"Berhenti gemetar Ana.. Aku bahkan belum menyentuhmu." Nada suara itu pelan, rendah, dan berbahaya membuat jantung Ana berdebar tak karuan. Pertemuan mereka seharusnya biasa saja, tapi karena seorang bocah kecil bernama Milo semuanya menjadi berubah drastis. Daniel Alvaro, pria misterius yang membuat jantung ana berdebar di tengah kerasnya hidup miliknya. Semakin Ana ingin menjauh, semakin Daniel menariknya masuk.Antara kehangatan Milo, sentuhan Daniel yang mengguncang, dan misteri yang terus menghantui, Ana sadar bahwa mungkin kedatangannya dalam hidup Daniel dan Milo bukanlah kebetulan,melainkan takdir yang sejak awal sudah direncanakan seseorang.
Bagaimana jadinya jika Ana ternyata mempunyai hubungan Darah dengan Milo?
apa yang akan terjadi jika yang sebenarnya Daniel dan Ana seseorang yang terikat janji suci pernikahan di masa lalu?
Siapa sebenarnya ibu dari Milo? apa hubungannya dengan Ana
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SNUR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ancaman pertama
"Milo, Ayo. "
Daniel berdiri dari kursinya, merapikan kemeja yang masih berantakan. Ia mengusap kepala Milo dengan pelan.
“Ayo turun makan malam,” katanya lembut, tapi tetap tegas.
Milo langsung menggelengkan kepalanya dengan cepat.
“tidak mau ayah! Aku mau disini, jaga Ana!”
Daniel menghela napas pendek. “Milo… Ana butuh istirahat, bukan kamu gangguin terus.”
“Tapi aku khawatir…”
Daniel berjongkok, menatap tepat pada mata Milo.
“Ayah juga khawatir. Tapi Ana harus banyak beristirahat.Jika kamu tetap duduk di sini, nanti dia nggak bisa istirahat. Milo mau kan Ana cepat sembuh? ”
Milo terdiam sejenak menimbang-nimbang.
Tanpa menunggu jawaban Milo, Daniel kembali menambahkan dengan nada yang sedikit bermain, “Kalau kamu turun makan, nanti kita naik lagi kesini sama-sama setelah selesai.”
Milo tampak berpikir keras namun masih cemberut, tapi hatinya mulai luluh.
“Benarkah?”
“Ya,” jawab Daniel sambil tersenyum tipis.
Akhirnya Milo mengangguk pelan.
“Baik… tapi cepat ya, Ayah. Aku tidak ingin Ana merasa kesepian. "
"Ana aku makan malam dulu ya. kamu tenang saja. jika ada apa-apa kamu cukup berteriak dan aku akan berlari secepat mungkin" seru Milo menggebu Gebu. Ana tersenyum tipis merasakan kasih sayang dari bocah manis itu.
Daniel mengusap kepala anaknya, lalu keduanya berjalan keluar kamar. Daniel sengaja membiarkan pintu tidak tertutup rapat, agar Ana tetap merasa tidak terisolasi.
Keduanya menuruni tangga.
Dan begitu bayangan mereka hilang dari pandangan…
Langkah lain terdengar di koridor suaranya terdengar Pelan.
Namun setiap pijakannya begitu dingin seperti es.
Pintu kamar Ana didorong perlahan… dan Lara masuk begitu saja tanpa mengetuk.
Ana yang setengah tidur mendengar bunyi pintu kembali membuka matanya Ia mengira itu Daniel atau Milo.
Matanya terbuka sedikit…
Namun yang muncul justru sosok yang membuat dadanya langsung mengencang.
Lara.
Gaun merahnya seperti darah. Tatapan matanya menusuk, dan senyum miringnya terasa lebih menakutkan daripada orang asing di jalan gelap.
“Ah… kamu masih bangun rupanya. Aku kira sudah mati. "
Lara menutup pintu perlahan, menguncinya dengan pelan tanpa menimbulkan suara.
“Bagus.”
Ana langsung menegakkan tubuhnya. ketakutan menyergap begitu saja.
"Nyonya..ada yang bisa saya bantu?”
“Tolong jangan panggil aku begitu gadis kecil,”
suara Lara begitu manis, namun dinginnya menusuk sampai ke dalam tulang.
“Aku bukan majikanmu. Kamu juga bukan siapa-siapa.”
Ana terdiam. Jemarinya meremas selimut tanpa sadar.
Lara berjalan mendekat, langkahnya elegan, namun aura tubuhnya seperti racun yang mendekati mangsanya dan siap membunuhnya kapan saja.
“Aku ingin bicara sebentar, Bolehkah? "katanya sambil berdiri tepat di samping ranjang.
Ana terdiam dengan ragu menganggukan kepalanya.
“Sebelum kamu terlalu nyaman di sini.”
Ana menelan ludah.
Lara menunduk sedikit, wajahnya sangat dekat hanya berjarak beberapa sentimeter dari Ana.
“Aku tahu tipe kamu.”
Senyum itu berubah menjadi jahat.
“Gadis miskin, polos… pura-pura tidak sengaja dekat dengan anak pria kaya. Pretending to be innocent.”
Ana menggeleng cepat.
“Saya… bukan seperti itu. Saya hanya—”
“Diam.”
Satu kata itu sangat tajam. Ana langsung bungkam seketika.
Lara melanjutkan dengan suara yang lebih rendah, seperti bisikan seorang iblis.
“Daniel bukan seseorang yang mudah disentuh. Tapi dia juga lelaki. Laki-laki bisa bodoh jika melihat gadis yang tampak lemah seperti mu.”
Ana menggeleng lagi, matanya memerah.
“Saya tidak… saya tidak berniat apa-apa…”
“Persis.” Lara mendecih. “Yang seperti kamu bilang begitu. Sama seperti gadis manipulatif di luaran sana. ”
Ia mendekat, jari telunjuknya mengangkat dagu Ana dengan kasar namun pelan.
“Dengar baik-baik,” bisiknya.
“Kamu hanya tamu. Bukan keluarga, bukan siapa-siapa. Kamu tidak punya hak menginap di rumah ini.”
Ana menahan napas jantungnya seperti ingin meloncat keluar.
Lara tersenyum lebih lebar.
“Dan kalau kamu mencoba mengambil hati Daniel…”
Jari Lara menelusuri dagu Ana hingga pipinya seperti memberikan sebuah peringatan.
“Aku pastikan kamu akan menyesal. Sangat menyesal.”
Ana gemetaran, tubuhnya merespon begitu cepat dengan ancaman dari Lara.
Lara menarik tangannya, lalu merapikan gaunnya dengan angkuh.
“Oh ya,” tambahnya sambil berjalan ke pintu, menoleh sedikit,
“jangan ceritakan hal ini pada Daniel atau Milo.”
Tatapannya berubah gelap.
“Kalau kamu berani mengadu aku bisa pastikan hidupmu jauh lebih sulit dari sebelumnya.”
Klik.
Pintu terbuka.
Lara melangkah keluar, meninggalkan aroma parfum manis yang terasa mencekik di leher Ana.
Ana akhirnya terisak kecil, menggenggam selimut dengan lemah, tubuhnya gemetar.
Untuk pertama kalinya sejak berada di mansion itu…
Ana merasa… tidak aman.
***
Ruang makan mansion Alvaro dipenuhi cahaya lampu kristal yang lembut. Meja makan panjang dihiasi hidangan hangat, namun suasananya agak sepi. Hanya ada Daniel, Milo, dan beberapa pelayan yang berdiri di belakang mereka menjaga jarak.
Milo tampak tidak bersemangat. Ia hanya mengaduk-aduk mashed potato di piringnya.
Daniel hanya menatapnya sambil minum sedikit air.
“Makan yang benar! ,” ucapnya lembut namun tegas.
“Aku kepikiran Ana…” Milo mendesah, wajahnya penuh kekhawatiran tulus.
Daniel menghela napas. “Ana sedang istirahat. Kita akan kembali ke atas setelah makan. Kamu sudah janji.”
Milo akhirnya menyuap sedikit. Hening beberapa detik.
Lalu tiba-tiba dia mengangkat kepala, matanya berbinar seperti seseorang yang baru menemukan ide besar.
“Ayah! Bagaimana kalau Ana jadi babysitter-ku saja?”
Daniel langsung terbatuk kecil karena kaget.
Pelayan hampir menjatuhkan sendok karena mendengar usulan itu.
“Milo…” Daniel mengusap hidungnya, mencoba mencerna.
“Itu… terlalu mendadak.”
“Kenapa?” Milo mendesak polos.
“Aku suka Ana. Dia baik. Dia nggak galak kayak babysitter sebelumnya. Aku juga nggak akan nakal! Sumpah!”
Ia mengangkat tiga jari seperti bersumpah suci.
Daniel menahan senyum kecil yang hampir muncul.
“Tapi Ana masih sekolah,” jawabnya, mencoba berpikir rasional.
“Dia punya beban belajar. Itu tidak mudah.”
“Tapi Ayah…” Milo mendekat, matanya membesar dramatis.
“Aku tuh cuma cocok sama Ana. Kalau babysitter lain, aku pasti kabur lagi.”
Nada suaranya sangat serius, seolah keputusan penting negara ada di tangan Daniel.
Daniel menutup wajah dengan tangan.
Anak kecil itu… bisa sangat meyakinkan dan sangat bandel di waktu bersamaan.
“Lagipula Ayah bilang mau bantu Ana,” Milo menambahkan sambil mengambil telur gulung.
“Nah! Ini cara terbaik! Ana kerja… tapi tetap bisa sekolah. Dia kan cuma jagain aku sepulang sekolah.”
Daniel terdiam.
Ia mengambil napas panjang, memikirkan dari berbagai sisi.
Ana yatim piatu. ia hidup Sendirian.
Bekerja sambil sekolah.
Baru saja dia pingsan… dan menyelamatkan Milo.
“Milo…” Daniel menatap putranya.
“Kamu yakin bisa bersikap baik? Tidak membentak? Tidak kabur? Mendengarkan omongan Ana?”
Milo berdiri dari kursinya dengan penuh percaya diri.
“Aku janji! Demi kuaci yang ingin aku makan! Demi robot baruku! Demi… semuanya!”
Daniel tertawa kecil.
“Baiklah…”
Akhirnya ia mengangguk.
“Ayah akan mempertimbangkannya. Kalau kondisi Ana sudah membaik… kita akan bicara lagi.”
Milo langsung bersorak kecil.
“Yeeees! Babysitter-ku yang baru!”
Daniel tersenyum samar, tapi jauh dalam hatinya… ia diam-diam setuju, meski enggan mengakuinya.
Ada sesuatu yang berbeda pada Ana.
Sesuatu yang membuatnya ingin melindungi.
Deru kipas langit-langit terdengar lembut ketika Milo baru saja menelan suapan terakhirnya. Daniel masih berpikir soal ucapan Milo tentang menjadikan Ana babysitter gagasan yang terdengar gila namun ada benarnya.
Lara tiba-tiba muncul, berjalan mendekat dengan langkah anggun namun tatapannya tajam. Senyum tipisnya lebih mirip garis sinis daripada keramahan.
“Daniel,” ucapnya lembut namun menusuk. “Ada pekerjaan yang harus kamu lihat. Lebih baik kamu tunggu aku di ruang kerja. Ini penting.”
Nada otoritatifnya membuat Daniel menegakkan tubuh, namun sebelum ia sempat menjawab
Milo mendengus keras.
“Penting apanya? Yang penting banget itu kamu berhenti ganggu ayah,” sindirnya sambil menyodok potongan wortel di piringnya.
Lara menoleh ke Milo, senyumnya meruncing seperti pisau.
“Oh, Milo… kalau kamu belajar sopan sedikit saja, mungkin Daniel tidak akan terus dibuat repot dengan tingkahmu.”
Milo memelototkannya. “Aku sopan pada orang yang pantas disopani. Kamu bukan salah satunya.”
Suasana meja makan langsung menegang. Daniel memijat batang hidungnya, menahan napas. Ia menatap Milo dengan peringatan lembut, lalu mengalihkan pandangannya pada Lara.
“Lara, kalau memang penting, aku menyusul sebentar. Duduk saja dulu di ruang kerja,” ucap Daniel, berusaha menjaga ketegangan tidak semakin memanas.
Lara mengangguk, tapi matanya menatap Milo dengan kemenangan tipis.
“Baiklah. Jangan lama,” katanya sebelum berbalik, langkah hak sepatunya terdengar nyaring hingga menghilang di ujung koridor.
Begitu Lara pergi, Milo mendesah keras.
“Ayah, kenapa sih kamu masih biarin dia ada di rumah ini? Dia tuh kayak ..kayak ular. kerennya cuman saat jadi bodyguard aja. ”
Daniel menghela napas panjang. “Milo… cukup. Kita tidak akan bicara seperti itu di meja makan Tapi aku paham. Sudah, makanmu habiskan dulu.”
Milo merengut, tapi menurut. Dalam hati Daniel tahu Milo tidak salah sepenuhnya namun urusan dengan Lara lebih rumit dari yang terlihat.