Di antara debu masa lalu dan dinginnya Jakarta, ada satu bangunan yang paling sulit direnovasi: Hati yang pernah patah.
Lima tahun lalu, Kaluna Ayunindya melakukan kesalahan terbesar dalam hidupnya: meninggalkan Bara Adhitama—pria yang memujanya—dan cincin janji mereka di atas meja nakas tanpa sepatah kata pun penjelasan. Ia lari ke London, membawa rasa bersalah karena merasa tak pantas bersanding dengan pewaris tunggal Adhitama Group.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon tanty rahayu bahari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23: Putih yang Menyatukan
Bau antiseptik yang tajam menggantikan debu proyek. Suara bip ritmis dari monitor jantung menggantikan bisingnya mesin konstruksi.
Kaluna duduk di kursi penunggu di samping ranjang pasien VIP Rumah Sakit Bunda. Ia sudah mencuci tangan dan wajahnya di toilet, tapi ia menolak pulang untuk ganti baju. Kemejanya yang bernoda darah Bara yang mulai mengering masih melekat di tubuhnya, menjadi saksi bisu horor yang baru saja terjadi.
"Nyonya?" Dokter bedah tulang masuk, mengecek papan status di ujung ranjang.
"Saya bukan istrinya, Dok. Saya... rekannya," koreksi Kaluna cepat, meski hatinya berteriak ingin mengaku sebagai miliknya. "Bagaimana kondisinya?"
"Pak Bara sangat beruntung," jelas Dokter sambil menunjuk hasil rontgen yang dipajang di lampu baca. "Tulang humerus kirinya patah tebu (fraktur). Kami sudah melakukan reposisi dan memasang gips. Ada lima jahitan di pelipis akibat benturan, dan gegar otak ringan. Tapi tidak ada pendarahan internal di otak. Dia akan pulih total dalam 6-8 minggu."
Kaluna menghembuskan napas panjang yang tertahan di dadanya sejak siang tadi. "Terima kasih, Dokter. Terima kasih banyak."
"Dia mungkin akan pusing dan mual saat bangun nanti efek anestesi. Biarkan dia istirahat total," pesan Dokter sebelum keluar.
Sepeninggal dokter, Kaluna kembali menatap sosok yang terbaring lemah di ranjang.
Bara terlihat berbeda tanpa jas mahalnya. Ia mengenakan baju pasien biru muda. Kepala kirinya diperban, lengan kirinya digips dan disangga bantal. Wajahnya pucat, tapi dadanya naik turun dengan teratur.
Kaluna mengulurkan tangan, menyentuh jari-jari tangan kanan Bara yang bebas infus. Hangat.
"Kamu bodoh," bisik Kaluna, air matanya menetes lagi. "Kamu janji mau melindungi aku, tapi bukan begini caranya, Bara."
Perlahan, kelopak mata Bara bergerak. Ia mengerang pelan, keningnya berkerut menahan sakit yang mulai merambat masuk seiring hilangnya pengaruh obat bius.
"Air..." desis Bara serak.
Kaluna sigap mengambil gelas air dengan sedotan, mendekatkannya ke bibir Bara. "Pelan-pelan."
Bara minum sedikit, lalu membuka matanya lebar. Tatapannya langsung mencari Kaluna. Saat melihat wanita itu duduk di sampingnya, utuh dan tanpa luka serius, bahu Bara rileks seketika.
"Hei," sapa Bara lemah, sudut bibirnya terangkat membentuk senyum miring yang khas. "Kenapa mukamu jelek banget kalau nangis?"
Kaluna tertawa di sela isaknya. Ia memukul pelan lengan kanan Bara.
"Masih sempat-sempatnya ngejek!" omel Kaluna. "Kamu tahu betapa takutnya aku? Jantungku rasanya mau copot lihat kamu ketimpa balok segede itu!"
"Sakit, Lun..." aduh Bara manja, meski Kaluna memukulnya sangat pelan.
"Biarin! Biar kamu tahu rasa!" Kaluna mengusap wajahnya kasar dengan tisu. "Jangan pernah... jangan pernah lakukan itu lagi. Kalau kamu mati, aku nggak bakal maafin kamu seumur hidup."
Wajah Bara berubah serius. Ia menggerakkan tangan kanannya, meraih tangan Kaluna dan menggenggamnya erat.
"Aku akan melakukannya seribu kali lagi, Kaluna," ucap Bara tegas, matanya menatap lurus ke manik mata Kaluna. "Kalau pilihannya adalah aku yang patah tulang atau kamu yang celaka... aku akan selalu memilih aku. Tanpa berpikir dua kali."
"Bara..."
"Karena kalau kamu yang luka, sakitnya nggak bakal bisa disembuhkan sama dokter mana pun," lanjut Bara.
Kaluna tidak bisa membantah lagi. Ia menunduk, mencium tangan Bara yang menggenggamnya. Rasa syukur dan cinta membuncah di dadanya.
"Terima kasih," bisik Kaluna. "Pahlawanku."
Suasana syahdu itu terganggu oleh suara pintu yang dibuka kasar.
"Bara! Anakku!"
Kaluna tersentak, refleks melepaskan tangan Bara dan berdiri mundur.
Ratna Adhitama menghambur masuk ke dalam kamar. Wajahnya yang biasanya dipoles sempurna kini tampak berantakan. Matanya sembab. Ia jelas menangis sepanjang jalan. Di belakangnya, Pak Hadi berdiri canggung di ambang pintu, sepertinya dialah yang mengabari Nyonya Besar.
"Ya Tuhan, Bara..." Ratna mendekati ranjang, tangannya gemetar saat hendak menyentuh perban di kepala anaknya, takut menyakiti. "Kenapa bisa begini? Pak Hadi bilang kamu ketimpa plafon? Kenapa kamu ceroboh sekali masuk ke gedung tua itu?"
"Ma, aku nggak apa-apa. Cuma patah tangan," jawab Bara tenang, mencoba menenangkan ibunya yang histeris.
"Nggak apa-apa gimana? Kamu dioperasi!" Ratna terisak, menciumi pipi anaknya. Naluri keibuannya mengalahkan segala gengsi bangsawannya.
Setelah memastikan Bara masih bernapas dan utuh, Ratna menegakkan tubuh. Ia berbalik, dan tatapannya langsung menumbuk Kaluna yang berdiri mematung di sudut ruangan.
Mata Ratna menyipit. Ada kilatan amarah di sana.
"Kamu," tunjuk Ratna pada Kaluna.
Kaluna menelan ludah, siap diusir. Siap dimaki.
"Pak Hadi bilang..." suara Ratna bergetar, "Bara masuk ke sana karena mau mengecek struktur bangunan bersamamu. Dan dia celaka karena melindungimu."
Kaluna mengangguk pelan, menunduk. "Benar, Bu. Maafkan saya. Seharusnya saya yang tertimpa. Bara... Bara menyelamatkan saya."
Ratna terdiam. Ia menatap Kaluna dari atas ke bawah. Tatapannya terhenti pada kemeja Kaluna. Kemeja putih yang kini bernoda merah kecokelatan di bagian dada dan lengan.
Itu darah Bara.
Ratna menyadari sesuatu. Wanita ini—wanita yang ia benci—telah berada di sisi anaknya sejak kejadian. Dia ikut di ambulans, dia menemaninya di UGD, dan dia menolak membersihkan diri sebelum memastikan Bara sadar. Darah anaknya melekat di baju wanita itu seperti medali keberanian.
"Ma," panggil Bara memperingatkan, suaranya tajam. "Jangan berani-berani memarahinya. Kalau Mama mengusirnya, aku akan cabut infus ini dan pergi bersamanya sekarang juga."
Ratna menoleh pada Bara, lalu kembali menatap Kaluna.
Hening yang panjang dan mencekam.
Perlahan, bahu Ratna turun. Kemarahannya surut, digantikan oleh kelelahan seorang ibu yang hampir kehilangan putranya.
"Duduklah," perintah Ratna pada Kaluna, nadanya ketus tapi tidak mengusir. "Kamu kelihatan kayak mayat hidup. Jangan sampai kamu pingsan di sini dan bikin repot suster."
Kaluna ternganga sedikit. Begitu juga Bara.
"Ma?" Bara bingung.
Ratna mengabaikan tatapan bingung mereka. Ia membuka tas Hermès-nya, mengeluarkan botol air mineral dan meletakkannya di meja nakas dekat Kaluna berdiri.
"Minum," kata Ratna singkat. "Dan ganti bajumu nanti. Darah itu... bikin saya ngeri."
Kaluna menatap botol air itu, lalu menatap Ratna. Ini bukan penerimaan. Ini bukan restu. Tapi ini adalah gencatan senjata. Ratna mengakui keberadaan Kaluna sebagai orang yang penting bagi keselamatan Bara hari ini.
"Terima kasih, Bu," ucap Kaluna tulus.
Ratna tidak menjawab. Ia menarik kursi ke sisi ranjang, duduk, dan memegang tangan Bara yang satu lagi.
"Kamu ini selalu bikin Mama jantungan, Bara," omel Ratna sambil mengusap lengan anaknya, air matanya menetes lagi. "Dulu motor-motoran, sekarang mainan gedung tua. Kapan kamu mau diam di kantor yang aman?"
"Kalau diam di kantor, nggak dapat uang, Ma," canda Bara lemah.
"Uang bisa dicari, nyawa nggak ada gantinya," balas Ratna. Kalimat itu terdengar ironis mengingat dialah yang dulu mengancam nyawa suaminya demi uang. Mungkin kejadian hari ini menyadarkannya bahwa kehilangan anak jauh lebih menakutkan daripada kehilangan harta.
Sore itu berlalu dengan canggung namun damai.
Di ruang VIP nomor 405, tiga orang yang terikat takdir rumit itu berada di satu ruangan. Bara terbaring di tengah, sementara dua wanita yang paling mencintainya duduk di sisi kanan dan kirinya.
Mereka tidak banyak bicara. Ratna sibuk mengupas apel (yang akhirnya dimakan sendiri karena Bara mual), dan Kaluna sibuk membalas pesan-pesan dari tim proyek.
Ketika jam besuk habis dan malam menjelang, Ratna berdiri. Ia merapikan selimut Bara.
"Mama pulang dulu. Besok Papa mau video call, dia panik dengar berita ini," kata Ratna. Ia melirik Kaluna. "Kamu... mau pulang?"
Kaluna menggeleng. "Saya yang jaga malam ini, Bu. Rian baru bisa datang besok pagi."
Ratna diam sejenak, menimbang-nimbang. Biasanya ia akan menolak keras dan menyuruh suster pribadi. Tapi melihat tangan Bara yang terus-menerus mencari tangan Kaluna setiap kali Kaluna bergerak menjauh, Ratna tahu ia tidak bisa melawan arus kali ini.
"Terserah," gumam Ratna. Ia mengambil tasnya.
Sebelum keluar pintu, Ratna berhenti sejenak tanpa menoleh.
"Jaga dia. Jangan sampai infusnya lepas," ucap Ratna kaku.
"Baik, Bu. Hati-hati di jalan," jawab Kaluna.
Pintu tertutup. Ratna pergi.
Bara menghembuskan napas lega yang panjang. "Wow. Itu... keajaiban dunia kedelapan."
Kaluna tersenyum, kembali duduk di kursi samping ranjang. "Ibumu sayang banget sama kamu, Bar. Dia cuma punya cara yang... unik untuk menunjukkannya."
"Unik yang mematikan," koreksi Bara. Ia menatap Kaluna lembut. "Sini."
Bara menggeser tubuhnya sedikit ke samping, menyisakan ruang sempit di ranjang pasien yang cukup lebar itu.
"Nggak boleh, Bar. Nanti suster marah," tolak Kaluna.
"Susternya nggak bakal masuk sampai jam 10 malam buat cek tensi," bujuk Bara. "Sebentar aja. Aku butuh dipeluk. Badanku sakit semua."
Melihat wajah memelas itu, Kaluna tidak tega. Ia melepas sepatunya, lalu naik ke ranjang dengan hati-hati, berbaring miring menghadap Bara tanpa menyentuh lengan kirinya yang sakit.
Bara melingkarkan lengan kanannya ke pinggang Kaluna, menarik wanita itu mendekat hingga kepala Kaluna bersandar di bahu kanannya.
"Nyaman?" tanya Bara.
"Hmm," gumam Kaluna, memejamkan mata. Aroma obat rumah sakit kalah oleh aroma tubuh Bara yang ia rindukan.
"Maaf ya, proyek jadi tertunda lagi," bisik Bara, mencium puncak kepala Kaluna.
"Nggak apa-apa. Gedung bisa dibangun lagi," jawab Kaluna. "Yang penting arsiteknya masih punya klien yang bernapas."
Mereka tertawa kecil. Di luar jendela, lampu kota Jakarta berkelap-kelip. Di dalam ruangan itu, di atas ranjang rumah sakit yang sempit, mereka menemukan kedamaian yang sudah lima tahun hilang.
Tidak ada Siska. Tidak ada Ratna. Tidak ada kontrak.
Hanya ada Bara dan Kaluna.
"Aku mencintaimu, Lun," bisik Bara sebelum obat penahan rasa sakit membuatnya tertidur.
"Aku juga mencintaimu, Bar," balas Kaluna, mendengarkan detak jantung Bara yang stabil.
Malam ini mereka menang. Tapi Kaluna tahu, besok pagi realitas akan kembali mengetuk pintu. Dan pertanyaan terbesarnya masih menggantung: Bagaimana mereka menyelesaikan masalah dengan Siska yang pasti akan memanfaatkan kecelakaan ini?
BERSAMBUNG....
Terima kasih telah membaca💞
Jangan lupa bantu like komen dan share❣️