NovelToon NovelToon
Pemain Terahir DiGame Sampah Mendapatkan Class Dewa!

Pemain Terahir DiGame Sampah Mendapatkan Class Dewa!

Status: sedang berlangsung
Genre:Dikelilingi wanita cantik
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: Nocturnalz

Di dunia yang dipenuhi oleh para gamer kompetitif, Kenji adalah sebuah anomali. Ia memiliki satu prinsip mutlak: setiap game yang ia mulai, harus ia selesaikan, tidak peduli seberapa "ampas" game tersebut. Prinsip inilah yang membuatnya menjadi satu-satunya pemain aktif di "Realms of Oblivion", sebuah MMORPG yang telah lama ditinggalkan oleh semua orang karena bug, ketidakseimbangan, dan konten yang monoton. Selama lima tahun, ia mendedikasikan dirinya untuk menaklukkan dunia digital yang gagal itu, mempelajari setiap glitch, setiap rahasia tersembunyi, dan setiap kelemahan musuh yang ada.
Pada sebuah malam di tahun 2027, di dalam apartemennya di kota metropolitan Zenith yang gemerlap, Kenji akhirnya berhasil mengalahkan bos terakhir. Namun, alih-alih layar ending credit yang ia harapkan, s

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nocturnalz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 30: Teka-Teki Pedang Bintang

Pagi setelah keputusan besar itu, suasana di stasiun pemadam kebakaran dipenuhi oleh energi yang terfokus. Kami tidak lagi hanya berlatih untuk bertahan hidup; kami sedang mempersiapkan sebuah ziarah. Mendaki Gunung Zenith bukanlah piknik. Di dalam game, jalur pendakiannya adalah zona level tinggi yang dipenuhi monster-monster buas yang telah beradaptasi dengan ketinggian dan udara yang tipis.

Kami mengemas persediaan untuk ekspedisi dua hari: ransum makanan berenergi tinggi, air murni, tali panjat dan pengait dari perlengkapan darurat stasiun, serta semua Potion Penyembuh yang kami dapatkan dari Vanguard. Setiap anggota party tahu peran mereka. Ini akan menjadi ujian terberat kami sebagai sebuah tim.

Perjalanan menuju kaki Gunung Zenith membawa kami melewati pinggiran kota yang paling hancur, di mana alam liar dari dunia baru telah sepenuhnya mengambil alih. Jalanan aspal telah lenyap di bawah karpet tebal lumut aneh, dan gedung-gedung apartemen yang ditinggalkan kini berfungsi sebagai tebing buatan bagi sarang-sarang monster.

Saat kami memulai pendakian, ancaman pertama langsung menyambut kami. Di sepanjang jalur berbatu yang menanjak, beberapa patung gargoyle yang tampak lapuk oleh cuaca menghiasi sisi jalan. Namun, [Mata Sang Penamat]-ku melihat apa yang tidak bisa dilihat oleh mata biasa.

"Jangan bergerak," bisikku, menghentikan langkah party. "Patung ketiga dan kelima di depan. Itu bukan batu."

Anya menyipitkan matanya, dan berkat [Indra Tajam]-nya yang telah terlatih, ia bisa menangkap anomali samar di sekitar patung-patung itu. "Auranya... salah."

[Gargoyle Batu - Level 18]. Monster penyergap yang sempurna.

"Elara, berikan [Lagu Kelincahan] pada Anya," perintahku. "Anya, saat aku memberi sinyal, targetmu adalah sayap mereka. Jangan biarkan mereka terbang. Ryo, lindungi Elara. Aku akan mengambil yang pertama."

Aku memberi sinyal. Anya melepaskan dua anak panah perak dalam suksesi yang cepat. Tepat saat Gargoyle itu hendak melompat dari tumpuannya, anak panah itu menancap di sendi sayap batunya, membuatnya meraung kesakitan dan kehilangan keseimbangan. Pada saat yang sama, aku sudah menerjang maju, tidak lagi menggunakan gada yang berat, melainkan kapak besiku yang lebih cepat. Pertarungan itu brutal tetapi singkat. Kami menghancurkan para penjaga batu itu sebelum mereka sempat memanfaatkan keunggulan udara mereka.

Semakin tinggi kami mendaki, semakin sulit medannya. Jalur setapak menjadi sempit dan berbahaya, dengan jurang menganga di satu sisi. Di sini, kami diserang oleh musuh yang berbeda: [Elemental Angin - Level 20]. Pusaran-pusaran angin transparan yang nyaris tak terlihat, yang tujuannya bukan untuk melukai kami secara langsung, melainkan untuk mendorong kami jatuh dari tebing.

Di sinilah Ryo dan Elara bersinar. Ryo, dengan zirah berat dan perisainya, menjadi jangkar kami. Ia menancapkan perisainya ke tanah, menciptakan penghalang yang kokoh melawan hembusan angin yang dahsyat. Sementara itu, Elara, dengan pengetahuan sihirnya, menyanyikan sebuah himne pelindung, menciptakan sebuah kubah angin lemah di sekitar kami yang menetralkan sebagian besar kekuatan para elemental itu. Aku dan Anya menggunakan kesempatan itu untuk menyerang inti mereka yang berdenyut dengan [Void Pulse] dan anak panah.

Kami mengatasi setiap rintangan sebagai sebuah tim, kekuatan kami yang beragam saling melengkapi dengan sempurna. Pertarungan yang tadinya akan menjadi mimpi buruk bagi party biasa, bagi kami hanyalah serangkaian teka-teki yang harus dipecahkan.

Setelah berjam-jam pendakian yang melelahkan, kami akhirnya tiba di puncak.

Pemandangannya membuat kami semua terdiam. Kami berada di atas lautan awan. Di bawah kami, kota Zenith yang hancur terhampar seperti sebuah diorama raksasa. Langit ungu tua tampak begitu dekat, dan kedua bulan sabit terasa seolah bisa kami sentuh. Udara di sini tipis dan dingin, tetapi berdenyut dengan konsentrasi mana yang begitu pekat hingga terasa seperti listrik statis di kulit kami.

Dan di tengah-tengah puncak yang datar itu, berdiri sebuah altar melingkar yang terbuat dari batuan obsidian hitam yang tidak memantulkan cahaya.

Di pusat altar itu, tertancap hingga ke gagangnya, adalah sebuah pedang.

Astrafang.

Pedang itu bahkan lebih megah dari yang kuingat. Itu bukanlah pedang besar yang barbar, melainkan sebuah mahakarya. Bilahnya yang ramping tampak ditempa dari cahaya bintang yang ditangkap, permukaannya beriak dengan galaksi-galaksi mini. Gagangnya terbuat dari logam perak yang diukir dengan konstelasi yang tidak kukenali. Pedang itu tidak memancarkan aura kekuatan yang sombong, melainkan sebuah keagungan yang hening dan absolut. Rasanya seperti menatap inti dari sebuah bintang.

"Luar biasa..." bisik Anya.

"Kekuatan yang terkandung di dalamnya..." tambah Elara, matanya yang biasanya tenang kini dipenuhi kekaguman.

Aku melangkah maju sendirian. "Tunggu di sini. Ini adalah ujian yang harus kulakukan sendiri."

Aku mendekati altar itu. Seperti yang kuingat, permukaannya yang halus ditutupi oleh ukiran-ukiran rune yang sangat samar, nyaris menyatu dengan batu. Bagi orang lain, itu mungkin hanya goresan alami.

Aku memfokuskan [Mata Sang Penamat]-ku.

Seketika, rune-rune itu menyala di dalam visiku, bersinar dengan cahaya perak yang dingin. Teks-teks kuno yang dulu tidak bisa kubaca kini mengalir ke dalam benakku dengan kejelasan yang sempurna. Itu adalah sebuah puisi. Sebuah teka-teki.

Aku ditempa dalam api surga, namun hatiku sedingin kehampaan.

Yang kuat berusaha menaklukkanku; yang sombong berusaha memilikiku. Mereka hanya akan menemukan batu yang tak bergeming.

Yang pantas tidak berusaha untuk mengambil, melainkan untuk dipilih.

Dia tidak berusaha untuk memerintah, melainkan untuk melayani sebuah tujuan.

Untuk memegang sang bintang bukanlah dengan menggenggamnya, melainkan dengan menawarkan tangan dan menjadi wadahnya.

Apa tujuanmu, wahai calon pemegang?

Aku membacanya berulang kali, dan aku mengerti. Semua pahlawan dan raja yang gagal itu... mereka semua datang dengan kesombongan. Mereka datang untuk mengambil pedang itu, untuk memilikinya sebagai simbol kekuatan mereka. Mereka mencoba mencabutnya dengan kekuatan fisik, sebuah tindakan penaklukan. Tapi pedang ini tidak ingin ditaklukkan. Ia ingin bergabung.

Ujian ini bukanlah ujian kekuatan, melainkan ujian niat.

Aku tidak mencoba mencengkeram gagang pedang itu dengan paksa. Sebaliknya, aku mendekat dan dengan lembut meletakkan telapak tanganku di atas pommel peraknya yang dingin. Aku memejamkan mata. Aku tidak memfokuskan kekuatanku. Aku memfokuskan pikiranku.

Aku tidak memikirkan tentang menjadi yang terkuat. Aku tidak memikirkan tentang menaklukkan dunia ini.

Sebaliknya, aku memikirkan tentang tujuanku.

Aku memikirkan Anya, yang kuselamatkan dari kegelapan lobi, dan bagaimana senyumnya telah membawa cahaya ke dalam party kami.

Aku memikirkan Ryo, seorang mahasiswa biasa yang gemetar ketakutan, yang kini telah menjadi benteng yang bisa diandalkan, seorang pengrajin jenius yang akan membangun masa depan kami.

Aku memikirkan Elara, yang telah terikat oleh sumpahnya selama berabad-abad, yang kini telah menemukan kebebasan dan keluarga baru bersama kami.

Aku memikirkan Nephie, sang naga kecil yang mempercayakanku dengan hidupnya, yang harus kulindungi dan kubimbing.

Tujuanku bukan lagi hanya untuk menyelesaikan "game" ini. Tujuanku adalah untuk menciptakan sebuah tempat di dunia yang hancur ini di mana orang-orang ini—keluargaku—bisa hidup dengan aman dan bahagia.

Aku tidak ingin menggunakan Astrafang untuk mencapai tujuan itu. Aku mengundangnya untuk bergabung denganku dalam perjalanan itu. Aku menawarkan diriku bukan sebagai tuannya, melainkan sebagai wadahnya.

Saat niat tulus itu memenuhi hatiku, sesuatu yang ajaib terjadi.

Rune-rune di altar di bawahku menyala dengan cahaya perak yang menyilaukan. Pedang di bawah tanganku mulai bergetar dan mengeluarkan suara senandung yang merdu, sebuah resonansi yang sempurna dengan jiwaku.

Batu obsidian di sekitar bilah pedang itu tidak pecah. Batu itu meleleh, berubah menjadi cahaya cair yang mengalir kembali ke dalam altar, melepaskan pedang itu dari cengkeramannya.

Tanpa perlawanan sama sekali, aku mengangkat Astrafang dari batu. Pedang itu terasa seringan bulu di tanganku.

Saat pedang itu terlepas sepenuhnya, sebuah pilar cahaya bintang meledak dari bilahnya, menembus awan dan melesat tinggi ke langit. Di seluruh penjuru Zenith, setiap pemain yang masih hidup melihat fenomena itu. Dan sebuah pengumuman, ditulis dengan huruf-huruf emas di langit untuk dilihat semua orang, menandai momen itu.

[PENGUMUMAN DUNIA: Pedang Legendaris, Astrafang, telah memilih tuannya!]

[Pemain 'K' telah mencapai Prestasi Pertama di Dunia!]

Namaku sekali lagi disiarkan ke seluruh dunia. Kini, aku bukan lagi hanya si pembunuh Ogre. Aku adalah pemegang pedang legendaris.

Aku menatap senjataku yang baru.

\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=

Nama: Astrafang, Pedang Penusuk Bintang

Jenis: Pedang Panjang

Tingkat: Legendaris

Kerusakan: ??? (Berskala sesuai dengan kekuatan pengguna)

Efek 1: [Bilah Cahaya Bintang] - Serangan memberikan kerusakan fisik dan suci. Sangat efektif melawan monster tipe kegelapan dan mayat hidup.

Efek 2: [Ikatan Surgawi] - Pedang ini terikat pada jiwa 'K'. Tidak dapat dijatuhkan, dicuri, atau dihancurkan.

Efek 3: [??? - Terkunci hingga Level 30]

Skill Aktif: [Tebasan Bintang Jatuh] - Melepaskan gelombang energi surgawi dari bilah pedang.

\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=

Aku menggenggam Astrafang, merasakan kekuatannya yang tenang mengalir ke dalam diriku. Aku berbalik menghadap party-ku, yang menatapku dengan kekaguman total.

Aku datang ke gunung ini untuk mencari senjata pengganti. Tapi aku tidak hanya mendapatkan senjata. Aku telah mendapatkan sebuah takdir. Dan aku tahu, dengan Astrafang di tanganku, takdir itu akan menjadi sesuatu yang legendaris.

1
Babymouse M
Uppppp🔥
Mamimi Samejima
Gak pernah kepikiran plot twist-nya seunik ini! 🤯
Shishio Makoto
Cepat update, jangan biarkan kami menunggu terlalu lama!
Nocturnalz: terimakasih dukungannya, saya usahakan untuk update secepatnya
🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!