Kabur dari perjodohan toksik, Nokiami terdampar di apartemen dengan kaki terkilir. Satu-satunya harapannya adalah kurir makanan, Reygan yang ternyata lebih menyebalkan dari tunangannya.
Sebuah ulasan bintang satu memicu perang di ambang pintu, tapi saat masa lalu Nokiami mulai mengejarnya, kurir yang ia benci menjadi satu-satunya orang yang bisa ia percaya.
Mampukah mereka mengantar hati satu sama lain melewati badai, ataukah hubungan mereka akan batal di tengah jalan?
Yuk simak kisahnya dalam novel berjudul "Paket Cinta" ini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Imamah Nur, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5. Pertemuan Kembali
Ia membaca ulang kalimat terakhirnya dan merasa kurang. Nokiami menambahkan beberapa tanda seru lagi untuk penekanan.
“PECAT DIA SEKARANG JUGA!!!!!!!!”
Dengan napas terengah dan jantung berdebar kencang, ia menekan tombol “Kirim”. Selesai. Bom waktu itu telah ditanam. Ia membayangkan wajah Reygan saat menerima notifikasi teguran dari atasannya. Ia membayangkan pria kaku itu kehilangan pekerjaannya, terpaksa menjual motor bututnya, dan menyesali setiap detik perlakuannya pada Nokiami. Gambaran itu memberinya sedikit kepuasan.
Akan tetapi, perasaan itu tidak bertahan lama.
Ketika adrenalin dari kemarahannya surut, yang tersisa hanyalah keheningan apartemen yang pekat dan rasa sakit yang berdenyut di kakinya. Kepuasan dari balas dendam itu menguap, meninggalkan ampas berupa rasa hampa yang dingin.
Ia menatap sekeliling ruangan yang rapi dan impersonal. Dinding putih, sofa abu-abu, tidak ada foto, tidak ada kenangan. Ini bukan rumahnya. Ini adalah sel isolasi yang ia pilih sendiri.
Tiba-tiba, sebuah pikiran yang menakutkan menyelinap masuk ke benaknya.
“Baru satu hari, Nok,” bisiknya pada diri sendiri, suaranya serak. “Baru satu hari kabur, dan kau sudah dikalahkan oleh masalah sepele begini. Cuma karena kurir makanan yang menyebalkan.”
Ia tertawa, tawa kering tanpa humor. Selama ini, ia membayangkan pelariannya sebagai sesuatu yang heroik. Ia akan memulai hidup baru, mandiri, dan membuktikan pada semua orang—terutama Leo dan keluarganya—bahwa ia lebih dari sekadar pajangan cantik yang harus diatur porsi makannya.
Kenyataannya? Ia terperangkap di apartemen orang lain, tidak bisa berjalan, dan baru saja mengalami penghinaan terbesar dalam hidupnya oleh seorang pria asing yang mungkin bahkan tidak akan mengingat namanya besok.
Bagaimana jika Leo menemukannya? Bagaimana jika uangnya habis? Jika ia bahkan tidak sanggup menghadapi seorang kurir, bagaimana ia bisa menghadapi dunia yang jauh lebih kejam di luar sana? Keraguan itu terasa seperti air dingin yang disiramkan ke kobaran amarahnya, memadamkannya seketika dan meninggalkan asap pahit keputusasaan.
Untuk pertama kalinya sejak ia membanting pintu di belakang punggung Leo, Nokia merasa takut. Bukan takut tertangkap, melainkan takut bahwa ia telah membuat kesalahan besar. Takut bahwa ia tidak sekuat yang ia kira.
*
Keesokan harinya, tidak ada yang membaik. Pergelangan kakinya justru membengkak dua kali lipat, warnanya berubah dari ungu kebiruan menjadi ungu kehitaman yang mengerikan. Setiap pergerakan, sekecil apa pun, mengirimkan gelombang rasa sakit yang membuatnya mual. Ia menghabiskan hari dengan menempelkan sekantong kacang polong beku dari kulkas Rina ke kakinya, mengumpat, dan menonton acara televisi yang tidak ia perhatikan.
Waktu berjalan lambat, diselingi oleh keheningan dan suara perutnya yang mulai bernyanyi keroncong. Stok air di dispenser menipis. Harapan bahwa kakinya akan sembuh secara ajaib dalam semalam telah pupus. Ia masih terdampar.
Menjelang sore, rasa lapar itu berubah menjadi monster yang tidak bisa diabaikan lagi. Perutnya melilit, kepalanya pening. Ia tidak punya pilihan.
Dengan perasaan campur aduk antara benci pada diri sendiri dan kebutuhan mendesak, ia meraih ponselnya lagi. Ikon aplikasi hijau itu seolah mengejeknya dari layar. Ia bersumpah tidak akan menggunakannya lagi, tetapi di sinilah ia, kembali ke sumber penderitaannya.
“Oke, alam semesta. Kau menang,” gumamnya getir. “Kali ini, tolong, kirimkan aku kurir yang normal. Seorang nenek baik hati, atau mahasiswa yang butuh uang jajan. Siapa saja, asal bukan dia.”
Ia membuka aplikasi, jantungnya berdebar sedikit lebih kencang. Ia sengaja memilih restoran yang berbeda, yang lokasinya lebih jauh, berharap sistem akan memberikannya pengemudi yang berbeda pula. Pilihannya jatuh pada semangkuk bubur ayam hangat dan sate usus. Makanan yang lembut, tidak menantang, sama seperti harapan hatinya untuk kurir yang akan datang.
Dengan jari gemetar, ia memeriksa ulang alamat dan detail pesanan. Semuanya benar. Matanya terpaku pada tombol di bagian bawah layar: “Pesan Sekarang”. Menekannya terasa seperti menandatangani perjanjian dengan iblis.
Ia menarik napas dalam-dalam, memejamkan mata, dan menekan tombol itu.
Pesanan terkonfirmasi. Layar ponselnya berubah, menampilkan animasi motor yang bergerak mencari pengemudi. “Mencari pengemudi di sekitarmu...”
Nokiami menahan napas. Jantungnya berdebar nyaring di telinganya.
"Tolong jangan dia, tolong jangan dia, tolong jangan dia," bisiknya pelan.
Satu detik. Dua detik. Tiga detik.
Ponselnya bergetar di tangannya, diiringi bunyi notifikasi yang singkat dan tajam, membelah keheningan apartemen seperti pisau. Sebuah spanduk pemberitahuan turun dari bagian atas layar, menampilkan pratinjau pesan yang menentukan nasib makan malamnya.
Pengemudi Reygan sedang dalam perjalanan mengambil pesananmu.
Nama itu membeku di layar membuat hati Nokiami pun serasa sama. Ia menatap ponselnya dengan nanar, seolah berharap jika ia menatapnya cukup lama, huruf-huruf itu akan mengatur ulang diri mereka menjadi nama yang berbeda. Budi, Agus atau siapapun.
“Tidak mungkin,” bisiknya pada keheningan apartemen. Tawa kering dan getir lolos dari bibirnya. “Lelucon apa ini?"
Ia melempar ponselnya ke sofa, tetapi benda itu seolah memiliki magnet yang terus menarik pandangannya. Di antara jutaan kemungkinan antara pelanggan dan pengemudi di kota ini, kenapa alam semesta memutuskan untuk mempertemukan mereka kembali setelah ulasan bintang satu yang ia berikan juga sumpah serapah yang ia lontarkan pada kurir tak berempati itu.
Kenapa harus dipertemukan kembali setelah ia menuntut pemecatan pria itu dengan dua belas tanda seru?
Jantung Nokiami mulai berdebar kencang. Ia yakin pertemuan kali ini akan menjadi pertempuran bagi mereka. Apa yang akan pria itu lakukan? Meludah di buburnya? Melemparkan pesanannya ke pintu? Atau, yang lebih buruk, menatapnya lagi dengan tatapan dingin menghakimi yang seolah bisa mengupas seluruh harga dirinya lapis demi lapis?
Pilihan untuk membatalkan pesanan melintas di benaknya, tetapi ia menepisnya dengan cepat. Tidak. Itu sama saja dengan mengaku kalah. Itu akan memberikan kepuasan pada pria balok es itu, membuktikan bahwa gertakannya berhasil. Nokiami tidak akan memberinya kemenangan itu. Perutnya yang melilit karena lapar setuju. Ia akan menghadapi monster berjaket hijau itu. Kali ini, ia akan siap.
Dengan susah payah, ia mendorong dirinya untuk duduk tegak, menyandarkan punggungnya ke sofa. Ia mengatur napasnya, mencoba memanggil sisa-sisa keberanian yang telah membawanya kabur dari hotel mewah beberapa hari yang lalu. Jika ia bisa menghadapi Leo, ia pasti bisa menghadapi seorang kurir menyebalkan.
Waktu terasa merayap seperti siput yang berjalan di atas lem. Setiap suara dari koridor, pintu lift yang berdenting, langkah kaki yang menjauh, membuatnya menegang. Ia sudah menyusun skenario di kepalanya. Ia akan membuka pintu. Ia akan bersikap dingin dan profesional. Ia akan mengambil makanannya, mengucapkan terima kasih yang singkat dan tanpa emosi, lalu menutup pintu di depan wajahnya. Sederhana. Efisien. Tidak ada drama.
Lalu, bel pintu berbunyi lebih tenang dan terkendali daripada bel kemarin. Namun, entah
kenapa terasa lebih mengintimidasi bagi Nokiami, seolah kesopanan yang didengarnya itu palsu.
Nokiami menarik napas dalam-dalam. “Oke, Nok. Waktunya buka pintu."
Ia melompat dengan satu kaki menuju pintu, menggunakan dinding sebagai tumpuan. Setiap lompatan mengirimkan getaran nyeri ke pergelangan kakinya, tetapi ia mengabaikannya. Ia tidak akan merangkak lagi. Tidak akan pernah.
Ia membuka pintu, tidak lagi hanya selebar celah, tetapi membukanya penuh dengan gestur menantang. Di sana, di bawah cahaya lampu koridor yang pucat, Reygan berdiri. Wajahnya sama kakunya seperti kemarin, tetapi ada sesuatu yang berbeda di matanya.
“Selamat sore,” sapanya, suaranya datar, tetapi Nokiami bisa menangkap nada sarkasme yang tipis di baliknya. “Pesanan atas nama Nokiami?”
“Iya, saya,” jawab Nokiami, suaranya ia paksakan agar terdengar tenang.
Reygan tidak langsung menyerahkan makanannya. Ia sedikit memiringkan kepala, tatapannya menelusuri Nokiami dari ujung rambut hingga pergelangan kakinya yang masih dibalut perban darurat. “Kakinya masih sakit, ya? Kasihan sekali.”
Tidak ada simpati dalam kata-kata itu. Hanya ejekan yang terbungkus rapi.
“Bukan urusan Anda,” balas Nokiami tajam. “Makanannya?”
Reygan tersenyum tipis. “Sabar, Mbak. Saya cuma mau memastikan. Soalnya, saya baru dapat ulasan menarik tadi malam. Katanya saya tidak manusiawi, tidak punya empati, aib bagi perusahaan.” Ia berhenti sejenak, matanya menatap lurus ke mata Nokia. “Katanya saya harus dipecat. Pakai tanda seru banyak sekali. Sepertinya Mbak sangat … bersemangat.”