya cincin perak neneknya. Pria tadi siang adalah monster yang diciptakan oleh kepergian Kaluna.

​Kaluna menarik napas panjang, berusaha mengembalikan fokusnya. Ia kembali menatap layar laptop. Jadwal revisi sudah 90% selesai. Ia memotong waktu istirahat pekerja, menambah shift malam, dan memangkas prosedur birokrasi yang berbelit.

​Ia akan membuktikan pada Bara bahwa dia profesional. Dia tidak akan membiarkan Bara melihatnya hancur.

​Saat hendak menyimpan file, ponsel Kaluna bergetar di atas meja. Sebuah pesan masuk.

​Nomor tidak dikenal.

​Kaluna membuka pesan itu.

​From: +62 811 xxxx xxxx

Besok, bawa sampel material marmer untuk lantai lobi ke ruangan saya jam 8 pagi. Jangan pakai kurir. Saya mau dengar penjelasan kenapa marmer Italia yang kamu pilih harganya tidak masuk akal.

- B.A.

​Kaluna menatap layar ponselnya dengan nanar. Bara Adhitama. Bahkan di jam dua pagi, pria itu masih mencari cara untuk menyiksanya.

​Kaluna mengetik balasan singkat: Baik, Pak.

​Ia meletakkan ponselnya kasar. Dadanya sesak. Kilasan memori tentang janji Bara untuk menjadi "tameng" baginya terasa seperti lelucon yang kejam sekarang. Kini, Bara bukan tamengnya. Bara adalah pedang yang siap menghunus jantungnya kapan saja.

​Kaluna bangkit dari kursinya, meregangkan punggung yang kaku. Ia berjalan ke jendela kaca besar, menatap Jakarta yang basah.

​"Aku akan bertahan, Bar," bisiknya pada bayangan dirinya sendiri di kaca. "Aku akan selesaikan hotel itu, lalu aku akan pergi dari hidupmu selamanya. Kali ini, tanpa meninggalkan jejak."

​Tapi jauh di lubuk hatinya, Kaluna tahu itu bohong.

Karena saat tadi siang tubuh Bara melindunginya dari reruntuhan plafon, saat aroma sandalwood itu memeluknya, Kaluna tahu satu hal yang menakutkan:

​Dia masih mencintai pria itu. Dan enam bulan ke depan akan menjadi neraka yang paling indah sekaligus paling menyakitkan baginya.

​Kaluna membereskan barang-barangnya, mematikan lampu meja, dan berjalan keluar dari kegelapan kantor, bersiap menghadapi pertempuran hari esok.

​Di tempat lain, di Penthouse mewah di kawasan Senopati, Bara Adhitama berdiri di balkon, memegang segelas whisky. Ia menatap layar ponselnya yang menampilkan balasan singkat dari Kaluna.

​Dia tidak bisa tidur. Setiap kali dia memejamkan mata, dia melihat wajah ketakutan Kaluna saat plafon itu runtuh. Tangannya masih bisa merasakan getaran tubuh wanita itu dalam pelukannya.

​Bara meneguk habis minumannya, merasakan sensasi terbakar di tenggorokannya. Ia membenci fakta bahwa tubuhnya masih bereaksi untuk melindungi wanita yang telah menghancurkan hatinya.

​"Kenapa kau harus kembali, Kaluna?" desisnya pada angin malam.

​Bara berbalik, melempar gelas kristal mahal itu ke dinding hingga pecah berkeping-keping.

​Pecahan kaca berserakan di lantai, memantulkan cahaya bulan yang dingin. Sama seperti kepingan hati mereka yang berserakan, menunggu untuk melukai siapa saja yang mencoba menyatukannya kembali.

BERSAMBUNG....

Terima kasih telah membaca💞

Jangan lupa bantu like komen dan share❣️

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!