“Jika aku berhasil menaiki takhta ... kau adalah orang pertama yang akan ku buat binasa!”
Dijual sebagai budak. Diangkat menjadi selir. Hidup Esma berubah seketika tatkala pesonanya menjerat hati Padishah Bey Murad, penguasa yang ditakuti sekaligus dipuja.
Namun, di balik kemewahan harem, Esma justru terjerat dalam pergulatan kuasa yang kejam. Iri hati dan dendam siap mengancam nyawanya. Intrik, fitnah, hingga ilmu hitam dikerahkan untuk menjatuhkannya.
Budak asal Ruthenia itu pun berambisi menguasai takhta demi keselamatannya, serta demi menuntaskan tujuannya. Akankah Esma mampu bertahan di tengah perebutan kekuasaan yang mengancam hidupnya, ataukah ia akan menjadi korban selanjutnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ASS5
Matahari baru saja merayap di atas kubah istana ketika halaman dalam harem dipenuhi hiruk-pikuk. Para budak dan pelayan perempuan berbaris di sisi kanan, pelayan laki-laki dan para kasim berjejer di sisi kiri. Di tengahnya, sebatang tiang kayu dipancangkan.
Fatma, dengan wajah pucat dan mata sembab, digiring oleh dua kasim berkulit hitam. Tangannya direntang, tubuhnya diikat ke tiang. Dari kerumunan terdengar bisik-bisik, beberapa pelayan menutup mulut, sebagian lagi sengaja menatap tanpa belas kasihan.
Mansur Ağa maju, suaranya menggema tegas. “Dengan titah Panglima Orhan, atas perbuatan menyebar fitnah yang mengacaukan ketertiban serta kedamaian harem ... pelayan Fatma Hatun dijatuhi hukuman diturunkan dari jabatan, juga mendapatkan tiga puluh cambukan.”
PLAK!
Jeritan Fatma pecah ketika cambukan pertama mendarat. Ia menangis pilu ketika cambukan-cambukan berikutnya menghantam kulitnya.
“Ampun, Tuanku, ampun ...!” suaranya serak, tubuhnya bergetar hebat.
Setiap cambukan meninggalkan gema ke seluruh halaman, seakan menjadi pengingat untuk semua yang melihat, bahwa setiap kejahatan sekecil apapun tak akan luput di dalam istana.
Sementara itu, dari balkon harem yang menjulang di atas halaman, berdirilah Yasmin Hatun, istri sah Bey Murad. Angin pagi mengibaskan selendang sutra yang menutupi kepalanya. Wajah cantik yang biasanya dingin dan pongah, kini tampak diliputi rasa ingin tahu.
Di sampingnya, Safiye Kalfa—dayang pribadinya, berdiri dengan kepala menunduk hormat.
Yasmin menyipitkan mata ke arah bawah, dengan nada malas ia bertanya, “apa yang terjadi di sana, Safiye? Sejak kapan halaman harem dipenuhi jeritan seperti kandang babi?” Pertanyaan itu meluncur angkuh.
Yasmin Hatun memang dikenal sebagai perempuan yang sombong. Ia enggan berbaur dengan penghuni harem selain Ibu Suri, kakak dan adik-adik dari Bey Murad.
Bukan tanpa sebab wanita yang tengah berbadan dua itu bersikap angkuh, ia merasa bahwa statusnya dengan selir lainnya berbeda. Jika para selir berasal dari kasta rendah alias budak, berbeda dengan Yasmin Hatun. Dirinya merupakan putri dari Sadrazam (perdana menteri kerajaan)—Rustum Pasha.
Ia tidak datang ke harem sebagai budak hasil rampasan, melainkan sebagai hadiah politik. Ayahnya sendiri yang menyerahkan Yasmin kepada Sultan Bey Murad, sebagai bentuk kesetiaan sekaligus cara mengikat hubungan antara tahta dan keluarganya. Dengan begitu, posisi sang perdana menteri kian kokoh.
Yasmin merasa dirinya tak sebanding dengan para pelayan ataupun selir lain yang lahir dari kasta rendah. Ia adalah darah bangsawan, seorang wanita yang lahir dari keluarga terpandang, dan kini tengah mengandung calon penerus tahta. Ditambah lagi, ia sudah bersahabat dengan Bey Murad sejak kecil—semakin lah ia besar kepala.
Safiye Kalfa melirik sekilas ke arah halaman, lalu menunduk lagi dengan sopan.
“Yang Mulia Yasmin Hatun, hamba mendengar ada seorang pelayan yang dihukum cambuk ... ia dituduh menyebarkan fitnah terhadap budak baru.”
Sudut bibir Yasmin terangkat sebelah.
“Budak baru? Menarik sekali. Bahkan belum lama seorang budak menegakkan punggungnya di dalam harem, sudah ada yang ingin menyingkirkannya?”
“Benar, Yang Mulia Yasmin. Bahkan ... Panglima Orhan sendiri yang bertindak dan memutuskan hukumannya.”
Yasmin mengangkat alisnya, “Orhan?” Matanya berkilat licik. “Seorang panglima perang yang tak pernah sudi mencampuri urusan harem, kini turun tangan hanya karena seorang budak rendahan?”
Safiye menunduk lebih dalam, tidak berani menanggapi.
Yasmin mendengus kecil. “Ada sesuatu yang tak beres di sini, Safiye.”
Dengan anggun, Yasmin berbalik lalu melangkah masuk ke dalam kamarnya.
“Cari tau,” ujarnya dingin, “seperti apa rupa budak itu. Aku ingin tau, seperti apa sosok yang membuat Panglima Orhan rela menurunkan martabatnya demi membela budak hina dina itu.”
Safiye lekas menunduk dalam-dalam. “Hamba siap menjalankan titah ....”
.
.
Esma dan puluhan budak lain ditempatkan di aula pelatihan yang luas. Di sana, guru-guru istana sedang melatih mereka—mulai dari bahasa, etiket, hingga cara berbicara yang anggun. Setiap kesalahan kecil dihukum dengan pukulan tipis di tangan, agar mereka cepat belajar.
Di antara semuanya, Esma selalu paling menonjol. Ia cepat menangkap pelajaran, tak pernah gagap ketika ditanya, bahkan gadis berambut ikal itu sangat lancar menjawab dengan bahasa Turki. Gurunya sampai beberapa kali terperangah, sementara budak-budak lain hanya bisa melirik kagum—juga iri.
Mansur Ağa yang mengawasi dari jauh, beberapa kali menggeleng pelan, antara kagum sekaligus khawatir.
‘Gadis ini ... terlalu cepat beradaptasi. Jika begini, bukan mustahil perhatian Baginda akan sepenuhnya jatuh hati padanya,’ batin kepala kasim itu.
Waktu terus berjalan, dan di siang hari pelatihan lainnya pun dimulai. Musik kecapi dipetik pelan, irama lembut mengisi aula. Para budak memperagakan tarian dengan gerakan menggoda sambil menjaga senyum manis yang dipaksakan.
Mansur Ağa melangkah maju, bertepuk-tepuk tangan. “Dengar baik-baik, para gadis. Berlatih lah dengan sungguh-sungguh, karena kita tidak tau kapan Baginda menginginkan pesta dari para wajah-wajah baru.”
Ia memindai satu persatu budak dengan sorot tegas. “Jangan pernah mengangap remeh latihan ini, kalian dengar? Jika kalian ingin posisi yang terjamin di dalam istana ini, kalian harus bisa menghibur Baginda. Kalian harus bisa membuat beliau terpesona.” Mansur Ağa melirik Esma sekilas. “Siapa pun yang mampu memikat hati Baginda, sudah pasti kesempatan emas lainnya akan terbuka. Bukan tidak mungkin, salah satu dari kalian akan terpilih menjadi selir berikutnya.”
“Selir?”
“Kita akan mendapatkan banyak hadiah jika berhasil terpilih sebagai selir, kan?”
“Bahkan kita bisa memiliki kesempatan untuk menemani Baginda di ranjang.”
“Bayangkan jika kita bisa memberikan seorang pangeran untuk Baginda? Kita akan menjadi Haseki Sultan!”
“Husshh! Tutup mulutmu, bukankah sudah jelas—Yasmin Hatun lah yang akan menjadi Haseki Sultan? Dirinya kini tengah mengandung seorang pangeran.”
“Jenis bayinya kan belum bisa dipastikan!”
“Hey, memangnya kalian sanggup jika harus berurusan dengan wanita mengerikan itu?! Kalian belum mendengar desas-desusnya? Katanya, Yasmin Hatun merupakan dalang dari kematian pangeran pertama!”
“Pangeran pertama?!”
Bisik-bisik kecil langsung terdengar dari para budak, sebagian tampak bersemangat, sebagian lagi terlihat ketakutan.
Esma hanya berdiri tegak, tatapannya cukup tenang. Seolah apa yang digosipkan teman-temannya itu bukan ancaman, melainkan tantangan yang siap ia hadapi.
“Selir, ya?” gumamnya pelan.
.
.
Malam pun tiba. Di jantung istana, cahaya lampu minyak berpendar lembut menerangi Has Oda, ruangan pribadi yang hanya diperuntukkan bagi Sang Padishah (Yang Mulia). Dindingnya dihiasi permadani Persia, tirai beludru merah terulur anggun, dan aroma gaharu tipis mengisi udara.
Di tengah ruangan, Bey Murad duduk tegak di kursi megah berlapis emas, hampir menyerupai singgasana. Jubah hitam berbordir benang emas menyelimuti tubuhnya, sementara sorot matanya tajam, memancarkan wibawa yang membuat setiap orang enggan mengangkat kepala jika berada di hadapannya.
Mansur Ağa membuka tirai, mempersilahkan Esma masuk ke dalam ruangan. Tubuh berbalut gaun sutra putih yang berkilauan di bawah cahaya itu, melangkah dengan pesona yang memabukkan. Pinggulnya bergetar-getar. Jarak antara dirinya dan Bey Murad semakin terkikis.
Begitu langkahnya berhenti tepat di hadapan Bey Murad, Esma lekas menjatuhkan dirinya ke lantai, bersimpuh dengan napas tersengal—tidak, ia mendesah.
Melihat pemandangan di luar skenario itu, Manik Mansur Ağa pun nyaris melompat keluar.
‘Allahumma ihfazhni(Lindungi aku ya Allah)!’ Ia menjerit di dalam hati.
Tubuh Mansur Ağa terhuyung ketika melihat pemandangan selanjutnya. Dari posisinya yang berlutut, jemari lentik Esma menyusuri perlahan punggung kaki Baginda, naik setapak demi setapak hingga menyentuh betisnya. Meriang sudah sekujur tubuh Mansur.
‘Gadis ini benar-benar ... di luar ruangan tadi dia seperti anak domba yang manis, sekarang kenapa pula berubah menjadi kuda liar yang tak terkendali?! Oh Tuhaaaaaan!’ batin Mansur Ağa seraya menahan napas.
Sementara Bey Murad, dibalik wajahnya yang datar—jantungnya sudah berdebar-debar. Pesona seorang budak bernama Esma, telah memporak-porandakan benteng pertahanannya.
Pria itu menatap Mansur. “Tinggalkan kami berdua.”
Mansur mengangguk patuh. Ia lekas berbalik badan dan hendak melangkah keluar. Namun, niatnya urung tatkala pintu Has Oda terbuka paksa.
Yasmin Hatun, dengan raut murka menerobos masuk dan berseru lantang, “BAGINDA!”
PLAK!
*
*
*