NovelToon NovelToon
MUTIARA SETELAH LUKA

MUTIARA SETELAH LUKA

Status: sedang berlangsung
Genre:Menikah Karena Anak / Keluarga / CEO / Penyesalan Suami / Ibu Pengganti
Popularitas:528
Nilai: 5
Nama Author: zanita nuraini

“Mutiara Setelah Luka”

Kenzo hidup dalam penyesalan paling gelap setelah kehilangan Amara—istrinya yang selama ini ia abaikan. Amara menghembuskan napas terakhir usai melahirkan putra mereka, Zavian, menyisakan luka yang menghantam kehidupan Kenzo tanpa ampun. Dalam ketidakstabilan emosi, Kenzo mengalami kecelakaan yang membuatnya lumpuh dan kehilangan harapan untuk hidup.

Hidupnya berubah ketika Mutiara datang sebagai pengasuh Zavian anak nya. Gadis sederhana itu hadir membawa ketulusan dan cahaya yang perlahan meruntuhkan tembok dingin Kenzo. Dengan kesabaran, perhatian, dan kata-kata hangatnya, Mutiara menjadi satu-satunya alasan Kenzo mencoba bangkit dari lembah penyesalan.

Namun, mampukah hati yang dipenuhi luka dan rasa bersalah sedalam itu kembali percaya pada kehidupan?
Dan sanggupkah Mutiara menjadi cahaya baru yang menyembuhkan Kenzo—atau justru ikut tenggelam dalam luka masa lalunya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zanita nuraini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 5 REAkSI KENZO

Kabar kehamilan Amara pertama kali disampaikan bukan oleh Amara sendiri, melainkan oleh Bibi rumah.

Saat itu Kenzo baru pulang kerja, masih membawa wajah lelah dan sikap dinginnya seperti biasa. Begitu masuk ruang makan, ibunya, Saras, langsung tersenyum lebar.

“Kenzo, selamat ya. Amara hamil.”

Kenzo terdiam. Langkahnya langsung berhenti. Ia menatap ibunya, lalu menatap Amara yang duduk di ujung meja dengan wajah pucat, seperti ketakutan.

“Amara… hamil?” suara Kenzo rendah, seperti sulit percaya.

Amara hanya mengangguk pelan tanpa berani melihat matanya.

Reaksi pertama Kenzo jelas: kaget. Sangat kaget. Ia sama sekali tidak menyangka. Ia pikir hubungan mereka—yang dingin, kaku, dan penuh jarak—tidak akan menghasilkan apa pun. Ia juga menganggap malam itu tidak lebih dari ledakan emosi.

Kenzo menelan ludah. Wajahnya masih shock. Tidak ada senyum, tidak ada amarah, hanya terdiam.

Setelah beberapa detik, ia berkata pelan, “Baiklah.”

Itu saja. Tidak ada ucapan selamat, tidak ada pelukan, tidak ada ekspresi lain. Hanya satu kata itu. Lalu ia pergi ke kamar tanpa menambahkan apa pun.

---

Hari-hari berikutnya, meski masih canggung, Kenzo mulai menerima kenyataan bahwa ia akan menjadi ayah.

Sikapnya memang masih dingin, tapi tidak sekeras sebelumnya. Ia tidak lagi mengabaikan Amara sepenuhnya.

Sesekali ia bertanya singkat, “Kamu sudah makan?” atau “Ada yang kamu butuhkan?”

Tapi Amara selalu menjawab singkat, “Sudah,” atau “Tidak, Mas.”

Yang membuat Kenzo heran, setiap kali Amara membutuhkan sesuatu—buah, makanan, barang, bahkan sekadar minuman hangat—Amara selalu meminta lewat bibi rumah, bukan langsung padanya.

Suatu hari Kenzo memergoki bibi rumah sedang terburu-buru keluar dari dapur membawa mangkuk buah.

“Itu buat apa?” tanya Kenzo.

“Ini… Bu Amara minta buah mangga, Tuan,” jawab bibi gugup.

“Kenapa nggak bilang ke saya?” Kenzo mengerutkan dahi.

“Bu Amara bilang… lebih nyaman minta lewat saya saja, Tuan.”

Kenzo tidak berkata apa-apa. Ia hanya diam dan kembali ke ruang kerja. Ada perasaan aneh yang muncul dalam dirinya, semacam rasa bersalah yang tidak pernah ia akui.

---

Sementara itu, Saras selalu menasehati Amara.

“Amara, kamu itu hamil. Kalau kamu ngidam atau ingin sesuatu, bilang ke Kenzo. Kamu istrinya.”

Amara menggeleng cepat. “Tidak apa-apa, Bu. Ada Bibi juga di sini. Aku minta ke Bibi saja.”

“Kenapa kamu takut bicara sama Kenzo, Nak?”

Amara tersenyum kecil, meski jelas terlihat dipaksakan. “Tidak takut, Bu. Cuma… tidak mau repotkan Mas kenzo.”

Saras merasakan kejanggalan itu, tapi ia memilih tidak mendesak. Yang penting Amara mau makan dengan baik.

---

Di sisi lain, Rendra memperhatikan Amara dengan seksama. Ia bukan tipe yang banyak komentar, tetapi ia memperhatikan perubahan kecil—wajah Amara semakin pucat, tubuhnya semakin kurus, dan langkahnya terlihat lemah.

Suatu malam, setelah acara makan malam keluarga, Rendra mengajak Saras bicara di balkon.

“Ma, kamu lihat nggak? Amara itu tambah pucat,” ucap Rendra, suaranya rendah tapi serius.

Saras mengangguk. “Aku sadar. Makanya aku sering ingatkan dia makan yang banyak. Tapi dia kelihatan tidak kuat.”

“Bukan cuma itu,” lanjut Rendra. “Dia kurus, padahal orang hamil biasanya berat badannya bertambah. Ini malah berkurang.”

Saras terdiam sejenak, wajahnya mulai terlihat khawatir. “Kamu pikir… Amara menyembunyikan sesuatu?”

“Aku curiga dia sakit,” kata Rendra lirih. “Dan dia nggak mau kita tahu.”

Saras menarik napas panjang. “Amara selalu pergi kontrol sendiri. Dia menolak ditemani. Kalau ada apa-apa, seharusnya dia bicara…”

“Ma,” potong Rendra, “kalau dia benar-benar sakit, kita harus tahu. Ini bukan soal kita ingin ikut campur. Ini soal keselamatan dia dan cucu kita.”

Saras mengangguk pelan, wajahnya mulai tegang.

---

Sementara itu, dokter kandungan yang merawat Amara berada dalam dilema. Sejak awal Amara memohon agar penyakitnya tidak diberitahukan kepada siapa pun, termasuk suaminya. Tapi kondisi Amara terus menurun.

Setiap kontrol, tekanan darahnya makin lemah, sel kanker makin menyebar, dan anemia semakin parah.

Hari itu, setelah pemeriksaan terbaru, Amara hampir pingsan di ruang dokter. Dokter Ratna benar-benar panik.

Setelah menenangkan Amara, dokter berkata pelan namun tegas, “Bu Amara, saya tidak bisa membiarkan ini terus.”

Amara menggeleng lemah. “Jangan… jangan beri tahu mereka… tolong, Dok…”

“Tapi kondisi Anda makin buruk,” jawab dokter Ratna, frustrasi. “Kalau suami Anda tahu, dia bisa bantu. Bisa menjaga Anda.

Anda tidak bisa menghadapi ini sendiri.”

Amara menunduk. “Saya tidak ingin menyusahkan siapa pun…”

“Bu Amara,” kata dokter, “ini soal nyawa.”

Amara hanya terdiam, tubuhnya lunglai.

Akhirnya dokter membuat keputusan. Ia tidak bisa membiarkan pasiennya membahayakan diri sendiri dan bayinya.

Ia menghubungi nomor yang tertera sebagai keluarga terdekat: Kenzo Aditama.

---

Sore itu, Kenzo sedang berada di kantor ketika mendapat telepon tak terduga dari nomor rumah sakit. Ia mengernyit, lalu mengangkatnya.

“Dengan Tuan Kenzo.”

" Iya saya sendiri"

“Selamat sore, Tuan Kenzo. Saya dr. Ratna, dokter kandungan yang menangani istri Anda, Bu Amara.”

Kenzo langsung duduk tegap. “Ada apa? Ada masalah dengan kehamilannya?”

Suasana di telepon terasa berat.

“Tuan, saya minta Anda datang ke rumah sakit sekarang. Ada hal penting yang harus Anda ketahui… langsung dari saya.”

Nada dokter itu membuat Kenzo merinding. Tanpa bertanya lebih jauh, ia langsung berangkat.

---

Sesampainya di rumah sakit, Kenzo dipersilakan duduk di ruang dokter. Wajah dokter Ratna tampak serius, dan itu membuat Kenzo semakin tegang.

“Dok, ada apa sebenarnya? Amara kenapa?”

Dokter mengambil napas panjang. “Tuan Kenzo… saya minta maaf karena baru menghubungi Anda sekarang. Sebenarnya saya menghormati permintaan Bu Amara… tapi kondisinya sudah terlalu berbahaya.”

“Permintaan apa?” Kenzo makin bingung.

Dokter menatapnya tajam namun penuh empati. “Tuan Kenzo… istri Anda sakit.”

Kenzo memicingkan mata. “Sakit apa, Dok?”

“Penyakit serius. Sangat serius.”

Kenzo menahan napas.

Dokter akhirnya berkata jelas, tanpa berputar-putar.

“Bu Amara mengidap kanker stadium akhir.”

Kenzo langsung membeku. Kursi yang didudukinya terasa hilang. Dunia seolah berhenti. Ia mencoba memahami kalimat itu, tetapi suaranya tercekat.

“Ap… apa?” suaranya pecah. “Dokter bilang apa barusan?”

Dokter melanjutkan, “Dan kondisi itu semakin parah karena kehamilan yang sedang ia jalani.”

Kenzo tidak mampu bicara. Tidak mampu bergerak.

Ia hanya menatap dokter dengan mata yang tiba-tiba terasa panas.

“Kanker… stadium akhir… dalam keadaan hamil.”

Kata-kata itu menggema di kepala Kenzo, membuat dada terasa sesak dan sulit bernapas.

Dan dokter belum selesai.

“Tuan… Amara selama ini menyembunyikan semuanya dari Anda.”

Kenzo memejamkan mata.

Ia tidak percaya.

Ia tidak bisa menerima.

Ini… terlalu tiba-tiba.

Terlalu berat.

Terlalu menghantam.

“Tuan Kenzo…” panggil dokter pelan.

“Tuan, Anda harus siap dengan apa yang akan terjadi setelah ini.”

"M....maksud dokter,?"...

Haii readers selamat pagi

Tinggalkan jejak kalian

Like komen subscribe vote and hadiahnya...

Terima kasih..

Selamat membaca...

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!